Aleeta menarik napas dalam, lalu megembuskannya perlahan. Mata itu seketika terpejam. Entah kenapa beberapa hari belakangan ini, bayangan Rendra yang dikenal sebagai Ryan itu seakan-akan terus melintas di depan mata. Mengusik pikiran yang nyatanya tak terelakkan.
Dalam benak ingin sekali dia mencari tahu tentang sosok pria itu. Namun, pikirannya segera menepis semua yang nyaris membuatnya kehilangan kewarasan.
Ya, bagaimana tidak? Bahkan semua yang tampak di depan mata, tiba-tiba berubah menjadi bayangan Rendra. Semua yang tampil di layar televisi, di dinding dan langit-langit kamarnya, bahkan ketika hendak makan pun, tiba-tiba nasi di piringnya berubah menjadi wajah Rendra yang menampilkan senyuman mengembang padanya. Ah, sepertinya dia memang sudah gila.
Banyak pria yang selama ini selalu berusaha mendekatinya. Walaupun Aleeta tidak berpengalaman dalam hal percintaan, tetapi dia juga bukan wanita yang lugu dan bodoh. Terlihat jelas dari cara mereka bersikap dan berusaha menarik perhatiannya. Namun, tetap saja tidak ada satu pun yang berpengaruh dan membuat hatinya goyah. Sepertinya wanita itu masih enggan untuk membuka hati untuk pria lain.
"Apakah aku ini bodoh karena masih berharap bisa bertemu dengannya, sementara di luar sana begitu banyak pria yang berusaha mendekatiku?" lirihnya seraya meletakkan kedua lengannya pada tepi bathtub.
Berendam air hangat yang dikelilingi lilin aroma terapi, sepertinya menjadi hal yang baik untuk Aleeta saat ini. Menenangkan pikiran dan meregangkan otot yang sempat menegang karena terlalu banyak kegiatan yang dia lakukan seharian ini.
Pikirannya tiba-tiba kembali berputar ke beberapa tahun silam.
"Hey, mau ke mana kamu?" Seorang anak laki-laki tampak berlari mengejar gadis kecil berambut panjang yang diikat dengan gaya ponytail, hingga membuat rambut itu tampak bergerak ke kiri dan ke kanan, mengimbangi setiap langkah kakinya.
Gadis kecil itu terus berlari menjauh dari tempat itu, hingga membuat anak laki-laki berambut cepak tersebut tampak kehilangan jejaknya.
"Kali ini kamu pasti tidak akan menemukanku," bisik gadis kecil yang tengah bersembunyi di atas rumah pohon, tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Gadis itu adalah Aleeta kecil saat masih berusia enam tahun, sementara anak laki-laki itu adalah sahabatnya.
"Hey, gadis gila, keluar kamu!" teriak anak laki-laki itu, tepat di bawah rumah pohon tempat Aleeta bersembunyi.
Alih-alih berusaha untuk tidak menampakkan diri di depan sang sahabat, kaki Aleeta justru tidak sengaja menginjak lantai rumah pohon yang terbuat dari kayu itu hingga patah dan menimbulkan suara. Ah, sial! Sepertinya rumah pohon itu sudah sangat tua.
"Aaauuw!" Aleeta mengaduh saat kakinya sedikit terjepit kayu yang patah karena ulahnya.
Panik. Tentu saja Aleeta panik, karena kakinya yang sulit untuk ditarik.
Tidak hanya Aleeta, anak laki-laki itu pun juga ikut panik, saat mendengar rintihan dari sahabatnya. Dengan sigap dia segera naik ke atas rumah pohon, berniat untuk menyelamatkan Aleeta.
"Kamu sungguh menyebalkan!" Anak laki-laki itu terus menggerutu sambil menggendong Aleeta yang kakinya terluka.
Suara dering ponsel yang berteriak meminta perhatian, seketika menyadarkan Aleeta dari lamunannya. Meskipun dia sedang berada di dalam kamar mandi, tetapi suara dering ponsel masih sampai ke telinganya, entah berapa volume suara yang diatur dalam ponsel tersebut.
Ah, terlampau indah membayangkan masa kecilnya bersama sang sahabat, nyatanya membuat dia menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk sekadar berendam air hangat. Sepertinya dia harus segera mengakhiri kegiatan itu. Belum lagi teriakan ponsel yang tidak ingin berhenti memanggilnya. Mengganggu saja!
