"Bagus, keahlian mengemudimu meningkat sepuluh persen." Renda melirik asistennya sekilas, lalu beranjak meninggalkan Ryan yang masih termangu di tempatnya.
"Sepertinya dia semakin gila!" umpat Ryan. Ia segera mengejar Rendra, sebelum harimau gila itu kembali mengaum.
Pertemuan Rendra dan ayahnya berjalan lancar. Bahkan, sang ayah berencana akan membuka cabang di negara tetangga.
Kehidupan Rendara cukup sempurna bukan? Tidak hanya memiliki harta yang berlimpah, tetapi juga mempunyai paras yang tampan dan gagah, serta kecerdasan yang juga tidak perlu diragukan lagi. Dia adalah lelaki impian para wanita. Terkecuali Aleeta tentunya. Ya, entah kenapa wanita yang mempunyai penilaian yang berbeda terhadap Rendra.
Awan gelap tampak mulai menyelimuti malam. Sepertinya langit kembali akan menumpahkan airnya tidak lama lagi. Bulan yang seharusnya masih bersinar, tetapi dipaksa untuk menghilang di balik kumpulan awan gelap.
Rendra sedang merebahkan tubuh pada sofa di ruang kerjanya. Masih dengan mata terpejam, tetapi tidak benar-benar tertidur. Pikirannya sedang berkelana, memikirkan seseorang yang entah di mana sekarang. Rintik gerimis pun perlahan telah berubah menjadi deras hujan.
"Kamu pulang saja lebih dulu. Malika pasti sudah menunggumu."
Sebuah pesan yang diterima Ryan cukup membuat lelaki itu membelalakan mata. Bahkan, ponsel dalam gengamannya hampir terjatuh. Tidak biasanya sang atasan menyuruhnya pulang terlebih dahulu.
"Baiklah, aku akan menggunakan kesempatan ini sebelum dia berubah pikiran," batin Ryan.
Gegas dia membereskan berkas yang ada di hadapannya. Memasukkan ke dalam tas lalu berpamitan kepada atasannya.
"Sampai jumpa Minggu depan, Pak." Ryan menundukkan kepalanya sebagai tanda penghormatan. Pria itu melangkah cepat sembari bersenandung. Namun, Rendra membuka suara ketika dia baru saja memegang gagang pintu dan berniat membukanya.
"Sesenang itu kamu meninggalkan aku?" Rendra berkata tanpa membuka mata. Satu tangannya ia letakkan di atas dahi.
"Ah, bukan begitu, Bos. Saya hanya senang karena akan bertemu dengan Malika," tutur Rendra cepat sebelum atasannya itu berubah pikiran.
"Hei, sekarang sudah jam 12 malam bodoh. Jangan berbohong kepadaku."
"Siapa yang berbohong, Pak. Sungguh. Saya hanya senang karena akan bertemu pacar saya," kilah Ryan berusaha tampak meyakinkan.
"Kamu bersungguh-sungguh?" tanya Rendra bangkit dari tidurnya.
"Tentu saja, Pak. Saya adalah orang yang sangat tidak suka berbohong," jawab Ryan meletakkan sebelah tangannya di dada.
Sekejap mata ekspresi Rendra berubah menyeramkan. Ah, kasihan Ryan, tampaknya malam yang tenang hanya akan tinggal angan semata.
"Kamu mau melakukan hal apa dengan mengajak adik sepupuku bertemu di larut malam seperti ini?"
"Maaf, Pak. Sepertinya Anda salah paham, yang saya maksud dengan bertemu bukan dalam arti yang sebenarnya. Maksud saya adalah, bertemu Malika di dalam mimpi." Ryan menjawab dengan tenang. Bersorak dalam hati karena merasa telah berhasil mengelabui sang atasan.
"Apa yang kamu mimpikan dengan adikku? Jika kamu melakukan hal yang tidak-tidak padanya aku tidak akan tinggal diam. Kalian itu belum menikah, belum halal. Jatuhnya malah dosa."
Ryan tampak terdiam tanpa mengubah ekspresi. Dia paham betul jika atasannya itu memang aneh. Terlebih lagi belakang ini. Semuanya karena Aleeta, wanita yang bersikap dingin dan mengabaikan bosnya. Namun, justru membuat pria itu penasaran dan jatuh cinta.
"Sepertinya Anda salah paham lagi, Pak. Biasanya saya hanya bermimpi vidio call dengan sepupu Anda tidak lebih." Ryan sengaja memberi penekanan lebih di akhir kalimatnya.
"Kamu yakin hanya video call? Kamu tidak meminta hal lain, 'kan? Contohnya meminta dia membuka pakaian misalnya?"
"Sama sekali tidak pernah, Pak," tegas Ryan. Dia mulai kesal dengan atasannya itu. "Karena dia yang membuka pakaiannya dengan sukarela," imbuhnya di dalam hati tentunya.
"Aku masih tidak percaya denganmu."
