Aleeta masih menatap lekat kepada Rendra. Netranya saling mengunci, tetapi hanya sesaat, karena wanita itu segera memutus kontak mata di antara mereka. Dia segera berlari meninggalkan Rendra yang kebingungan melihat reaksinya.
"Aleeta! Tunggu!" teriak Rendra sembari mengejar Aleeta.
Rendra berusaha mengejar Aleeta, tetapi wanita itu segera menaiki sebuah taksi yang penumpangnya baru saja turun.
"Jalan, Pak!" perintah Aleeta kepada supir taksi dengan tergesa-gesa. Dia tidak ingin Rendra mengejarnya. Belum siap untuk menjawab pernyataan yang terkesan sangat tiba-tiba itu. Terlebih, wanita itu masih belum yakin dengan perasaannya.
Aleeta tidak berani memalingkan wajah ke arah Rendra. Dia hanya fokus mengendalikan detak jantungnya yang sudah menggila sejak tadi. Tidak pernah terpikirkan Rendra akan berkata seperti itu kepadanya.
"Enggak ... aku yakin semua ini cuma mimpi," gumam Aleeta masih tidak percaya.
Sementara itu Rendra yang sedang frustasi karena kehilangan Aleeta berdiri mematung di tepi jalan. Dia menyugar rambutnya dengan kasar.
"Shit!" umpat pria itu kesal berulang kali. Merutuki kebodohannya yang tidak mampu menahan diri. "Dasar bodoh! Kenapa kamu enggak bisa mengendalikan diri?" sesalnya berulang kali.
Rendra tampak semakin kesal dan menendang udara. Dia mengeluarkan ponsel, lalu mendial nomor Aleeta. Akan tetapi wanita itu mengabaikan semua panggilan darinya.
Pasrah. Akhirnya Rendra meninggalkan restoran dengan perasaan yang campur aduk. Dia telah mengungkapkan perasaannya dengan sangat terburu-buru. Harusnya dia tidak terbawa perasaan. Namun, apa mau dikata, cemburu menguasai hatinya kala itu.
Sia-sia sudah pendekatannya kepada Aleeta selama ini.
Aleeta telah sampai di rumahnya. Dia berjalan langsung ke arah kamar, lalu menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Wanita itu mengerjap-ngerjapkan mata berulang kali. Otaknya masih berusaha menerima dan mencerna semuanya.
"Apa benar Ryan mencintaiku? Tapi apa alasannya? Kenapa dia cemburu kepada Dimas?"
Aleeta memiringkan tubuh. Ingatan tentang Rendra yang berbohong kepada Dimas karena merasa cemburu kembali menari di ingatannya. Ah, rasanya kini dia sedang melambung ke langit ketujuh.
"Ryan cinta Aleeta ...." kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Aleeta.
Aleeta memutuskan untuk membersihkan diri dan mendinginkan kepalanya. Dia harus memikirkan semuanya dengan baik.
"Semuanya sudah siap, Nona Aleeta," ucap seorang pelayan wanita menyadarkan Aleeta dari lamunannya.
Wanita itu berjalan ke arah kamar mandi, lalu merendam tubuhnya di bathtub. Menikmati sensasi mawar yang menyeruak ke dalam indera penciumannya sembari mendongak dan membuat ujung bathtub sebagai sandaran.
"Aku harus memastikan perasaanku kepada Ryan." Aleeta masih memikirkan kejadian tadi.
"Ah ... kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?" Aleeta semakin frustasi. Dia menghentikan aktifitasnya yang tengah mengeringkan rambut. Menatap pantulan wajahnya di cermin. "Ayolah, Aleeta. Bukankah kata-kata yang dia ucapkan sama saja dengan kebanyakan yang lelaki lain ucapkan?" Aleeta berbicara dengan dirinya sendiri.
Aleeta meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja. Banyak sekali panggilan Rendra yang dia abaikan. Ada beberapa pesan juga dari Rendara yang menyampaikan permintaan maafnya. Ingin rasanya Aleeta membalas pesan itu, tetapi segera dia urungkan. Meletakan kembali ponsel itu dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Pikirannya menerawang pada kejadian beberapa jam lalu. Dia masih belum mengerti dengan perasaannya sendiri. Mengapa dia merasa tidak suka saat Rendra akrab dan terlihat dekat dengan perempuan lain? Mungkinkah ia sedang cemburu? Mungkinkah rasa itu juga sudah mulai tumbuh di hatinya?
"Tidak, Aleeta. Tidak. Jangan memulai lukamu sendiri." Lagi-lagi Aleeta menepis perasaan itu. "Ada seseorang yang lebih pantas mendapatkan perasaanmu."
Netra itu kemudian terpejam. Karena pemiliknya sudah cukup lelah bergulat dengan hati dan pikiran. Dia hanya berharap esok pagi bisa terbangun dan melupakan semua kejadian malam ini. Bersikap dan menjalankan hari-harinya seperti biasa.
