"Sebaiknya Anda menunggu di sini saja, Bu Aleeta. Hujan semakin deras, dan sepertinya cuaca malam ini juga sedang tidak bersahabat. Saya akan coba kembali memeriksa mobil Anda." Aleeta segera duduk di samping kursi kemudi setelah Rendra membukakan pintu untuknya.
Rendra kembali melihat kondisi mobil Aleeta. Ia sedikit kesulitan, karena sebelah tangannya harus memegang payung. Namun, baru beberpa menit petir kembali menggelegar dan angin kencang berhasil melepaskan payung di tangannya. Tubuh Rendra pun basah kuyup diguyur hujan. Aleeta yang melihat itu hanya mampu membelakakkan mata. Rendara segera berlari menuju mobilnya.
"Pak Ryan, Anda baik-baik saja?" Aleeta segera menodongkan pertanyaan itu saat Rendara sudah duduk di kursi kemudian di sampingnya. Manik matanya menatap Rendara yang basah kuyup.
"Maaf, Bu Alleta. Sepertinya cuaca semakin buruk. Saya tidak bisa lanjut memeriksa mobil Anda." Raut kecewa terpancar dari paras tampan Rendra karena tidak bisa membantu Aleeta.
"Tidak apa-apa, Pak Ryan. Besok saya akan menghubungi orang bengkel agar mengirim montir untuk mengambil mobil saya," ucap Aleeta. "Maaf, karena saya Anda jadi basah kuyup seperti ini," sambung Aleeta merasa bersalah.
"Ah, ini, tidak masalah. Kita juga tidak tahu jika cuaca akan semakin buruk." Rendara mengusap-ucap rambutnya yang basah. "Oh, ya. Supir Anda sudah sampai di mana? Saya akan menani Anda di sini sampai supir Anda datang." Renda tidak lagi memaksa untuk mengantar pulang Aleeta. Karena ia tahu wanita di sampingnya itu cukup keras kepala. Ia akan mengikuti saja keinginan wanita itu.
Bukannya jawaban yang Renda dapatkan atas pertanyaannya, tetapi ia melihat wajah Alleta mulai terlihat khawatir.
"Bu, Aleeta. Apa ada sesuatu yang terjadi?" Rendra kembali bertanya.
"Ah, Itu. Saya tadi mendapat kabar dari supir dia mengalami masalah saat menuju ke sini. Tiba-tiba ada pohon tumbang dan mobilnya juga mengalami masalah. Mungkin dia akan terlambat menjemput saya," jawab Aleeta ragu. Ia takut akan semakin merepotkan Rendra.
"Baiklah, Bu Aleeta. Beritahu saya kemana saya harus mengantarkan Anda. Karena sepertinya kita tidak bisa menunggu sampai supir Anda datang. Akan sulit mencari bantuan saat larut dan cuaca buruk seperti saat ini." Tanpa meminta persetujuan dari Alleta, Rendra segera melajukan mobilnya, menerobos deras hujan.
Rendra tidak bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, hujan yang sangat deras membuat ia sangat berhati-hati mengemudikan mobil. Apalagi dengan membawa seorang penumpang lain, ia tidak mau mengambil resiko yang cukup berbahaya. Meskipun tubuhnya basah kuyup, tetapi Rendra cukup senang karena bisa mengantarkan Aleeta malam itu.
Suasana di mobil cukup hening, Rendra yang mengemudikan mobil rupanya sedang menahan rasa dingin yang mulai menjalar di tubuhnya.
"Pak Ryan. Terima kasih. Dan sekali lagi, maaf sudah membuat Anda basah seperti ini." Ucapan Aleeta memecahkan keheningan di dalam mobil itu.
"Tidak masalah, Bu Aleeta." Suara Rendra sedikit bergetar menahan dingin.
"Apakah Anda baik-baik saja, Pak Ryan?" Alleta terlihat khawatir melihat kondisi Rendara yang terlihat menahan dingin. Rendra hanya bisa menanggapi pertanyaan Aleeta dengan sebuah anggukan. Bibir lelaki itu terlihat bergetar dan pucat. Hal itu membuat Alleta semakin merasa bersalah.
"Kita sudah sampai, Bu Aleeta." Tak terasa mobil itu sudah sampai di di gedung apartemen tempat tinggal Alleta.
