Chapter 7 - KARENA UANG

"Sudahlah Bu Aleeta, jangan menolak lagi. Maafkan saya karena sedang terburu-buru. Jika tidak, tentu saja saya yang akan mengantarkan Anda." Ryan menimpali. Ingin segera mengakhiri perdebatan di antara kedua insan yang berada di hadapannya. Berharap bisa segera pulang secepatnya dan menemui sang kekasih.

Dengan sebuah anggukan kecil Aleeta akhirnya menerima ajakan Rendra. Senyum cerah pun segera terbit di wajah pria itu. Dia berlari kecil membukakan pintu dan mempersilakan wanita itu untuk memasuki kendaraannya.

"Ehem." Rendra berdeham sembari mengedipkan mata ke arah asistennya.

Ryan pun membusungkan dada dan mengangkat dagu. Seolah-olah apa yang dilakukannya adalah hal yang sangat luar biasa. Dia bukannya bangga karena berhasil membuat rencana atasannya berhasil, melainkan bangga karena telah mampu menafsirkan arti dehaman pria itu.

Rendra berusaha fokus di balik kemudi. Sekuat tenaga mengalihkan perhatian dari wanita yang duduk di sampingnya itu. Namun, lagi-lagi tubuhnya bertindak di luar kendali. Selalu saja wajahnya berpaling menatap Aleeta dan memberikan seulas senyuman.

Rendra kemudian berniat memutar lagu ntuk mengurangi kecanggungan yang menyesakkan di antara mereka.

"Ehm, lagu apa yang Anda sukai, Bu Aleeta?" tanya pria itu ketika menjulurkan tangan ingin menyalakan music player.

"Tidak usah, terima kasih. Saya lebih menikmati keheningan," jawab wanita itu dengan nada dingin. Membuat Rendra menjadi salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ke mana saya harus mengantarkan Anda, Bu?" tanya Rendra setelah sepuluh menit mengemudikan kendaraan roda empat itu.

"Saya tidak ingin pulang malam ini. Antarkan Saya ke Hotel Grand Hilton."

"Tapi ... kita baru saja bertemu dan saling mengenal hari ini, Bu Aleeta." Pria itu cukup terkejut dengan perkataan Aleeta.

Rendra tidak pernah tahu bahwa seorang Aleeta Queen Elvina akan semudah itu terjatuh pada pesonanya. Dia berusaha menahan senyum, tetapi tetap saja lengkungan tipis itu menghiasi wajahnya.

"Apa maksudmu?" bentak wanita itu dengan wajah geram.

"Eh ...." Rendra tampak kebingungan dengan reaksi Aleeta. Secepat kilat memutar otak untuk mengalihkan percakapan yang mungkin saja akan berujung pada bencana.

"Maksud saya, kita baru saja saling mengenal hari ini. Apa tidak apa-apa saya mengantarkan Bu Aleeta ke hotel? Saya takut akan ada yang salah paham dan membuat rumor yang tidak baik tentang Anda," kilah Rendra gugup.

"Oh. Tenang saja itu hotelku. Tidak akan ada yang berani berbicara hal buruk tentangku. Lagipula kamu hanya mengantarkanku sampai pintu hotel dan bukannya mengantar sampai ke pintu kamar hotel."

Rendra bernapas lega saat Aleeta menerima alasannya. Namun, pernyataan wanita itu sedikit menyindir hingga membuat hatinya tercubit.

Sebenarnya hari itu Aleeta sedang tidak ingin menginap di hotel. Namun, dia pun tidak ingin orang tidak dikenalnya mengantarkan hingga ke kediaman. Tidak ingin Ryan mengetahui alamat rumah yang sebenarnya.

Lagipula, bagaimana Rendra akan kembali ke rumahnya sendiri setelah mengantarkan dengan mobil Aleeta? Tentu dia tidak akan setega itu kepada orang yang baru dikenal, terlebih pria itu telah menolongnya.

Namun, entah mengapa instingnya selalu menyuruh untuk waspada terhadap pria itu, dan selama ini instingnya tidak pernah salah.

Setelah sampai di tujuan Aleeta bermaksud turun dari mobil. Namun, Rendra pun ikut melakukan hal yang sama. Membuat wanita itu menatapnya heran.

"Anda tidak perlu mengantarkan saya."

"Ah, saya tidak bermaksud seperti itu, Bu Aleeta. Saya hanya ingin mengembalikan kunci mobil milik Anda," elak pria itu berusaha menampilkan senyum ramah. Rupanya dia terbawa kebiasaan lama, dan semua itu terbaca oleh si Wanita Dingin di hadapannya.