"Ayolah, Pak. Anda tahu saya bukan orang mesum seperti itu.sepertinya Anda tidak sadar, jika kita telah menghabiskan waktu selama 20 menit untuk berbincang. Kalau begitu saya permisi, Pak." Ryan menundukkan kepala sekali lagi. Lalu, meninggalkan ruangan itu dengan cepat.
Rendra tergelak setelah asistennya pergi. Setidaknya dia mendapat sedikit hiburan dengan mengerjai Ryan setiap hari.
Tidak berselang lama kemudian, Rendra pun meninggalkan kantor. Menuju rumah yang pastinya sepi, karena tak ada seorang pun yang menunggunya. Tempat yang dingin tanpa kehangatan orang yang lain. Saat malam dan sepi memang selalu membuatnya memikirkan hal-hal yang tidak biasa. Membuatnya rindu akan keramahan dan perhatian orang lain kepadanya.
Dari kejauhan netranya menangkap sosok seorang wanita yang sedang berdiri di tepi jalan di samping sebuah mobil. Tampaknya wanita itu kesusahan karena mobilnya mogok. Perlahan Rendra menepikan kendaraan dan bermaksud menolong.
"Permisi, mobilnya mogok, ya? Butuh tumpangan?" tanya Rendra to the point. Pasalnya waktu telah menunjukkan pukul 00.35 WIB. Dia butuh istirahat untuk menghadapi hari esok yang mungkin saja akan lebih berat dari hari ini.
"Iya, Pak. Terima kasih, tetapi sopir saya sudah menuju ke sini." Wanita itu tampak sibuk mengutak-atik mobilnya.
"Kalau begitu boleh saya temani menunggu? Yah, ini sudah larut dan Anda seorang wanita. Tentu saja dapat memicu tindak kejahatan. Bukankah kejahatan terjadi bukan karena keinginan semata, tetapi juga karena ada kesempatan."
Wanita itu tampak mengehentikan kegiatannya. Menutup kap mobil dan menatap Rendra.
"Ah–"
"Eh–"
Rendra dan Aleeta tampak terkejut. Wanita itu tidak mengira jika pria yang menawarkan bantuan adalah Rendra, begitupula sebaliknya.
"Hm, sepertinya Tuhan ingin menghiburku setelah lelah bekerja seharian. Terima kasih atas pengertian-Mu Tuhan." Rendra merapal syukur di dalam hati.
"Maaf, Pak Ryan. Saya kira Anda pria iseng yang mampir setelah melihat mobil saya mogok," ungkap Aleeta.
Pria itu mengumbar tawa. Seolah-olah apa yang dikatakan oleh Aleeta adalah hal biasa. "Tidak apa-apa. Jika jadi Anda, tentu saya akan melakukan hal yang sama. Jadi, apakah Anda akan menunggu atau ingin saya antar pulang?"
"Tidak apa-apa, saya menunggu saja, Pak Ryan." Aleeta masih kukuh dengan pendiriannya.
Rendra mengembuskan napas berat.
"Baiklah, Bu Aleeta. Kalau begitu saya akan coba membantu melihat kondisi mobil Anda." Setelah membuka pintu mobil, Rendra segera berlari menghampiri Aleeta.
"Maaf, saya tidak membawa payung," ujar Rendra begitu berdiri di samping Aleeta ketika hujan tiba-tiba saja mengguyur. "Biar saya coba lihat dulu." Rendra kembali membuka kap mobil yang tadi sempat ditutup Aleeta.
"Terima kasih, Pak Ryan. Tetapi jika Anda ingin pulang lebih dulu tidak masalah. Lagi pula ini sudah sangat larut, Anda pasti sangat lelah." Alleta merasa segan dengan Rendra.
Rendra menghentikan aktifitasnya sejenak, menoleh ke pada Aleeta. Untuk beberapa detik tatapan mereka bertemu.
"Anda tidak perlu khawatir, Bu Aleeta. Saya tidak mempunyai niat apa pun. Saya yakin, atasan saya juga akan melakukan hal yang sama jika dia berada di posisi saya." Rendra kembali fokus memeriksa mobil Aleeta.
Namun, Aleeta terlihat semakin merasa tidak nyaman dengan Rendra. Wanita itu malah menjadi takut jika Rendra salah paham dengan ucapannya. Dia memang sedikit curiga dengan Rendra, tetapi tidak menyangka jika ucapan pria tadi berhasil menciptakan rasa bersalah dalam hatinya.
Selama ini Aleeta memang merasa jika Rendra tertarik padanya. Dari cara lelaki itu bersikap memang cukup membuatnya semakin yakin dengan feelingnya.
"Bu–bukan begitu maksud saya, Pak Ryan. Maksud sa ... Aargghhh." Belum sempat Aleeta melanjutkan kalimatnya, wanita itu menjerit terkejut saat tiba-tiba petir menggelegar. Sigap Rendra meraih payung di tangan Aleeta dan membawa wanita itu menuju mobilnya.