Sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan tinggi memecah keheningan malam itu. Menuju tidak terbatas dan melampauinya. Eh, maksudnya menuju ke Hotel Grand Hilton untuk menjemput sang Atasan dan meninggalkan wanita yang sangat dicintainya, yang baru saja bertemu setelah sepekan melalui tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk lembur. Mengabaikan hati yang telah dingin, karena terkena percikan gerimis kerinduan.
Ryan berlari menghampiri Rendra. Tidak peduli dengan napas yang memburu dan bulir peluh di dahi. Menghindari pemotongan gaji bulan ini, demi terwujudnya pernikahan dengan wanita terkasih secepat mungkin.
"Aku datang, Bos."
"Heh, akhirnya kamu datang juga?" sindir atasannya melirik sekilas arloji mahal di pergelangan tangan kirinya.
"Ya, aku berusaha sekuat tenaga untuk datang tepat waktu. Aku bahkan menantang malaikat maut dalam perjalan ke sini. Berkendara dengan kecepatan tinggi demi menjemput Anda," sarkas Pria itu membungkukkan tubuh, lalu memegangi kedua lututnya. Sepertinya dia sangat kelelahan.
"Jangan bercanda kamu, ya!" dengus pria berwajah tampan itu.
"Tentu saja aku tidak berani bercanda, Bos. Bukankah karena itu aku tidak terlambat?" ucap Ryan menepuk dadanya dengan bangga.
Rendra berdecak kesal melihat reaksi si Asisten. Menyilangkan kaki dengan elegannya, lalu dia mengusap dagu dengan tangan kiri. Sebuah senyum seringai tampak terbit di wajah pria itu. Sepertinya ada ide licik terlintas dalam pikirannya untuk mengerjai asistennya itu.
Bulu kuduk Ryan meremang dengan segera tatkala melihat seringai itu menghiasi wajah atasannya. Biasanya dia akan dikerjai habis-habisan jika hal itu terjadi. Ah, sepertinya pria itu akan melewati malam yang sangat panjang. Entah hukuman apa yang akan dijalaninya, saat seluruh manusia telah terlelap di pembaringan. Sungguh kesialan yang beruntun menurutnya.
"Siapa bilang kau tidak terlambat?"
"Tentu saja aku tidak terlambat, Bos! Lihat saja jam tanganmu sekarang sudah jam berapa?" tantang pria berkemeja putih itu dengan percaya dirinya.
"Wah, luar biasa! Bahkan sekarang kau telah berani memberiku perintah?"
"Ehm, bukan begitu maksudku, Bos. Kau salah paham," kata pria itu gugup, "Aku hanya ingin memastikan kau memastikan waktu kedatanganku," imbuhnya kemudian.
"Bukankah itu sama saja? Banyak alasan kau!" hardik Rendra dengan wajah kesal.
Wajah pria itu seketika menjadi pias, seolah-olah darah di wajahnya menghilang entah kemana. Gugup pun kini menginvasi seluruh tubuhnya.
"Intinya aku hanya ingin memastikan bahwa aku datang tepat waktu sesuai perintahmu. Tidak ada unsur memerintah di dalamnya. Aku bersumpah demi gajiku." Pria itu meletakkan tangan sebelah tangan di dada, sedangkan tangan kanannya terangkat ke udara.
"Baiklah ... karena kau sangat percaya diri mari kita lihat pukul berapa kau tiba di sini."
"Tapi, Bos ... bukankah kita telah berbincang selama beberapa waktu? Lantas bagaimana kita memastikan waktunya?" Ryan berusaha memberikan alasan yang masuk akal, agar terhindar dari hukuman sang Atasan. Meski sangat yakin dirinya tidak bersalah.
"Ah, kau benar. Apa kita harus melupakan kejadian ini dan langsung pulang?" tanya Rendra menatap asistennya.
Dengan segera raut bahagia tampak jelas di wajah asistennya. Sepertinya dia telah berhasil terhindar dari hukuman dan bisa segera pulang ke rumah untuk beristirahat. Hari ini cukup melelahkan baginya. Bukan hanya fisik, melainkan jiwanya pun sangat kelelahan.
"Baiklah, mari kita pulang." Pria berjas itu beranjak berdiri dari tempatnya.
Rendra melangkahkan kaki dengan cepat dan meninggalkan si Asisten di sana. Ryan yang terlampau kesenangan justru melambaikan tangan menatap kepergian atasannya. Setelah sadar, dia berlari menghampiri pria itu dengan sedikit berlari.
