Aleeta mengusap lembut punggung Rendra yang tengah memeluknya. Tentu saja ia melakukan itu tanpa sadar karena terlalui terbuai oleh nyamannya pelukan pria itu.
Rendra memejamkan mata, usapan itu membuat hangat hati tubuhnya. Terlampau nyaman hingga membuatnya enggan untuk melepas wanita itu.
"Auw ...." Teriakan Aleeta menyadarkan Rendra dengan segera dan melepaskan pelukannya.
Aleeta segera memegang kakinya yang terasa nyeri. Wanita itu langsung terduduk di lantai dan memeriksa kondisi kakinya.
"Aleeta ... kau kenapa?" Rendra berjongkok di hadapan Aleeta dan turut memeriksa kaki Aleeta dengan wajah yang sangat cemas.
"Maaf, Nona. Maafkan anak kami." Seorang wanita muda terlihat menghampiri mereka dengan napas yang terengah-engah. Sementara itu, seorang anak laki-laki yang berusia sekitar enam tahun tampak bersembunyi di balik tubuh wanita muda itu karena ketakutan setelah membuat kesalahan.
Rendra menatap wanita itu dengan marah. Rupanya troli yang tengah didorong anak kecil itu menabrak kaki Aleeta. Sepertinya anak itu sedang bermain-main dengan benda tersebut dan lepas dari pengawasan orang tuanya.
"Maafkan kami, Tuan, Nona." Wanita itu menarik tangan sang anak yang tengah bersembunyi di belakangnya. "Sam, ayo minta maaf sama Om dan Tente!" titah wanita itu.
"Ma–maaf, Om, Tante." Wajah anak kecil itu tampak dipenuhi ketakutan. Ia langsung menunduk saat melihat tatapan tajam Rendra yang terlihat sangat menyeramkan di matanya.
"Tidak apa-apa, Sayang. Lain kali kamu hati-hati, ya. Selain mencelakai orang lain, kamu juga bisa mencelakai diri kamu sendiri jika bermain tanpa pengawasan orang tuamu, terlebih dengan benda seperti ini. Jangan pernah bermain sendiri di tempat umum seperti ini. Berbahaya, Sayang." Aleeta mengusap lembut kepala anak tersebut.
Tidak ada yang salah dengan bermain, yang terpenting dengan benda dan tempat yang sesuai dan dengan pengawasan orang tua. Karena sejatinya dunia anak memanglah dunia bermain.
"Terima kasih, Tante. Sam janji tidak akan mengulanginya." Anak itu balas tersenyum kepada Aleeta, menampilkan sederet gigi mungilnya yang putih. Sungguh terlihat sangat menggemaskan.
"Terima kasih, Nona. Kalau begitu biar saja antarkan Anda ke rumah sakit." Wanita itu menawarkan karena merasa harus bertanggung jawab atas luka yang diakibatkan oleh anaknya.
"Tidak, perlu. Saya baik-baik saja." Aleeta mencoba berdiri untuk membenarkan perkataannya. "Lihat, 'kan?"
Wanita muda dan anak itu tampak lega setelah menyaksikan Aleeta benar-benar baik-baik saja.
"Baiklah kalau begitu kamu pamit dulu. Sekali lagi maaf dan terima kasih." Wanita itu undur diri dan menggenggam tangan anaknya. Mereka tersenyum melambaikan tangan ke arah Rendra dan Aleeta sesaat sebelum mereka menghilang dari pandangan.
"Auw ...." Kembali Aleeta mengaduh saat kakinya kembali merasakan nyeri. Lukanya tidak seberapa, hanya saja karena dia memakai high heels dan lukanya tepat berada di atasnya, hingga membuatnya terasa perih karena tersentuh benda itu.
"Aleeta ...." Ryan segera menangkap tubuh Aleeta yang terhuyung. Pria itu segera mnggendong Aleeta ala bridal dan meninggalkan tempat itu.
"Ryan aku—"
"Kali ini aku enggak mau kau menolak, Aleeta. Kita harus segera ke rumah sakit. Aku enggak mau terjadi apa-apa kepadamu." Kalimat itu terdengar sangat tegas dan dipenuhi kecemasan. Membuat Aleeta segan untuk menolaknya.
"Tapi, bagaimana dengan belanjaanku, Ryan. Padahal kita sudah menghabiskan banyak waktu untuk memilihnya," ucap Aleeta menatap troli yang semakin menjauh dari pandangannya.
