"Ugh ... jangan menatapku dengan tatapan mematikan seperti itu. Aku pun sebenarnya ingin pergi meninggalkan kalian." Ryan membatin kesal setelah menyadari tatapan tajam dari Rendra.
"Maaf Bu Aleeta, sepertinya saya harus pergi lebih dulu. Ada urusan mendesak di kantor yang harus segera saya selesaikan. Maaf, saya harus meninggalkan Anda di tengah pertemuan ini," ungkap Ryan dengan wajah penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa. Saya mengerti kesibukan Anda. Justru saya yang minta maaf, karena telah menyita waktu Anda." Aleeta membalas dengan tersenyum simpul.
Ryan refleks menepuk pundak Aleeta. "Tidak apa-apa. Jangan minta maaf, karena saya yang mengajak Anda untuk makan siang bersama."
Ryan dan Aleeta masih sibuk berbincang ketika darah Rendra telah terpacu hingga ke ubun-ubun. Menatap kesal tangan Ryan yang dengan santainya hinggap di bahu wanita yang mencuri perhatiannya itu.
Ah, Rendra bahkan belum pernah memegang bahu Aleeta, tetapi Ryan dengan beraninya bertingkah santai seperti itu.
"Ehm ... bukankah kita harus segera pergi, Pak?" ucap Rendra dengan wajah yang jelas menahan amarah.
Sang asisten yang mengerti sigap melepas tangannya yang terlalu kebiasaan menyentuh orang lain. Sialnya, kali ini sepertinya dia akan dikerjai habis-habisan oleh bos-nya itu. Ryan yang malang.
"Mari Bu Aleeta, kami pamit dulu." Rendra menundukkan kepala, lalu beranjak pergi dari tempat itu. Tentu saja diikuti oleh Ryan yang entah telah merapal doa sebanyak apa.
Mereka baru saja melewati pintu keluar restoran, ketika Rendra tiba-tiba menghentikan langkahnya. Hal itu luput dari perkiraan Ryan, hingga membuatnya menabrak tubuh bagian belakang sang atasan.
"Kamu punya dendam apa ke aku, hm?" Ryan mengerutkan dahi heran. Belum mampu menangkap maksud perkataan pria itu. "Kamu sudah bosan hidup damai, ya, sampai berani menyentuh wanitaku?" imbuhnya menahan amarah.
Ryan menjadi gelagapan. "Om my God. Cobaan apa lagi ini Tuhan," jeritnya dalam hati.
"Wanita mana, ya, maksudnya, Bos?" tanya Ryan berlagak bodoh. Namun, kali ini sepertinya dia memang benar-benar bodoh karena salah memilih kata.
"Heh, saya tahu otak kamu itu sudah dipenuhi oleh Malika. Akan tetapi, masa kamu juga tidak tahu apa yang aku maksud?"
"Maksudnya Bu Aleeta?" Ryan bertanya dengan hati-hati. Namun, pria berjas di hadapannya enggan menjawab. Justru, malah membuang pandangannya dengan kesal.
"Ternyata otakmu masih berfungsi," celetuk Rendra dengan nada mengejek.
"Ta-tapi ... Bu Aleeta belum jadi milik, Bos. She is still your crush, right?"
Rendra mengeratkan genggamannya menahan emosi. Meski nyatanya apa yang diucapkan oleh Ryan adalah kebenaran. Namun, entah mengapa hal itu menyulut emosinya.
Sepertinya Rendra memang harus segera mengubah status "friend" menjadi "boyfriend". Eh, tapi memangnya Aleeta bahkan menganggapnya sebagai seorang teman?
Gegas Rendra menuju parkiran dan memasuki mobilnya diikuti oleh Ryan.
"Kamu sedang apa?" geram Rendra. Sepertinya hari ini Ryan sangat berani, hingga menguji kesabaran Rendra berkali-kali.
"Duduk?" Ryan menjawab asal sambil memakai seat belt.
Rendra memutar bola mata jengah. Bukan jawaban seperti itu yang dia harapkan. "Maksudnya, kenapa kamu duduk di kursi penumpang?"
"Lah, Bos sendiri kenapa duduk di kursi pengemudi?" Ryan bertanya balik.
"Turun! Tutup pintu dari luar!" perintah Rendra.
"Maksudnya bagaimana, Bos?"
"Kamu masih punya otak, 'kan? Pakai. Pikir."
