"Sial. Awas kau, ya." Rendra mengangkat tangan hendak melayangkan jitakan di kepala Ryan. Namun, dia menghentikan niatnya saat pintu lift tiba-tiba saja telah terbuka.
Tentu saja Ryan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Gegas ia ke luar lebih dulu. Berjalan cepat menuju kamar Aleeta dan dengan cepat menekan tombol di depan pintu. Pria itu segera berlari menjauh, meninggalkan Rendra yang masih termangu di depan pintu.
"Kamu—"
"Rendra?" Kalimat Rendra terhenti saat Aleeta memanggil namanya.
"Hai." Rendra melambaikan tangan dengan perasaan gugup. Sedangkan Ryan sudah menghilang entah ke mana.
"Kamu sedang apa pagi-pagi di sini? Apa sedang bertemu klien? Ah, sepertinya enggak mungkin." Aleeta menjawab sendiri pertanyaannya saat melihat pakaian yang dikenakan oleh Rendra dan mengingat sekarang masih terlalu pagi untuk alasan tersebut.
"Itu, aku ingin meng ... antarkan ini." Rendra menunjukan setangkai bunga yang sedari tadi ia sembunyikan di balik punggungnya.
"Untuk kamu, Aleeta," imbuh Rendra saat tidak mendapat respons dari Aleeta.
"Ya, ini untuk kamu." Sekali lagi Rendra meyakinkan Aleeta bahwa bunga itu memang benar untuknya.
"Terima kasih. Tapi kenapa kamu kasih aku bunga? Sepertinya ini bukan hari yang spesial, deh." Aleeta terlihat bingung dengan maksud dari sikap Rendra.
"Aku akan mengirimkan bunga setiap hari selama menunggu jawaban dari kamu." Jawaban Rendra berhasil membuat wajah Aleeta merona. Lagi-lagi setiap kalimat yang diucapkan lelaki itu selalu bisa membuat Aleeta tersipu.
Aleeta segera mengatur ekspresinya dengan cepat seperti sedia kala.
"Baiklah, aku terima bunganya. Terima kasih, ya, Ryan," ucap Aleeta datar padahal dalam hatinya bersorak gembira. Ah, andai saja Rendra tidak ada di sana, mungkin ia sudah melompat kegirangan.
Rendra mengerutkan kening sembari memegangi dagunya saat memperhatikan Aleeta. "Apa mungkin Aleeta enggak menyukai bunga," batinnya penasaran dengan ekspresi datar wanita itu.
"Apa kamu sudah sarapan?"
"Apa kamu sudah sarapan?"
Kompak Aleeta dan Rendra bertanya bersamaan. Sepertinya pria itu masih belum rela berpisah dengan wanita yang membuatnya penasaran itu. Sedangkan Aleeta ingin mentraktir sarapan sebagai ucapan terima kasihnya.
"Belum." Lagi-lagi mereka menjawab dengan bersamaan. Mereka pun terkekeh saat menyadari hal tersebut.
"Kalau kamu enggak keberatan, aku ingin mengajakmu untuk sarapan di restoran hotel ini."
"Tentu saja aku mau." Rendra langsung menjawab dengan cepat.
Tentu saja jawaban lelaki itu membuat Aleeta terkekeh.
"Baiklah. Kalau begitu aku akan menyimpan bunga ini dulu di dalam." Aleeta kemudian bergegas masuk ke dalam ruangannya. Ia tidak ingin membuat Rendra terlalu lama menunggu.
"Sial! Apakah aku terlihat seperti lelaki gampangan?" umpat Rendra dalam hati, karena jawaban spontannya tadi membuat wajahnya memerah.
Rendra merutuki sikapnya yang mirip seperti pria gampangan. Namun, itu tidak lama. Dia justru bersyukur menerima ajakan Aleeta.
"Shit! Pesonanya terlalu kuat dan dia terlalu bercahaya," umpat Rendra kesal karena tidak mampu mengendalikan diri. Sekuat tenaga dia menjaga ekspresi dan matanya. Namun, tetap saja tidak bis amengalihkan pandangan dari wajah Aleeta.
"Ehm, apa ada sesuatu di wajahku," tanya Aleeta karena risih ditatap oleh pria yang duduk di hadapannya itu.
"Ya." Rendra menjawab singkat membuat Aleeta meraba-raba wajahnya.
"Di mana? Apa yang ada di wajahku?" Aleeta bertanya dengan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Ah, ia sangat malu sekarang. Padahal biasanya wanita itu makan dengan baik, entah mengapa hari ini hal itu terjadi.
Namun, Rendra hanya tersenyum nakal sembari menopang wajahnya dengan kedua tangan.