Bertepatan dengan saat dia keluar dari kamar mandi, ponsel itu justru berhenti berdering. Namun, dia masih penasaran dengan sang penelepon yang sudah mengganggu euforianya.
Aleeta segera berjalan menuju meja nakas di samping kiri tempat tidur. Diraihnya benda pipih yang tergeletak di sana. Begitu banyak notifikasi panggilan tak terjawab pada layar ponsel. Belum lagi pesan whatsapp yang juga sudah menumpuk.
Aleeta segera mengecek satu per satu notifikasi itu. Seketika dia terkejut saat mendapati sebuah pesan whatsapp dari nomor yang tak dikenal.
'Selamat istirahat Nona Aleeta yang cantik.'
***
Daun-daun berguguran diterpa rinai hujan yang menari bersama desiran angin. Gerimis masih setia membawa dingin, padahal hari sudah tidak lagi pagi. Waktu telah menunjukkan pukul 12.25 WIB saat Rendra melirik arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangan.
Sesaat kemudian menatap tumpukan berkas di hadapannya. Gairahnya untuk bekerja hilang entah ke mana. Derit pintu terbuka membuatnya mengalihkan pandangan ke sana. Menampilkan sesosok wanita bertubuh tinggi semampai sedang berjalan ke arahnya.
"Aku mau makan siang," ucap wanita dengan tatapan tajam.
"Orang akan salah paham jika melihatmu seperti itu. Kamu lebih mirip orang yang sedang mengajak bertengkar daripada mengajak makan." Pria itu menjawab dengan berdecih. "Tapi karena aku baik hati dan enggak sombong, aku akan memafkanmu. Baiklah, kamu mau makan di mana?"
"Anda jangan terlalu percaya diri, ya!" Lagi-lagi wanita itu berkata dengan nada dingin.
"Lah, bukannya kamu yang mengajak makan siang? Percaya diri bagaimana, sih?" Rendra menukik alis menatap heran wanita di hadapannya.
"Maksudnya ... aku mau makan siang–"
"Ya, iya, ayo," ucap Rendra memotong perkataan adik sepupunya itu.
"DengarKan aku lebih dulu!" ucap wanita itu kesal, "aku mau makan siang dengan Mas Ryan, jadi Kak Rendra jangan menahannya dengan alasan pekerjaan."
Pria itu terdiam lalu menatapnya. Mengarahkan jari telunjuk ke wanita tersebut.
"Sebelum menjadi kekasihmu, dia adalah asistenku. Lagipula bukankah semalam kalian sudah bertemu?"
"Aku hanya bertemu sesaat, lalu mengantarkannya pulang," kilah wanita itu dengan kukuh.
"Kamu pilih dia atau aku, Ryan?" tanya Rendra kepada Ryan yang entah sejak kapan telah berdiri di antara mereka.
Wanita itu memalingkan wajah menatap kekasihnya dengan wajah memelas. Membuat pria itu menjadi tidak tega, lantas memandang sang Atasan dengan wajah sendu.
"Kamu lebih memilih dia, Ryan?"
Wanita itu meraih lengan sang Kekasih lalu menggamitnya.
"Sudah, kamu jangan pedulikan dia. Dia hanya seorang pria tua yang kesepian. Ayo, Sayang," ajak Malika kemudian berlalu dari ruangan itu dengan wajah berbinar. Wanita itu kesenangan karena merasa telah menang atas pertarungan perebutan Mas Asisten ganteng.
Sesaat setelah keduanya benar-benar telah meninggalkan ruangan, Rendra meraih ponselnya lalu menelepon seseorang.
"Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu? Baiklah, lanjutkan. Beritahu 02 bahwa aku punya tugas baru untuknya."
***
"Kenapa Tuan Rendra tidak sering datang ke sini lagi?" tanya seorang wanita berpenampilan sexy bergelayut manja di tangan kanan Rendra.
"Iya, Tuan Rendra. Kami semua merindukanmu. Kapan kamu akan bermain dengan kami lagi?" Wanita lain menimpali dan ikut bergelayut di tangan kiri.
Rendra tidak menjawab pertanyaan kedua wanita itu. Bukan hanya suara kedua wanita itu, bahkan suara hentakan musik diiringi teriakan pengunjung klub malam itu seolah-olah tak tampak di matanya. Pikirannya sedang berkelana jauh pada sosok wanita yang selalu menari di pelupuk matanya. Dia Aleeta. Satu-satunya wanita yang bersikap dingin padanya.
Wangi minuman memabukkan pun memenuhi ruangan.