"Maaf, tanpa mengurangi hormat. Maksudnya begini, loh, Pak Rendra yang terhormat. Kita, kan, sama-sama mau ke kantor untuk mengurus sesuatu hal yang super duper mendesak sekarang. Kalau aku turun dan menutup pintu dari luar, otomatis Pak Rendra pergi sendiri, dong, di mobil ini. Tentunya hal itu akan menghambat kita untuk menyelesaikan masalah yang urgent ini."
Rendra terdiam sejenak. Sedangkan Ryan tampak menampilkan senyum yang samar. Merasa alasannya diterima oleh sang atasan.
"Bukan kita, tapi kamu. Enak saja. Sudah, turun sekarang juga. Mumpung aku masih berbaik hati," desak Rendra.
Berat hati Ryan melepaskan seat belt yang tadi telah dipasangkannya. Beringsut dari posisi yang telah nyaman menurutnya.
"Kenapa kamu menghela napas seperti itu? Tidak terima? Atau menurutmu aku atasan yang buruk?" tanya Rendra ketika mendengar helaan napas yang cukup panjang dari sang asisten.
"Kenapa dia telinga bionik, sih?" umpat sang asisten dalam hati.
"Tidak usah mengumpat dalam hati seperti itu, percuma. Semuanya tampak jelas di wajahmu."
"Mana mungkin aku be–"
"Sudah. Tidak usah berdusta. Aku tahu kebanyakan lelaki adalah pendusta, tetapi aku tidak mengharapkan hal itu darimu, Ryan. Padahal aku terima kamu apa adanya meski punyamu kecil dan imut. Apa yang kamu lakukan ke aku itu jahat," ucap Rendra dengan wajah yang dibuat sesedih mungkin.
"Hah?" Ryan masih mencoba mencerna kalimat yang baru saja didengarnya.
"Ini hukuman untukmu, agar lain kali kamu bisa menjaga tanganmu. Kuberi waktu 20 menit untuk sampai ke kantor. Kalau terlambat, akan ada hukuman lain yang menantimu," bisik Sanga atasan sebelum mengedipkan sebelah mata.
Seketika Ryan terperangah. Masih menatap kepergian atasannya yang segera melajukan kendaraan setelah melontarkan kalimat yang cukup aneh menurutnya.
"Ih, ganteng-ganteng kok festive."
"Jeruk makan jeruk."
Bisikan-bisikan aneh disertai tatapan dari beberapa wanita yang berada di parkiran membuat kesadarannya kembali. Sepertinya Rendra sengaja berkata dengan suara yang suara yang keras agar semua orang mendengarnya. Ah, sungguh sangat kekanak-kanakan menurut Ryan.
Pembalasan yang sungguh melukai harga dirinya. Hanya karena menyentuh sedikit bahu wanita yang sedang menjadi incaran sang atasan.
Ryan refleks menutup bagian bawahnya dengan tangan kiri, tatkala seorang wanita berpakaian seksi menatap ke arah tersebut dengan intens. Sedangkan tangan sebelahnya menutupi wajah pria itu. Malu. Ingin rasanya dia bersembunyi ke dalam lubang sedotan saja.
Belum lima menit Rendra meninggalkan Ryan, tetapi pria itu telah kembali menjemput si asisten. Tentu saja dia tidak Sudi melakukannya. Namun, ayahnya mewanti-wanti untuk membawa serta asistennya menemui beliau. Ah, dia begitu yakin, jika Ryan adalah kaki tangan pria tua itu.
Akhirnya mobil melaju ke tempat yang mereka tuju, dengan Ryan yang mengemudikannya. Suasana di dalam mobil pun cukup hening karena Ryan memilih untuk diam seperti sang atasan.
Lebih baik diam dan bersorak di dalam hati dibandingkan berbicara jika tidak ingin api itu kembali menyembur. Pikir Ryan.
Ditambah lagi, ia masih sangat kesal dengan ucapan Rendra saat di parkiran tadi. Kurang dari 20 menit mobil yang mereka tumpangi sampai di kantor. Sebenarnya, mereka tidak harus datang secara terburu-buru seperti itu. Pertemuan dengan ayah Rendra baru akan dilaksanakan satu jam lagi. Namun, bukan Rendara namanya jika dia tidak mempersulit sang asisten.
hati sedingin kutub utara itu cukup sulit untuk ditaklukan. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa, 'kan?