"Apa, sih?" Aleeta semakin malu saja dibuatnya.
"Kecantikan."
Aleeta sontak menghentikan kegiatannya. "Apa aku tidak salah dengar?" lirih Aleeta tidak percaya.
"Kamu tidak salah dengar, kok. Semua yang ada di wajah kamu adalah kecantikan," puji Rendra tulus, tetapi hanya terdengar sebagai rayuan bagi Aleeta.
Segera wanita itu tersedak salivanya sendiri karena tidak terbiasa mendapat pujian dari seorang pria.
"Minumlah pelan-pelan. Kenapa kamu salah tingkah saat aku puji begini? Enggak bisa, kamu harus menyiapkan dirimu karena aku akan selalu memuji kamu."
"Segera habiskan makanan kamu." Aleeta berusaha mengalihkan pembicaraan dan kembali fokus dengan makanan di piringnya. Entah kenapa rasanya makanan itu lama sekali habisnya.
Meskipun Aleeta tahu apa yang Rendra ucapkan hanya sebuah rayuan, tetapi tetap saja ia tidak bisa mengendalikan degup jantungnya yang berpacu lebih cepat. Dan lagi, pipi itu kenapa selalu merona disaat yang tidak tepat.
"Apakah kamu ada kegiatan lain hari ini?" Rendra bertanya setelah makanan miliknya sudah habis.
"Aku hanya akan ke supermarket, setelah itu aku ingin istirahat."
"Kebetulan aku juga ingin ke sana. Bagaimana kalau kita belanja bersama? Sepertinya itu akan sangat mengasyikkan." tawar Rendra dengan ramah.
Alasan itu Aleeta ucapkan sebenarnya hanya untuk menghindari Rendra. Namun, ia tidak menyangka jika semua itu menjadi bumerang dan justru memberi Rendra alasan untuk mengajak pergi bersama.
"Ah, kalau begini jantungku akan semakin buruk," batin Aleeta memegangi dadanya yang berdebar kencang.
Aleeta tidak mungkin menarik kembali kata-kata yang sudah ia ucapkan. Sudah kepalang tanggung. Jadi, mau tidak mau, ia harus mau berbelanja dengan Rendra.
Sementara itu di tempat yang berbeda, Ryan tengah asyik menikmati sarapan bersama Malika di rumah kekasihnya itu.
"Kamu terlihat sangat lapar, Sayang." Bukannya makan, Malika justru asyik memperhatikan kekasihnya yang sedang menikmati nasi goreng buatannya.
"Bagaimana aku tidak lapar, Sayang. Pagi-pagi sekali Rendra sudah membuat ulah. Lihatlah, karena dia jam segini aku baru sarapan." Ryan mengunyah sarapannya dengan wajah kesal membuat Malika terkekeh melihatnya.
Ah, Ryan kembali kesal saat mengingat kejadian tadi. Bagaimana dia harus bangun lebih pagi di akhir pekan, belum lagi dia salah alamat, dan yang paling keterlaluan pria itu menunggu di mobil tanpa tahu atasannya sedang sarapan.
Setelah selesai sarapan, barulah Rendra menyuruh Ryan pulang sendiri, sedangkan pria itu pergi entah ke mana.
"Aku yakin seratus persen kalau kakak sepupumu itu tidak normal," ujar Ryan dengan tatapan kebencian.
"Kenapa kamu membahas dia terus, sih. Lebih baik bicara tentang kita. Memangnya kamu enggak kangen sama aku?"
Mika yang bertanya dengan nada manja dan memutar-mutar anak rambutnya tampak sangat menggemaskan.
"Ehm, kalau begini aku bisa memakannya juga setelah nasi goreng ini habis." Ryan membatin kesal.
Ryan memang telah terlatih melatih ekspresi sejak bekerja dengan Rendra. Karena itu, bahkan kekasihnya tidak tahu apa yang dipikirkannya.
"Kamu mau kemana setelah ini?" ucap Ryan sebelum memasukkan suapan terakhir ke dalam rongga mulutnya.
"Ke mana saja asal sama kamu aku mau, kok."
Jawaban polos dari Malika hampir saja membuat Ryan salah paham. Bagaimana jika dia sampai keceplosan dan berkata ingin mengajaknya ke KUA sekarang juga?
Ah, Ryan yang tidak kuasa mengendalikan dirinya kini mendekati Malika. Perlahan mengikis jarak di antara merka, hingga wanita itu bisa merasakan embusan napas kekasihnya. Ryan yang memiringkan wajahnya membuat Malika menutup matanya penuh harap. Sedangkan jantungnya sudah tidak karuan sejak tadi.
"Ssshhhh."