Jadwal yang sangat padat di kantor mampu mengalihkan pikiran Aleeta dari seorang Rendra. Hingga waktu pulang tiba, Aleeta memilih untuk menyandarkan tubuhnya sejenak pada kursi kebanggaannya. Meregangkan sejenak otot-otot di tubuhnya yang terasa begitu lelah. Ia melihat ke luar jendela kemudian beralih pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Baru jam lima sore, tetapi di luar sangat gelap sekali. Sepertinya akan turun hujan." Gegas Aleeta merapikan meja dan meraih tas miliknya, segera meninggalkan ruangan kerjanya.
Cuaca ibu kota yang sedang masuk musim penghujan ini terkadang memang cukup menyulitkan. Aleeta tidak ingin kejadian saat dimana ia terjebak hujan akan terulang lagi. Namun, saat Aleeta sudah tiba di loby, netranya menangkap sosok yang sangat ingin dia hindari. Ingin berpura-pura tidak melihat, tetapi tatapan mereka sudah lebih dahulu bertemu.
"Bu, Aleeta. Tunggu." Rendra segera menghampiri wanita yang sudah membuat ia rela menunggu hingga dua jam itu.
Ya. Hari ini Rendra benar-benar tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Aleeta. Ia begitu takut Aleeta akan membencinya.
"Bu, Aleeta. Bisa kita bicara sebentar? Biarkan saya mengganggu waktu Anda sebentar." Rendra menyadari mereka masih berada di kantor Aleeta. Sehingga ia harus berbicara dengan formal pada wanita itu.
Aleeta ingin menolak. Namun, baru mulutnya akan bicara, ponsel dalam tasnya terlebih dahulu berdering.
"Bu, Aleeta. Pak Ryan sudah menunggu Anda selama dua jam. Dia sengaja menunggu karena tidak ingin menganggu pekerjaan Anda." Suara di seberang sana cukup membuat Aleeta tersentak. Panggilan itu dari Asistennya. Aleeta menatap Rendara yang juga tengah menatap penuh harap padanya.
"Baik. Terima kasih." Aleeta memutuskan panggilan. Kemudian ia memainkan jempolnya untuk mengirim pesan kepada seseorang.
"Baiklah, Pak Ryan. Saya akan ikut bersama Anda." Aleeta menyetujui permintaan Rendra. Mera kemudian menuju mobil Rendra.
*****
"Maaf, sudah membuat Anda menunggu sangat lama Pak Ryan." Aleeta tulus mengucapkan kalimat itu.
Aleeta dan Rendra tengah berada di sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari kantor Aleeta. Ryan sengaja memilih tempat itu karena suasana kafe yang memang cukup tenang dan nyaman untuk hanya sekedar mengobrol.
"Tidak apa-apa. Saya tidak ingin mengganggu pekerjaan Anda." Rendara tersenyum canggung pada Aleeta.
Hening, sesaat tidak ada obrolan lagi diantara mereka.
"Bu Aleeta. Boleh kita bicara seperti biasa saja tanpa panggilan formal seperti ini? Rasanya cukup aneh dan canggung." Renda mencoba mengungkapkan keinginannya.
Aleeta terkekeh melihat Rendara. "Silakan, Ryan. Bukankah biasanya kamu tidak memerlukan izin dariku?" Kini wajah Rendra tampak memerah karena malu.
"Maafkan aku, Aleeta. Mungkin kemarin-kemarin aku terkesan memaksa karena ingin lebih dekat denganmu, sehingga aku terkadang bicara dan bertindak tanpa persetujuan darimu." Rendra menatap Aleeta, tetapi wanita itu sengaja memalingkan tatapannya. Meraih gelas dan menyecap isinya.
Rendra tampak menarik napas. Menghirup oksigen sebanyaknya, mengumpulkan kembali keberanian untuk melanjutkan kalimatnya.
"Aleeta ...." Panggilan Renda mampu membuat wanita itu mendongak dan tatapan mereka bertemu. " Maafkan atas sikapku malam kemarin. Aku tahu kamu pasti sangat enggak nyaman. Semua memang terkesan sangat terburu-buru. Entah kenapa aku sangat enggak suka saat melihat kamu begitu dekat dan akrab dengan lelaki lain. Tawa dan senyummu yang begitu lepas saat bersama lelaki itu sangat mengganggu dan membuatku marah." Rendra menghentikan ucapannya sejenak.
"Aleeta ... mungkin kamu menganggap aku sedang mempermainkan perasaanmu, tapi sungguh aku tidak enggak untuk membohongi perasaanku sendiri. Aku enggak berharap kamu akan membalas perasaanku, karena aku sadar, mungkin aku bukanlah satu-satunya lelaki yang berusaha masuk dalam hatimu. Pasti banyak lelaki yang lebih baik dan layak mendapatkan cintamu. Tapi aku cuma mau bilang apa yang sebenarnya aku rasakan. Buatku itu jauh lebih baik, dibanding aku harus terus memendamnya."
Sebenarnya ada sedikit rasa kecewa di hati Aleeta saat Rrendra mengatakan tidak terlalu berharap Aleeta membalas perasaannya. Aleeta kembali memalingkan tatapannya. Ia tidak ingin Rendra tahu sorot mata kecewanya.
"Aleeta ...." Untuk kedua kalinya panggilan itu berhasil membuat Aleeta kembali mendongak. Kali ini Aleeta menatap Rendara lebih dalam. Ingin mencari satu jawaban di sana.