Chereads / BEAUTIFUL DESTINY (BAHASA INDONESIA) / Chapter 19 - AKU SUKA KAMU ....

Chapter 19 - AKU SUKA KAMU ....

Aleeta segera beranjak tatkala melihat piring di hadapan Rendra benar-benar telah kosong. Dia menjulurkan tangannya hendak meraih piring-piring itu. Namun, Rendra mengambilnya terlebih dahulu.

"Bu Aleeta sudah memasak untuk saya. Jadi, biarkan saya yang mencuci piring kotornya," ucap Rendra tersenyum.

"Tapi Anda masih sakit," sergah Aleeta hendak mengambil piring kotor di tangan Rendra.

"Saya sudah sehat, kok. Mau bukti?" Rendra mengedipkan sebelah matanya. Sebuah ide nakal terbersit di pikiran pria itu. Namun, tentu saja pikirannya masih cukup jernih untuk tidak melakukannya. Dia ingin mendekati Aleeta secara perlahan. Jangan sampai salah langkah, hingga membuat wanita itu justru kian menjauh darinya.

"Ehm, ya sudah. Silakan Anda cuci piringnya. Saya akan membereskan dapur dulu." Aleeta membalikkan tubuh hendak berjalan ke arah dapur. Akan tetapi tampilan dapur yang benar-benar kacau membuatnya menghentikan langkah "Iyuh ... apa yang sebenarnya kulakukan tadi? Ini bukan seperti bekas memasak. Tempat ini justru lebih mirip seperti medan perang yang habis dibom."

Rendra yang mendengar ucapan Aleeta ikut melihat ke arah dapur. Apa yang dikatakan wanita itu benar adanya. Baru kali ini dia melihat dapur yang seperti terkena serangan bombardir.

Gegas pria itu berjalan menuju ke tempat di mana Aleeta berdiri. "Maaf," lirihnya sebelum membuka ikatan apron di pinggang Aleeta dengan perlahan.

Wanita itu terkejut hingga tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dia bahkan sampai lupa bernapas, karena takut suara detak jantungnya yang memacu hebat di dalam sana terdengar oleh Rendra.

Setelah melepaskan apron itu, Rendra lalu memasangkan pada tubuhnya sendiri dengan begitu santainya. Tanpa tahu bahwa dia baru saja membuat jantung Aleeta bekerja lebih keras dari biasanya.

"Sial!" umpat Aleeta dalam hati setelah bisa menguasai dirinya. Dia begitu yakin jika wajahnya telah semerah tomat saat ini.

Rendra lalu mendorong tubuh Aleeta untuk menjauh dan kembali duduk di meja makan.

"Loh, kenapa?" Protes Aleeta, tetapi tetap menuruti Rendra. Sebenarnya dia pun enggan membersihkan dapur itu. Namun, tentu saja dia bukanlah tipe orang yang lari dari tanggung jawab.

"Sudah biar aku saja. Kamu duduk saja di sini." Rendra mendudukkan tubuh Aleeta setelah menarik sebuah kursi untuk wanita itu.

"Aku? Kamu?" Aleeta menunjuki dirinya dan Rendra bergantian dengan wajah kebingungan.

"Ah, maaf jika saya tidak sopan, Bu Aleeta. Saya pikir kita telah lebih akrab sekarang. Jadi–"

"Tidak apa-apa. Kamu boleh berbicara dengan lebih santai kepadaku. Akan tetapi ingat! Hanya jika kita berdua saja!"

Rendra mengangguk mantap mendengar perkataan Aleeta. Wajahnya jelas memancarkan kebahagiaan. Bukankah itu tandanya mereka telah selangkah lebih dekat, 'kan? Artinya mereka telah menjadi lebih akrab dan bisa saja akan menjadi sepasang kekasih dalam waktu dekat. Kini energinya seolah-olah telah dire-charge ulang.

Rendra tampak gesit mengumpulkan semua peralatan masak dan membersihkan dapur. Setelah dapur bersih, pria itu mencuci piring. Tampak sangat cekatan untuk ukuran seorang pria.

