Ryan dan Malika enggan melepas pelukan mereka. Mengabaikan suara yang mengganggu tersebut.
"Hei, kalian tuli atau memang sengaja, hah?" Pertanyaan yang sudah tentu Rendra pun tahu jawabannya.
"Sayang, aku seperti mendengar suara seseorang, tetapi kenapa tidak ada orangnya, ya." Malika melepaskan pelukannya.
Wanita itu melihat ke sekeliling seolah-olah tengah mencari seseorang.
"Kok aku merinding, ya, Sayang." Malika mengusap tengkuknya kemudian kembali memeluk Ryan.
"Jagan-jangan rumah kamu ada penghuninya, Sayang." Ryan ikut menanggapi ucapan sang kekasih.
"Sepertinya begitu, Sayang." Malika menyembunyikan wajahnya di dada bidang Ryan.
"Hei, kalian pikir aku hantu, hah?" Rendra melemparkan bantal sofa ke arah pasangan kekasih itu.
Malika tidak kuasa menahan tawa saat melihat wajah kesal kakak sepupunya.
"Lagian Kak Rendra ngapain sih, ke sini lagi? Ganggu saja." Akhirnya wanita itu melepaskan pelukannya dari sang kekasih.
"Aku kan kangen sama Ryan." Rendra mengerlingkan mata, menggoda asistennya.
"KAK RENDRA ...." Malika berteriak kesal dan melayangkan pukulan bertubi pada tubuh Rendra dengan bantal sofa
Rendra berlari meninggalkan sepasang kekasih itu dengan wajah penuh kepuasan setelah berhasilbuat Malika marah.
Ya, hal yang paling mengganggunya adalah ketika ia bersikap genit kepada Ryan. Seketika emosinya akan mencuat dan kehilangan kendali. Rendra selalu menikmati wajah kesal Malika. Seolah-olah mendapatkan suntikan semangat.
Rendra menghentikan langkah kakinya sesaat sebelum menaiki mobilnya yang terparkir di halaman rumah Malika.
"Aku rindu kamu, Aleeta," bisiknya kepada udara malam. Berharap angin dapat menyampaikan pesan kerinduannya kepada sang pujaan hati.
"Ah, aku mulai gila. Bahkan, bulan di langit pun berubah menjadi wajah Aleeta," lirih Rendra dengan suara yang semakin rendah.
Sementara itu Ryan sedang menenangkan Malika yang sangat kesal kepada Rendra yang selalu menjahilinya.
"Tenanglah, Sayang. Biarpun Rendra berbicara seperti, kamu selalu tahu, 'kan, kalau dia hanya bercanda?" tanya Ryan sembari memegang kedua bahu Malika.
"Aku juga tahu, Sayang. Tapi aku kesal karen selalu berusaha memisahkan kita. Apa dia tidak puas sudah memakaimu seharian?" Malika memberenggut kesal mengingat kejadian demi kejadian yang serupa dengan tadi.
"Memakai?" Ryan mengerutkan kening heran mendengar kata itu.
"Iya, Sayang. Dia, kan, selalu memakai tenagamu setiap hari. Seolah-olah kamu adalah sesuatu yang dia miliki, padahal kamu, kan, punyaku," protes Malika masih dengan wajah kesal.
Ryan menahan tawa dengan mengepalkan tangan tepat di depan bibirnya.
"Besok aku akan menulis perjanjian dengan Rendra. Dia harus membiarkan kita berkencan setidaknya tiga kali seminggu. Ah, atau empat? Tapi sepertinya itu masih kurang."
Ryan menjadi bingung harus memilih berapa. Baginya bertemu setiap hari pun masih kurang. Jangankan saat jauh, bahkan saat dekat pun dia masih selalu merindukan Malika.
"Pokoknya aku tidak mau lagi mendengar apalagi melihat kamu menggantikan Kak Rendra untuk bertemu dengan para wanita yang dijodohkan dengannya," rengek Malika.
"Iya, Sayang. Paman tidak akan menjodohkan Rendra lagi. Dia sudah tahu kalau Rendra sudah mempunyai kekasih."
"What? Kekasih? Kenapa aku tidak tahu?" Malika menatap Ryan. "Kalian jahat! Tidak memberitahuku." Malika memberengut kesal.
"Oh, itu ... tepatnya mereka belum resmi pacaran, Sayang. Hanya Rendra saja yang sangat menginginkan wanita itu." Ryan sedikit gugup.
"Maksud kamu, wanita itu tidak menerima cinta Kak Rendra?" Malika terlihat antusias.
