"Aleeta, jika ucapanku malam kemarin membuatmu tidak nyaman, lupakan saja. Aku tidak ingin hubungan baik kita menjadi jauh karena sebuah ucapan dariku." Rendra memberanikan diri untuk menatap Aleeta lebih dalam lagi.
"Bisakah kita tetap berteman? Aku ingin semua mengalir apa adanya. Katakan jika memang kamu tidak nyaman dengan ucapan dan sikapku kedepannya. Aku akan berusaha untuk memperbaiki semuanya. Tapi aku mohon padamu, Aleeta. Jangan pernah menampik jika memang kelak rasa itu sudah tumbuh di hatimu. Aku ingin kita mencoba melangkah bersama, beriringan. Dan katakan saja jika memang di hatimu sudah ada seseorang yang istimewa."
Kalimat-kalimat yang Rendra ucapkan membuat hati Aleeta terusik. Dia tidak memaksakan perasaannya kepada wanita yang tengah memandanginya itu, tetapi memberikan waktu kepada Aleeta untuk meyakini perasaannya sendiri. Rendra berbeda dengan beberapa lelaki yang selama ini mendekatinya.
"Ryan, aku hargai perasaanmu, tapi aku takut jika kamu terlalu lama menunggu. Aku tidak tahu kapan waktu itu tiba, waktu dimana aku bisa membalas perasaanmu." Aleeta masih butuh waktu untuk meyakinkan hatinya. Ia ingin melihat sedalam apa perasaan Rendra.
"Aku akan menunggu!" tegas Rendra. "Biarkan semuanya mengalir sebagaimana mestinya. Jangan menghindariku lagi hanya karena kamu ingin menampik semua rasa. Anggap saja aku adalah teman yang sedang berusaha menjadi seseorang yang istimewa di hatimu. Dan ingat, katakan jika kamu merasa ada sikap dan ucapanku yang membuatmu merasa tidak nyaman." Redra mengedipkan mata, membuat lengkungan indah di bibirnya. Membuat Aleeta ikut tersenyum.
"Apa kau akan menunggu meski aku tidak akan menjawab dalam waktu dekat ini?" tanya Aleeta mencoba menguji Rendra.
"Ya, aku akan menunggu sampai kau siap. Sampai kapan pun. Tolong jangan memaksaku untuk berhenti menyukaimu karena ini perasaanku dan kamu tidak berhak untuk menyuruhku menghentikan perasaanku."
Aleeta hanya terdiam lalu tersenyum. Ya, sepertinya dia salah mengira tentang Rendra. Dipikirnya pria itu adalah seseorang yang akan memaksakan kehendaknya seperti kebanyakan lelaki yang mendekatinya.
Namun, semua itu tidak lantas membuat Aleeta segera menerima perasaan Rendra. Memang benar, jika wanita itu pun telah merasakan debaran-debaran aneh saat bersama maupun kala mengingat pria itu. Akan tetapi dia masih ingin memastikan perasaannya. Pasalnya selama ini hatinya telah memilih setia kepada satu orang, yaitu teman kecilnya.
"Baiklah, terserah padamu saja. Tapi, aku tidak akan menanggung akibatnya," ujar Aleeta seolah-olah ingin memupus harapan Rendra.
Rendra melengkungkan bibir membentuk sebuah senyuman yang menawan, lalu berkata, "Terima kasih, Aleeta. Maaf karena telah menyita waktumu yang berharga, aku pamit karena pembicaraan kita telah usai. Tetap tersenyum, karena saat tersenyum kau akan tampak semakin cantik."
Rendra segera beranjak dari duduknya, lalu melenggang pergi meninggalkan Aleeta. Sekali lagi dia berbalik menatap wanita itu, melambaikan tangan ke udara sebagai tanda perpisahan.
"Ugh, hampir saja. Ini tidak akan mudah untuk jantungku."
Aleeta merasa senang karena mampu mempertahankan ekspresi datarnya hingga kepergian Rendra. Sejak tadi dia tidak mampu menatap lama wajah pria itu karena jantungnya yang memacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Semoga saja Rendra tidak tidak mendengar degup jantungnya, jika tidak tentu wanita itu akan sangat malu.
Aleeta meminta teh camomile untuk membuatnya lebih rileks. Sejenak menikmati minuman hangat itu sembari membayangkan wajah Rendra. Namun segera terhenti karena lagi-lagi jantung berpacu kencang.