Sedangkan Aleeta masih setia memandangi punggung Rendra sembari menyesap minuman dingin yang diambil oleh pria itu dari lemari pendingin tadi.

"Kenapa? Kamu belum pernah melihat pria tampan mencuci piring?" tanya Rendra mengangkat sebelah alisnya.

Ah, dia kelepasan. Kembali pria itu merutuki dirinya yang terkesan begitu tergesa-gesa. Padahal mereka baru saja memutuskan untuk berbicara lebih santai, tetapi langsung berani melontarkan sebuah candaan. "Aku hanya bercanda," imbuhnya kemudian setelah melihat wanita itu menatapnya datar tanpa memberi reaksi apa pun.

"Apanya?" tanya Aleeta

"Perkataanku." Rendra berusaha menampilkan mimik penyesalan di wajahnya. Meski nyatanya dia sangat ingin menghancurkan tembok penghalang yang menjulang tinggi di antara mereka. Entah kapan keduanya bisa berbicara santai sambil melemparkan guyonan. Semoga saja secepatnya.

"Yang tadi?" Rendra lantas menanggapi pertanyaan itu dengan anggukan. "Akan tetapi menurutku itu bukan candaan ...." Aleeta sengaja menggantung ucapannya. Ingin melihat reaksi yang ditampilkan pria itu terlebih dahulu.

"Ma-maaf. Lain kali aku tidak akan bercanda lagi," lirih Rendra dengan wajah sendu. Jelas dia sangat cemas tentang kedekatan mereka yang baru saja akan dimulai. Namun, harus berakhir bahkan saat baru saja berada di garis start.

"Menurutku semua itu kenyataan. Bahwa kamu adalah pria tampan yang sedang mencuci piring. Jadi, untuk apa kamu meminta maaf? Kamu tidak sedang berbohong, kok," jelas Aleeta dengan santai. Benar-benar menampilkan wajah tanpa ekspresi, meski sebenarnya jantungnya sedang berpacu. Mengatakan Rendra adalah pria tampan sungguh butuh keberanian ekstra menurutnya.

Randra hanya termangu memegangi piring di tangannya. Sekilas kemudian kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda karena ucapan Aleeta. Apa wanita itu bahkan mengetahui bahwa dia sangat kegirangan sekarang? Bukankah penilaian itu sebagai tanda bahwa dia memiliki kesempatan untuk lebih dekat lagi dengan Aleeta?

"Ya Tuhan, begitu banyak kejutan-Mu untukku hari ini. Jika dengan sakit Engkau memberikan kebahagiaan seperti ini, aku rela Tuhan. Eh, tetapi kalau aku sakit, kapan aku bisa berkencan dengan Aleeta? Tunggu, kami bahkan baru saja mulai akrab. Namun aku sudah memikirkan kencan? Kau gila Rendra. Kewarasanmu hilang karena seorang wanita. Di mana Rendra yang ahli dalam mempermainkan wanita?" Rendra sibuk membatin dengan segala hal yang muncul di pikirannya.

Kini mereka berdua memilih diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Bunyi bel rumah yang kemudian memecahkan keheningan itu membuat Aleeta dengan cepat beranjak untuk memeriksa siapa yang datang. Mungkin saja itu Ryan, jadi dia bisa segera pulang.

"Rendra ... kamu pesan sesuatu?" tanya Aleeta yang kembali masuk. Memastikan kebenarannya sebelum membuka pintu. Pasalnya tidak sedikit kejahatan dengan modus membawa pesanan online.

"Yes, aku memesan sebuah strawberry cake buat kamu. Hope you like it." Rendra menatap wanita itu sembari melayangkan senyuman.

Sekilas kemudian kembali sibuk menata piring yang telah dicucinya. Aleeta pun segera kembali ke depan untuk mengambil pesanan Rendra. Di meja makan, pria itu telah menunggu dengan dua piring dan sendok kecil di tangannya. Baru saja mereka akan menyuapkan potongan pertama, bel pintu kembali berbunyi.

