Aleeta mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Dia tidak bisa mengelak jika jantungnya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hampir saja organ vitalnya itu terlepas dari singgasananya. Setelah merasa tenang, wanita itu segera melangkahkan kaki meninggalkan Apartemen milik Rendra. Tangannya merogoh tas yang dia bawa, mencari-cari sesuatu di sana.
"Ah, sial! Kenapa harus tertinggal, sih." Wajah Aleeta tampak kesal. "Bagaimana aku akan memesan taksi kalau ponselku tidak ada. Bodoh!" imbuhnya merutuki diri sendiri karena lupa membawa ponsel. Sialnya lagi, sepertinya benda pipih itu tertinggal di dapur apartemen Rendra.
Ketakutan kini menyelimuti hati dan pikiran Aleeta. Antara kembali untuk mengambil ponsel atau melanjutkan langkahnya dan meninggalkan tempat itu.
Akhirnya setelah menimbang, dia memutuskan untuk kembali dan mengambil ponselnya.
"Tetap tenang, Aleeta. Tetaplah bersikap anggun dan elegan," batin Aleeta memberi sugesti kepada dirinya.
Keraguan kembali hinggap saat Aleeta sudah sampai di pintu apartemen Rendara. Dia tidak segera memencet bel, tetapi malah termangu menatap pintu di hadapannya. Menarik napas dalam, untuk mengumpulkan segenap kekuatan agar mampu menahan rasa malu di depan Rendra. Setelah merasa yakin, akhirnya wanita berambut panjang itu menekan bel. Namun, belum sempat tangannya menempel pada bel, pintu sudah terbuka dan Rendra tengah berdiri di hadapannya.
Wajahnya sudah terlihat lebih segar dengan penampilan casual yang membuat lelaki itu semakin terlihat tampan dan menawan. Tangan Aleeta masih menggantung di udara. Detak jantungnya seolah berhenti. Bahkan, dia sampai lupa untuk bernapas. Sungguh rasa yang tidak bisa diajak kompromi.
"Ehem ...." Dehaman dari Rendra ternyata mampu menyadarkan Aleeta kembali, meski jantungnya tetap saja masih berpacu dengan keras. " Aleeta?" Rendra menyajikan senyum yang sangat menawan untuk wanita di hadapannya.
"Pak Ryan? Ma–maaf. Saya—" Ucapan Aleeta terhenti saat Rendra mengangkat ponsel milik Aleeta.
"Sepertinya kamu meninggalkan benda berharga ini." Rendra menyodorkan ponsel itu.
"Ah, iya. Karena terburu-buru saya meninggalkannya." Aleeta segera mengambil benda itu. "Terima kasih, Pak Ryan," imbuhnya dengan cepat. Dia segera membalikkan badan, berniat segera meninggalkan tempat itu.
"Aleeta, tunggu!" Panggilan dari Rendra nyatanya mampu mengehentikan langkah wanita itu.
Aaleeta menghentikan membalikkan badan dan menatap tajam ke arah Rendara.
"Sorry. Kamu bilang kita bisa lebih akrab jika sedang bedua. Kalau aku tetap memanggilmu dengan panggilan 'Bu Aleeta' bukankah akan terdengar aneh?" Rendra tersenyum, dia sangat yakin kali ini Aleeta tidak akan bisa mengelak atau menarik kata-katanya.
"Baiklah, Ryan." Aleeta pasrah.
Baru kali ini dia menyesali ucapannya dalam memutuskan sesuatu. Nyatanya ada rasa yang berbeda saat Rendra memanggil namanya tanpa sebutan 'Bu' di depannya.
"Ayo! Aku akan mengantarmu pulang." Rendra melangkah mendahului Aleeta. Namun, Aleeta masih termangu di tempatnya.
"Kamu tidak mau pulang? Atau ingin kembali ke dalam sana?" Rendara mnghentikan langkah, lalu melirik ke arah apartemennya saat menyadari Aleeta masih berdiri di tempatnya. Dia kembali menghampiri Aleeta dan tersenyum menggoda.
"Bukan begitu, Ryan. Kamu sedang sakit. Aku bisa pulang sendiri dengan menggunakan taksi."
"Apakah kamu tidak melihat aku sudah segar kembali? Sepertinya staminaku sudah terisi penuh. Jadi, ayo berangkat! Aku antar kamu pulang sebagai ucapan terima kasihku." Rendra mengandeng tangan Aleeta agar wanita itu mengikutinya kali ini. Dia tidak ingin mendengar penolakan lagi dari Aleeta.
"Maaf, Ryan. Bisa kamu lepaskan tanganku? Aku bisa jalan sendiri." Rendra yang menyadari hal itu segera melepaskan genggaman tangannya. Bahkan genggaman tangan itu baru terlepas setelah mereka turun dari lift.
"Maaf, Aleeta. Aku terlalu nyaman sampai-sampai tidak menyadarinya." Senyum tanpa dosa terukir indah di bibir Rendara.