"Pak Ryan apakah Anda yakin baik-baik saja?" Aleeta mencoba memastikan keadaan Rendra sebelum ia turun dari mobil itu.
Rendra tersenyum menatap Aleeta. "Saya baik-baik saja, Bu Alleta. Hanya sedikit kedinginan. Seperti yang Anda lihat." Rendara menjawab sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Sebaiknya Anda segera masuk dan bergegas mandi, karena tadi Anda juga sedikit terkena air hujan. Anda juga tidak mungkin menawarkan bantuan agar saya mampir ke apartemen Anda. Bu Aleeta tidak mungkin mempunyai pakaian laki-laki, 'kan?" Rendra mencoba menggoda Aleeta.
"Ba-baiklah, Pak Ryan. Kalau begitu saya permisi. Terima kasih atas tumpangannya dan maaf karena saya Anda jadi kedinginan seperti ini." Aleeta pun bergegas masuk menuju apartemennya.
Ia sadar, semakin lama ia berbincang dengan Rendra, semakin lama pula lelaki itu akan menggigil kedinginan.
Setelah memastikan Aleeta masuk, Rendra segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia sudah tidak tahan lagi dengan dingin yang seolah-olah menguasai tubuhnya.
Pagi itu mentari bersinar cerah. Sisa-sisa tetesan hujan semalam masih terlihat membasahi dedaunan. Hujan disertai angin kencang malam tadi rupanya telah menumbangkan beberapa pohon di beberpa lokasi. Pohon-pohon besar dan tua rupanya sudah tidak sanggup lagi menahan terpaan angin kencang malam tadi.
Aleeta sudah terbangun walaupun dengan kepala yang terasa pusing. Ia hanya tidur beberapa jam saja, untungnya hari ini adalah weekend, jadi dia bisa sedikit bermalas-malasan. Semalam ia juga sulit untuk tidur. Pikirannya penuh dengan bayangan Rendara. Bagaimana kondisi lelaki itu? Apakah dia baik-baik saja?
Sementara itu di apartemen lain, Rendra tampak masih bergelung dibalik selimut, meskipun langit sudah terang. Biasanya saat weekend seperti ini, ia akan pergi lari pagi ataupun pergi ke gym. Namun, tidak dengan pagi ini. Jangankan untuk beranjak bangun, untuk membuka mata saja sangat berat ia lakukan. Kepala Rendara terasa berat, dan ia merasakan panas pada tubuhnya.
Tepat pukul sembilan pagi, pintu apartemen Rendara terbuka.
"Kakak ...." Malika segera berlari menghampiri Ryan yang bergelung di bawah selimut.
Satu jam lalu, Rendara menghubungi Ryan agar datang ke Apartemennya dan membawakannya obat. Ryan pun segera menghubungi Malika agar ikut bersamanya ke apartemen Rendara. Dari suara Rendra saat menelpon tadi, ia tahu atasannya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Kak, kamu demam." Malika terlihat panik, setelah ia menarik selimut dan membangunkan Renda.
Rendra memang terbilang jarang sakit. Mungkin karena kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit, ditambah lagi kejadian semalam membuatnya semakin drop.
Beberapa bulan belakangan ini ia memang sangat sibuk. Bahkan ia sering pulang larut malam hanya untuk menyelesiakan pekerjaannya. Siapa bilang mendudukin posisi sebagai CEO sebuah perusahaan ternama itu enak dan bisa bersantai-santai. Nyatanya semua tidak seindah yang digambarkan dalam novel-novel romance.
"Kakak bangun dulu, ya. Sarapan." Malika mencoba kembali membangunkan Rendra yang masih terpejam.
"Kepalaku pusing. Aku ingin tidur sebentar lagi." Rendra berucap dengan suara serau.
"Tapi nanti Kakak tambah sakit. Lebih baik Kakak sarapan dulu, lalu minum obat, setelah itu baru tidur lagi." Malika masih mencoba membujuk kakak sepupunya itu.
"Hem." Hanya itu jawaban Rendara.
"Sayang, sebaiknya kita biarkan saja kakakmu tidur beberapa menit lagi. Nanti kita bangunkan lagi untuk sarapan dan minum obat." Ryan mencoba mberikan solusi pada Malika, karena ia tahu, Rendra akan bangun jika ingin.
Walaupun berat, Malika kembali menutupi tubuh Kakaknya itu dengan selimut dan membiarkannya tidur beberapa menit lagi.