"Kamu lanjutkan saja, biar aku yang membukanya," sergah Rendra sebelum Aleeta beranjak.

"Baiklah."

Ah, Rendra rasanya sangat kesal. Entah siapa yang berani mengganggu waktu berdua ya dengan Aleeta.

"Aku sumpahi, semoga semua harinya hari Senin dan semoga kalendernya tidak ada tanggal merahnya," umpatnya kesal. Kekesalannya kian memuncak kala melihat orang yang mengganggunya adalah Ryan, asistennya.

"Beraninya kamu–"

"Maaf banget, Bos. Kamu bisa memarahiku nanti, tetapi jangan sekarang. Aku butuh tanda tanganmu sekarang." Ryan memotong ucapan Rendra sebelum pria itu menyelesaikannya.

"Ada hal mendesak apa sampai kamu berani menggangguku dan Aleeta?" geram Rendra. Tangannya telah terkepal erat menahan emosi yang menyeruak di dadanya.

"Tanda tangani berkas ini dan aku akan pergi seperti hantu."

Rendra meraih berkas yang disodorkan oleh Ryan dengan segera. Dia harus menyelesaikannya sebelum Aleeta menyadari kehadiran asistennya itu.

"Loh, Pak Rendra? Kenapa Anda tidak masuk?" tanya Aleeta yang telah berada persis di belakang Rendra. Tentu saja hal itu membuat Rendra dan Ryan terkejut. Ah, bagaimana kali ini mereka akan berdalih?

"Apa itu?" imbuh Aleeta ketika netranya menangkap sesuatu di genggaman Rendra.

Kedua pria itu saling pandang. Entah kebohongan apa lagi yang akan mereka ucapkan kali ini. Masing-masing sibuk memikirkan alasan masuk akal yang mungkin bisa diterima oleh Aleeta.

"Ah, saya hanya mampir, Bu Aleeta. Memeriksa apakah Ryan telah baik-baik saja. Meskipun saya yakin bahwa dia pasti akan baik-baik saja karena dirawat oleh, Bu Aleeta." Ryan tergagap. Peluh perlahan mulai membasahi tubuhnya karena takut.

"Anda tidak masuk?" tanya Aleeta. Seolah-olah tidak peduli akan apa yang dikatakan oleh Ryan.

Dering ponsel Ryan mengalihkan atensi semua orang. Tergesa-gesa pria itu menjauh seolah-olah menjawab panggilan mendesak. Untung saja alarmnya berbunyi di waktu yang tepat. Dia kini bisa berdalih mendapat telepon darurat agar bisa meninggalkan atasannya bersama wanita yang tengah ditaksirnya.

"Kenapa kamu keluar? Aku, 'kan, sudah bilang untuk menungguku saja."

"Aku hanya penasaran, Ryan. Aku takut kamu pingsan di depan pintu, makanya tidak kembali masuk," jelas Aleeta panjang lebar.

Rendra menjepit kedua bibirnya untuk menahan tawa. "Aku suka."

"Apa?" Aleeta tentu sangat terkejut. Perkataan ambigu itu membuatnya senang. Namun, di lain pihak, dia tidak ingin terhanyut dalam kesalah pahaman.

"Aku suka kamu mengkhawatirkan aku," ucap Rendra mendekatkan tubuh ke arah Aleeta. Sengaja berbicara tepat di telinga wanita itu.

Aleeta memejamkan mata. Bisikan Rendra memberi sensasi tersendiri kepadanya. Memberi kesan menggelitik di telinga, hati, dan bahkan seluruh tubuhnya.

"A-aku harus pergi sekarang. Iya. Sekarang juga." Aleeta berlari menuju tas yang tadi disimpannya di sofa. Meraih benda itu, dan berlalu dengan secepat mungkin. Saat merasa telah aman, dia berhenti berlari dan memegangi dadanya. Mencoba memastikan jika jantungnya baik-baik saja.