"Sekarang sudah cukup larut, Pak Ryan. Anda pulanglah dengan mengendarai mobil itu dan kembalikan besok, atau kapanpun Anda memiliki waktu luang. Saya tidak akan Setega itu membiarkan Anda mencari kendaraan umum setelah mengantarkan saya."

Alih-alih mengiyakan Rendra memilih melangkah mendekati Aleeta. Lalu, menyerahkan kunci mobil itu meski dengan sebuah perdebatan kecil yang akhirnya dimenangkan oleh pria itu. Tentu dia sangat percaya diri, karena selama ini belum pernah merasakan kekalahan dalam sebuah perdebatan.

Aleeta memilih untuk mengalah. Tidak ada salahnya dengan sesekali mengalah dan membiarkan lawanmu menang. Lagipula, tubuhnya terlampau lelah dan semakin lama dia bertahan, akan semakin lama pula pria itu pulang ke rumahnya.

Melangkahkan kaki dengan penuh percaya diri ke arah meja resepsionis, Aleeta mengambil kunci satu-satunya ruangan di lantai paling atas di hotel itu. Tidak ada seorang pun yang bisa menyewa kamar itu, karena memang khusus disiapkan untuk dirinya. Jika sewaktu-waktu lelah atau malas melanda untuk pulang ke rumah.

Setelah memasuki ruangan itu Aleeta membuka high heelsnya dan meletakkan di sembarang tempat. Merebahkan tubuhnya di tempat tidur berukuran besar itu, kemudian memejamkan mata sesaat, lalu menatap langit-langit ruangan. Seketika bayang wajah Ryan, asisten dari perusahaan yang ditemuinya hari ini menari di sana. Entah mengapa pria itu mengusik hati dan pikirannya. Namun, di lain sisi instingnya justru meminta untuk merasa awas padanya.

Wanita itu beranjak dari pembaringan. Tidak ingin terlarut dalam pikiran tentang orang yang baru saja ditemuinya itu. Memutuskan untuk berendam untuk membuat tubuhnya sedikit rileks.

Sementara itu Rendra masih menunggu di lobi hotel. Mengeluarkan ponsel, lalu menghubungi seseorang untuk mencari informasi tentang Aleeta. Ya, dia memang memiliki seorang teman yang ahli dalam hal itu.

Seorang pria tampak menghampirinha dengan napas memburu. Menatapnya dengan tatapan kesal yang sekuat mungkin dia sembunyikan. Namun, tetap saja tampak jelas terbaca di wajahnya.

Beberapa menit yang lalu Rendra menghubungi Ryan asistennya untuk menjemput di Hotel Grand Hilton tempatnya menunggu saat itu.

"Halo, Bos."

"Jemput aku sekarang juga di Hotel Grand Hilton. Jangan membantah dan berangkat sekarang juga. Jika terlambat, gajimu yang akan menjadi sasaran. Kuberi kau waktu sepuluh menit dari sekarang." Rendra berkata dengan penuh penekanan seraya melirik angka pada jarum jam arlojinya.

"Apa? Aku baru saja sampai di rumah pacarku, Bos! Kau–"

"Kau mau gajimu kusunat?" ucap pria itu memotong perkataan sang Asisten.

Ah, tentu saja hal itu segera membungkam mulut Ryan. Tidak ada hal yang lebih ampuh untuk mengancamnya selain tentang uang dan kekasihnya. Padahal dia baru saja menekan bel rumah sang Kekasih yang telah menunggu seminggu untuk bertemu. Semua itu disebabkan oleh banyaknya perintah dari atasan.

"Kau sudah datang, Sayang?" tanya Malika kekasih Ryan dengan wajah bahagia. Meraih lengan pria itu untuk menuntunnya masuk ke rumah.

"Maaf, Sayang. Aku harus mengingkari janjiku dan pergi sekarang juga. Jika tidak bosku akan memotong gajiku, dan aku sangat benci akan hal itu. Kau tahu, jika itu terjadi maka rencana kita untuk menikah akan semakin tertunda."

Seketika senyuman menghilang dari wajah sang Kekasih. Ya, seperti wanita itu, Ryan pun sangat merindukannya dan ingin menghabiskan waktu bersama lebih lama. Namun sialnya, pekerjaan adalah sebuah kewajiban yang terus mengikatnya.

Dengan segera pria itu berlari menuju mobil, setelah memberikan sebuah pelukan dan kecupan singkat di dahi wanita itu. Dia menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap wajah Malika.

"Demi cuan dan pernikahan!" teriaknya lantang mengepalkan tangan ke udara dengan penuh semangat.