"Dia masih sedang berjuang untuk melepaskan status jomlonya."
Wajah Malika berubah menjadi ceria. Seketika tawanya menggema.
"Sayang, kamu baik-baik saja, 'kan?" Ryan tampak takut dengan perubahan Mood kekasihnya. Takut-takut kalau Malika sedang didekati mahkluk tak kasat mata.
"Aku penasaran sekali dengan wanita itu. Aku ingin bertemu dengannya dan memberikan hadiah istimewa untuknya." Malika masih belum berhenti tertawa. " Ini akan menjadi berita besar. Seorang Rendra ditolak oleh seorang wanita," sambung wanita itu.
***
Fajar baru saja beranjak dan masih menyisakan warna biru kemerahan. Namun, ketenangan seorang pria telah terusik sejak tadi. Padahal dia telah mematikan alarm yang mengganggu tidurnya, tetapi ada suara lain yang terus-menerus berbunyi dan memaksanya bangun.
Perlahan dia menjulurkan tangan dan meraba-raba ke arah nakas yang terletak tepat di samping tempat tidur.
"Ugh, siapa, sih, yang menggangu pagi-pagi begini?" gerutu pria itu saat melihat jam masih menunjukkan pukul enam pagi.
Dia kembali mengerjapkan mata berusaha menyesuaikan cahaya temaram yang memasuki retinanya.
"Ha–"
"Kenapa kamu lama sekali jawab teleponnya, sih?" protes suara bariton dari seberang.
"Halo, ini siapa, ya?" tanya pria itu lagi karena belum yakin siapa yang meneleponnya.
"Heh, kamu cari mati, ya? Mau kupotong gajimu?"
Gertakan familiar itu sukses mengembalikan dirinya. Sekarang dia tahu persis siapa yang menelepon sepagi itu. Ya, hanya seorang Rajendra Alister yang selalu mengancamnya seperti itu.
"Ma-maaf, Bos, tadi aku masih mengantuk. Tapi sekarang sudah tidak, kok," ucap Ryan mencari alasan.
"Bagun sekarang juga dan datang ke sini dalam waktu 20 menit." Rendra berkata degan tegas.
"Tapi sekarang akhir pekan, Bos," protes Ryan dengan tidak senang.
Ah, tidak bisakah atasannya itu membiarkannya melalui akhir pekan yang menyenangkan?
"Aku tidak menerima alasan, Ryan. Kamu itu asistenku, jadi kamu harus siap 24 jam kapan saja aku memanggilmu," sarkas Rendra seolah-olah tidak menerima alasan apa pun.
Setelah mengatakan apa yang ingin disampaikannya, Rendra segera mengakhiri percakapan. Bahkan, Ryan tidak sempat menyampaikan penolakan. Artinya mau tidak mau, dia harus melakukannya.
"Selamat tinggal weekendku yang berharga," lirih pria itu mengeluh kepada udara.
Ya, hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang. Jika mengeluh kepada sang atasan tentu konsekuensinya berhubungan dengan pemotongan gaji. Tentu pria itu tidak akan menginginkannya.
Ryan beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.Itu adalah mandi tercepat yang pria itu lakukan. Gegas ia mengambil kunci mobil dan segera berlari.
Tidak ada kata jalanan lenggang untuk Ibu Kota, meskipun ini bukanlah jam kantor. Ryan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Shit! 10 menit lagi," umpatnya. Ia menambah kecepatan pada mobilnya.
Kurang dari 3 menit waktu yang ditentukan, Ryan telah tiba di kantor. Gegas ia berlari menuju lift yang membawanya menuju ruangan Rendra.
"Selamat pagi, Bos. Maaf aku terlambat ...." Dengan terpongoh-pongoh Ryan membuka pintu dan segera berlari menuju meja kerja Renda.
Berapa terkejutnya lelaki itu saat menyadari jika atasannya tidak ada di sana.
"Ke mana dia? Apa dia sudah pulang lagi?" Rian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hingga getaran ponsel dalam saku menyadarkan ia.
"Ha—"
"Ryan, kau di mana? Kenapa kau masih belum datang juga, hah? Ini sudah lewat 20 menit!" Ryan menjauhkan benda pipih itu dari telinganya.
"Bos kau di mana? Aku sudah di kantor, tetapi kenapa tidak ada siapa pun?" Ryan balik bertanya.
Ponsel itu tidak ditempelkan di telinga, melainkan ia sengaja menekan tombol loudspeaker pada ponselnya.
"Sedang apa kau di kantor, hah?" Rendra malah balik bertanya.