"Kamu enggak usah memikirkan belanjaan. Seharusnya sekarang kamu mengkhawatirkan dirimu," omel Rendra sedikit kesal karena Aleeta justru lebih mengkhawatirkan belanjaan.
Perlakuan Rendra menarik perhatian pengunjung di sana. Namun, pria itu tidak peduli. Yang terpenting untuknya segera membawa Aleeta ke rumah sakit dan merawat lukanya.
Sementara itu, Aleeta yang merasa malu karena menjadi tontonan orang-orang, menyembunyikan wajahnya di dada bidang Rendra. Wanita itu seperti merasakan dejavu, seolah-olah pernah mengalami hal serupa sebelumnya.
Entah kenapa Aleeta merasa begitu hangat dan nyaman dalam pelukan Rendra. Perasaan ini sama seperti kejadian masa kecilnya, saat sahabatnya juga melakukan hal yang sama ketika kakinya terluka. Aleeta seperti merasakan kehadiran sosok yang sangat dia rindukan.
"Mungkinkah ... enggak. Enggak mungkin!" batin Aleeta segera menampik semua kemungkinan yang berkelebat dalam pikirannya. Sangat tidak mungkin sahabatnya dan Rendra adalah orang yang sama. Tidak mungkin Aleeta tidak mengenali sahabat kecilnya itu.
Aleeta mengalungkan kedua tangannya di leher Rendra dan bersandar nyaman di dada pria itu. Seolah-olah tidak lagi peduli pada pandangan para pengunjung yang menjadikan mereka tontonan.
"Maaf karena enggak jaga kau dengan baik, Aleeta. Aku berjanji enggak akan membiarkanmu terluka lagi saat bersamaku," sesal Rendra saat mereka telah berada di mobil.
"Enggak apa-apa, Ryan. Semua itu, kan, bukan salah kamu," tukas Aleeta memberikan sedikit penghiburan agar pria itu merasa lebih baik.
Aleeta menatap wajah pria itu sesaat. Ingatan tentang kejadian tadi kembali menari dalam pikirannya. Dari luar tidak tampak karena pria itu selalu memakai pakaian yang longgar, tetapi dada dan lengannya terasa keras dan berotot. Pasti dia melakukan olahraga secara teratur.
"Ah, enggak. Apa yang lagi aku pikirkin, sih?" batin Aleeta mengayunkan telapak tangan di depan wajahnya karena malu.
Rendra yang melihat hal tersebut segera bertanya, "apa kau ngerasa kepanasan? Apa AC-nya kurang dingin?"
Rendra baru saja mengulurkan tangan untuk mengatur suhu pendingin di mobil itu, saat Aleeta memegang jarinya.
"Enggak usah, Ryan. Aku enggak kepanasan, kok, hanya sedikit mengantuk. Jadi aku mengayunkan tangan buat mengusir rasa kantuk itu," kilah Aleeta dengan alasan yang tidak masuk akal. Akan tetapi, semoga saja Rendra percaya dengan alasan konyol itu.
Rendra tidak menjawab karena tidak fokus pada penjelasan Aleeta. Perhatiannya justru tertuju kepada tangan wanita itu yang menggenggam ujung-ujung jarinya.
"Apa benar gitu?" tanya Rendra sekenanya. Pandangan matanya teralihkan kepada wajah Aleeta sesaat, lalu kembali melihat tangannya.
"Ya, tentu saja. Untuk apa aku berbo ... hong."
Dengan segera Aleeta menghentikan perkataanya ketika Rendra menautkan jemari dan menggenggam tangannya. Baru saja dia akan menarik tangannya, tetapi pria itu mengeratkan genggamannya.
Rendra kembali fokus mengemudikan kendaraan dengan tangan kanan. Menatap lurus ke depan setelah melayangkan senyum ke arah Aleeta seolah-olah tidak ada yang terjadi.
"Hm, Ryan ... tanganku." Aleeta berkata dengan sangat pelan. Sungg saat itu jantungnya seolah-olah memacu sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Hingga membuat wanita itu khawatir jika jantungnya akan rusak jika terus menerus seperti itu.
"ya, Aleeta. Kenapa dengan tanganmu?" Rendra mengangkat tangannya yang menggenggam tangan Aleeta. " Tanganku dan tanganmu baik-baik saja dan tampak akur. Lihat ... bukankah tanganmu berada di tempat yang tepat sekarang?" ucap Rendra menampilkan senyuman menggoda serta mengedipkan matanya nakal.
Aleeta yakin jika sekarang wajahnya telah Semerah tomat.