"Apa yang kulakukan? Ah, mungkin saja aku sudah terkena gejala penyakit jantung. Jika tidak, kenapa jantungku selalu berdebar-debar," lirih Aleeta memegangi dadanya.
"Aku harus pergi ke rumah sakit," imbuhnya dengan wajah serius. Ingin memastikan semuanya sebelum terlambat, karena kesehatan adalah hal yang paling utama.
Sementara itu Rendra meninggalkan kantor Aleeta dengan perasaan senang. Meski wanita itu belum menerima perasaanya, setidaknya setelah dia mengungkapkan perasaannya hingga membuat pria itu merasa jauh lebih lega.
"Bersiaplah menerima serangan cintaku Aleeta," ucap Rendra girang di balik kemudi.
Setelah hari ini Rendra bebas mengekspresikan perasaannya dan tidak perlu menutupinya lagi. Dia akan membuat Aleeta segera jatuh cinta padanya dan mengubah keputusannya.
Getaran ponsel di sakunya mengalihkan atensi pria itu.
"Halo–"
"Halo, Ryan sayang. Kebetulan sekali kamu meneleponku, kamu pasti sedang memikirkan ku, 'kan?" Rendra menjawab telepon dengan wajah berseri-seri. Andai ada yang melihatnya, tentu akan salah paham bahwa yang menelpon pria itu adalah kekasihnya.
"Ha-halo? Bos?" Ryan mengecek nama yang tertera di ponselnya, kalau-kalau yang ditelponnya bukan nomor sang atasan. "Nomornya benar, kok," imbuhnya heran.
"Kamu kenapa, Ryan sayang? Sini cerita sama aku?"
Ryan mendelik, seluruh tubuhnya merinding mendengar panggilan sayang dari seorang pria.
"Ini benar dengan Bapak Rajendra Alister, 'kan?" tanya Ryan takut-takut. Besar kemungkinan jika yang menjawab panggilan itu bukanlah atasannya.
"Ini betul aku, kok, Ryan? Masa baru kutinggal sebentar kami sudah melupakan suaraku?" protes Rendra tidak senang.
"Ehm, maaf, Bos. Aku sudah memastikan nomornya benar, tapi cara bicara Anda berbeda dari biasanya, hingga membuatku mengira ini bukan Anda," tutur Ryan memberi penjelasan. Pasalnya selama ini atasannya itu tidak pernah berlagak genit seperti tadi. Bahkan saat bertelepon dengan wanita yang dikencaninya.
"Ehm, memangnya tadi aku bicara apa?" Rendra berdecam kesal menyesali perbuatannya.
"Hah? A-anda hanya terdengar sangat senang. I-iya benar seperti itu." Ryan tampak kelabakan dengan perubahan suasana hati Rendra yang berubah secepat membalikkan telapak tangan.
"Ah, kupikir tadi kau mau bilang apa? Kebetulan kau menelepon saat aku sedang memikirkanmu," ucap Rendra dari seberang. Sengaja menggantungkan kalimat untuk menggoda sang asisten.
"Hah ... kenapa Anda memikirkan aku?" Ryan membulat sempurna. Sangat takut jika dia akan mendapatkan tugas atau hukuman yang tidak masuk akal dari atasannya itu.
"Memangnya kenapa? Kau keberatan?" tuduh Rendra kepada Ryan. Jika benar itu yang terjadi, tentu asistennya itu akan mendapat hukuman berat.
"Tentu saja tidak, Bos. Bagaiman mungkin aku berani?" kilah Ryan gugup. "Anda bebas memikirkanmu kapan saja kecuali ...." Dia segera menutup mulut dengan tangannya. Hampir saja pria itu keceplosan dan berujung membuat Rendra murka.
"Kecuali–"
"Kenapa Anda meneleponku, Bos. Sepertinya itu hal yang penting dan mendesak." Ryan segera mengalihkan pembicaraan agar suasana hati Rendra tidak memburuk. Jika itu terjadi maka dia yang akan kesulitan.
"Kau memang sangat mengenalku, Ryan."
Rendra kembali tersenyum saat mengingat tugas yang akan diberikannya kepada Ryan. Dia yakin jika sebentar lagi Aleeta akan jatuh dalam dekapannya.
"Aku ingin kau membawakan bunga mawar merah segar mulai besok untukku ke kantor. Jumlahnya sesuai hari kau memulainya. Besok satu tangkai, besoknya dua, lalu tiga, dan seterusnya."
"Hah? Kenapa dia harus membawakan bunga mawar untukmu?"