"Kenapa meninggalkanku, Bos?" tanya Ryan dengan wajah kesal karena merasa dibodohi.
"Bukan aku yang membodohi kamu, tapi memang kamu yang bodoh."
Langkah Ryan terhenti mendengar pernyataan si Atasan. Menutup mulut dengan sebelah tangan seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana mungkin pria itu selalu bisa menebak dengan benar apa yang sedang dia pikirkan?
"Sudah kubilang sebelumnya. Itu semua karena kamu seperti sebuah buku yang terbuka lebar. Jadi, mulai sekarang hentikan semua pemikiranmu tentang aku yang bukan manusia atau seperti monster."
Gegas Ryan menutup mulutnya. Menyatukan jari telunjuk dan ibu jari di depan mulut lalu menariknya ke samping. Seolah-olah sebagai isyarat bahwa dia sedang mengunci mulutnya.
Ryan melangkahkan kaki menaiki kendaraan setelah atasannya mendudukkan tubuhnya di balik kemudi. Namun, justru menuai protes dengan tatapan tajam dari pria itu.
"Ehem!"
"Tapi, Bos ...." Pria itu menatap sendu si Atasan, berusaha untuk memohon.
"Keluar sekarang!"
"Tapi aku tiba tepat waktu," gumam Ryan dengan lirih.
"Lalu, kau ingin aku mengantarkanmu pulang? Sebenarnya yang bawahan itu aku atau kamu?" Rendra menatap tajam kepada Ryan.
Tentu saja Ryan tidak akan mampu mengelak ucapan seorang Rendra yang membuat hatinya tercubit. Memang benar jika dirinya adalah bawahan dari pria itu. Akan tetapi semua itu bukan sepenuhnya kesalah pria itu. Atasannya yang menaiki mobil lebih dahulu dan duduk di balik kemudi. Bukankah itu artinya dia ingin mengemudikan sendiri mobilnya? Ya, mungkin saja karena kasihan setelah memisahkan si Asisten dan kekasihnya. Sekedar memberi kompensasi atas hal itu dan mengantarkannya pulang dengan selamat.
"Bukankah Bos sendiri yang duduk di situ. Mau tidak mau, aku harus duduk di tempat lain, 'kan?"
"Sekarang kau menyalahkanku?" geram Rendra.
"Oh, ayolah, Bos. Hari ini sangat melelahkan. Bolehkah kita berhenti berdebat dan pulang ke rumah saja, hm? Kasur lembut sedang menunggu kita untuk beristirahat dengan tenang di rumah."
"Bagus kalau kau mengerti. Turun sekarang juga karena aku ingin beristirahat setelah lelah beraktivitas seharian." Pria itu berkata tanpa memalingkan pandangan. Tangannya menggenggam erat kemudi seolah-olah menggambarkan bahwa kesabarannya telah berada di ambang batas.
"Ehem!"
Ryan terlonjak begitu mendengar isyarat untuk segera keluar dari sang Atasan. Dengan lemas dia segera melaksanakan perintah. Meski batinnya menolak, tetapi harus tetap menjalankan perintah. Apalagi dalam keadaaan seperti itu, tentu tidak akan menerima penolakan dan bantahan.
Ryan menghela napas pelan meratapi nasibnya malam ini. Mengusap pelan lengan karena hawa dinginnya malam mulai menusuk pori-pori. Ya, dia memang hanya mengenakan kemeja. Namun, karena kesepian dan rindu yang menggerogoti hati, membuat malam itu kian terasa dingin saja.
Dering ponsel dari sakunya mengalihkan atensi pria itu. Sekilas meraih benda pipih untuk melihat siapa yang menelepon pada jam seperti itu. Matanya membeliak seolah tidak percaya pada nama yang tertera di sana. Ya, di sana tertulis nama kekasihnya yang dia tinggalkan dengan terburu-buru tadi. Mungkin saja wanita itu ingin melayangkan protes atau memarahinya. Ah, malam ini sudah cukup melelahkan baginya. Membuatnya enggan menjawab panggilan itu dan hanya membiarkan dering itu hingga berhenti sendiri.
Ryan melangkahkan kaki terus menyusuri jalanan malam yang lengang seorang diri. Pikirannya telah melanglang buana sedari tadi. Mengingat kenangan indah yang pernah dilalui bersama sang Kekasih. Sebagai pengobat untuk memberi sedikit penghiburan padanya.
Lagi-lagi ponselnya berbunyi, tetapi tetap dia abaikan. Memilih tetap melanjutkan perjalanannya.
"Jadi sekarang kau sudah berani mengabaikan teleponku?"