Namun, sukses membuat Aleeta merona dan tentu saja menjadi baper tingkat dewa. Bagaiman mungkin pria itu menggenggam tangannya dengan begitu santai. Bolehkah kini dia sedikit berharap? Ataukah Rendra memang hanya seorang pria yang menyukai sentuhan, meski dengan wanita yang tidak dekat dengannya? Entahlah.
Mobil yang mereka tumpangi melaju pelan menuju apartemen Aleeta. Tampaknya Rendra sengaja membawa mobil dengan pelan karena ingin berlama-lama dengan wanita di sampingnya itu.
"Sekali lagi, aku mengucapakan terima kasih." Ucapan Rendra berhasil membuat wanita yang sedari tadi duduk diam di sampingnya itu menoleh ke arahnya.
"Terima kasih?" Aleeta masih belum memahami ucapan Rendra.
"Ya. Terima kasih karena kamu sudah menjengukku dan mengembalikan staminaku. Bahkan, kini staminaku bertambah berkali-kali lipat."
Aleeta mengerutkan kening, sama sekali tidak mengerti ucapan Rendra. Apakah beberapa jam bersama lelaki itu membuat kecerdasannya menurun?
"Apa hubungannya staminamu bertambah dengan aku menjengukmu?" Aleeta bertanya karena memang benar-benar ia tidak mengerti.
"Ya, karena kamu menjengukku, makanya staminaku bertambah. Kamu menjadi sumber kekuatanku." Rendra mengucapkan kata-kata itu lagi-lagi dengan sangat santai. Dia menatap Aleeta yang juga sedang menatapnya.
"Fokuslah mengemudi, Ryan. Aku tidak mau masuk rumah sakit!" Sengaja Aleeta mengalihkan pembicaraan dan memalingkan tatapannya.
Tanpa Rendra sadari ucapannya itu membuat jantung Aleeta berdebar sangat tidak karuan. Ada rasa bahagia yang menyelinap masuk di hatinya. Namun, sekeras mungkin wanita itu berusaha menampiknya. Dia belum mengenal Rendra lebih jauh, dan tidak ingin larut dalam perasaannya sendiri karena terlalu larut dalam kesenangan.
"Aku hanya merasa bersalah karena menolongku semalam, kamu jadi sakit, Ryan." Aleeta mencoba meluruskan. Dia tidak ingin Rendra salah paham dengan niatnya. Walaupun ia tidak bisa menampik ada rasa bahagia dari kesalahpahaman itu.
"Apa pun alasannya, aku sangat berterima kasih dan bahagia." Lagi-lagi ucapan Ryan berhasil mengikis benteng pertahanan di hati Aleeta yang selama ini ia jaga. Entah kenapa kalimat-kalimat rayuan begitu mudah diucapkan oleh pria itu. Mungkin saja karena pria itu memang seorang playboy atau ... bolehkah kini diaa sedikit berharap?
Aleeta memejamkan mata untuk menghindari percakapan yang bisa saja akan membuatnya salah paham. Selain itu, tentu saja untuk mengatur ritme jantungnya agar kembali normal. Meski nyatanya semua itu sia-sia. Kini, bahkan hanya mendengar suara Rendra telah mampu membuatnya jantungnya bekerja keras. Namun, wanita itu memilih tetap memejamkan mata selama perjalanan.
Aleeta mengerjapkan mata untuk mendapatkan kesadarannya. Memerhatikan sekitar untuk mencari tahu di mana mereka berada sekarang. Tempat itu tampak familiar.
"Ah, ternyata sudah sampai," gumam Aleeta kepada diri sendiri.
Matanya kini tertuju pada sosok Rendra yang sedang memejamkan mata di sampingnya. Masih duduk di kursi kemudi, melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya yang tertidur tampak seperti anak bayi. Sangat damai. Ia pun tidak menampik bahwa pria itu terlihat sangat tampan sekarang.
Aleeta melipat kedua tangan dan menjadikannya bantalan di dashboard. Memandang wajah pria yang telah menguasai hatinya beberapa waktu ini. Ah, sungguh makhluk Tuhan yang paling menawan menurutnya. Akan tetapi, bolehkah ia seperti ini sekarang?
Baru saja memikirkan hal itu, Rendra tiba-tiba bergerak. Sontak membuat Aleeta segera memejamkan matanya.
Rendra yang baru saja terbangun segera mengikuti posisi Aleeta. Sekarang wajah mereka saling berhadapan. Bergantian, kini pria itu yang memandangi wajah wanita cantik yang sedang berpura-pura tidur itu sepuasnya.
"Kamu cantik, Aleeta," ucapnya tersenyum.
Namun, sukses membuat Aleeta terkejut dan tanpa sadar membuka matanya. Wanita itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang baru saja didengarnya memang benar. Apa benar Rendra baru saja menyebutnya cantik? Ya, memang tidak sedikit orang yang berkata tentang kecantikannya. Akan tetapi, entah mengapa kalimat samar yang keluar dari bibir pria itu justru sangat spesial untuknya.