Mobil Mercedes Benz berwarna Silver yang membawa Aleeta dan Meisya sudah melaju membelah jalanan pusat kota.
"Seru juga, ya, Bu. Meeting hari ini," ucap Meisya yang tengah menyandarkan punggung pada sandaran kursi penumpang, tepat sebelah Aleeta.
"Hem." Aleeta tampak focus dengan gawai di tangannya, tanpa ingin berpaling sejenak ke arah Meisya.
"Apa lagi asistennya Pak Rendra, beuh ...." Meisya sengaja menggantung kalimatnya seolah-olah ingin memancing perhatian Aleeta.
Berhasil. Ternyata usahanya tidak sia-sia. Aleeta melirik ke arahnya seraya menatap penuh tanya. "Apa?"
"Masa Ibu enggak sadar?" Bukan menjawab, Meisya justru bertanya balik.
"Maksud kamu?" Aleeta makin bingung dengan ucapan Meisya.
"Ya ampun, Ibu. Masa Ibu enggak sadar. Dia Guanteng banget, humoris, cerdas, Keren banget lagi. Baru kali ini saya menemukan asisten sekeren Pak Ryan." Meisya tersenyum dan menangkup kedua pipinya sendiri, seolah-olah sedang membayangkan sesuatu.
Sementara itu, Aleeta justru sedikit memicingkan mata, mengamati tingkah laku sekretarisnya.
"Biasa aja," ucapnya datar, lalu kembali fokus pada benda pipih di tangannya.
"What?"
Mata Meisya membulat sempurna. Bagaimana mungkin atasannya menanggapi pria yang super tampan itu hanya dengan sikap biasa?
"Saya kok jadi takut. Jangan-jangan ibu ...." Meisya kembali menggantung kalimatnya, saat dia terpikirkan untuk menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan sedikit bergeser, memberi jarak dengan Aleeta.
Aleeta mengembuskan napas dengan kasar. Ia menatap tajam asistenya tersebut.
"Saya masih normal, Meisya!" bantah Aleeta yang seakan-akan tahu apa yang dipikirkan Meisya tentangnya saat ini. "Saya masih tertarik dengan lawan jenis. Saya tidak tertarik dengan lelaki lain karena di hati saya sudah ada satu nama yang terpatri," imbuhnya kemudian.
"Ha? Serius, Bu?" Meisya bergeser kembali ke tempat semula. "Siapa, Bu?" bisiknya.
"Enggak usah kepo! Kepo itu hanya akan memperpendek umur!"
Meisya langsung mengatupkan bibir, saat mendapat tanggapan menohok dari Aleeta.
"Kepo memperpendek umur?" bisik Meisya seraya berusaha mencerna makna dari kalimat itu.
Sementara itu, Aleeta hanya mengulum senyum melihat kekonyolan sekretarinya.
Bagaimana Meisya tidak penasaran, selama dia bekerja dengan Aleeta, tidak pernah sekali pun dia melihat Aleeta dekat dengan seorang pria mana pun.
***
Pria tampan berkacamata hitam dengan setelan jas berwarna navy, duduk menyilangkan kaki di sebuah restoran bintang lima. Ia sengaja memilih tempat di samping jendela dan tentu saja berseberangan dengan meja tempat Ryan.
Pasalnya, malam ini Rendra akan menyaksikan Ryan menggantikan dirinya untuk kencan buta dengan Anggun, sekadar ingin tahu selihai apa asistennya itu menjalankan misi yang ia berikan.
Rendra mengambil segelas wine yang telah dituang oleh waiters beberapa menit lalu. Dipegangnya kaki gelas itu menggunakan tiga jari. Ia tampak memutar lambat benda tabung berbahan kaca bening itu berulang kali, demi menangkap aroma wine untuk ia nikmati.
Wajahnya setengah menunduk, menghirup aroma khas yang menguar dari dalam gelas. Disesapnya sedikit minuman berwarna merah itu sambil memejamkan mata, seolah-olah begitu menikmati minuman beralkohol tersebut.
Sementara di kursi lain. Ryan masih setia menunggu Anggun sambil Berusaha meredam gugup, lantaran sang atasan memonitor langsung aksinya. Salah-salah gajinya bisa jadi sasaran. Pria itu bergidik ngeri, mengusap pelan kedua lengannya yang terasa sedikit merinding.
Netranya menangkap sosok tinggi semampai berambut coklat. Ditambah dress ketat berwarna merah yang melekat di tubuh wanita itu. Cantik dan sexi. Sungguh Mahakarya Tuhan yang sangat indah untuk dilewatkan begitu saja.
Kaki jenjang berbalut high heels berwarna senada dengan dressnya, tampak melenggang penuh percaya diri ke arah Ryan. Sejenak perhatian Ryan teralihkan ke layar ponsel, memastikan jika benar wanita itu adalah target kencan buta malam ini.
Wanita itu mengulas senyum sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, sesaat setelah ia berdiri di depan Ryan.
Tanpa berpikir panjang, Ryan langsung berdiri menyambut wanita itu, lalu mengulurkan tangan disertai senyum yang mengembang.
"Selamat malam. Saya Rendra, silakan duduk, Kak."
Ucapan Ryan berhasil membuat Anggun dan Rendra mendelik ke arahnya. Bahkan ia sendiri terkejut saat baru menyadari kata terakhir yang diucapkan. Ah, ia terbawa kebiasaan saat melayani pelanggan di online shop tempatnya dulu bekerja.
"Ka-kamu cantik," ralatnya sedikit gugup.
"Ehm, terima kasih. Saya Anggun."
Baru saja berbincang sejenak, makanan yang dipesan oleh Ryan pun datang. Sengaja dia memesan terlebih dahulu, tanpa ingin menanyakan pendapat wanita itu. Alasannya, tentu saja agar dicap sebagai pria yang tidak peka. Semakin buruk penilaian Anggun, itu akan jauh lebih baik.
"Kamu sudah memesan makanan rupanya," ucap wanita itu masih tetap tersenyum.
"Ya, aku takut kamu menunggu. Jadi, aku memesannya lebih dulu. Semoga saja sesuai seleramu."
"Kamu sangat perhatian, bahkan tahu seleraku well done steak." Pria itu tersenyum kecut begitu menyadari strateginya ternyata gagal. Namun, Rendra yang berada di belakangnya justru terlihat sangat santai.
Anggun menatap pesanan Ryan dengan dahi mengernyit. "Kamu suka rare steak?"
"Yap. Bukankah ini terlihat sangat menggiurkan? Lihat saja potongan daging yang kemerahan ini." Pria itu mengangkat sepotong daging steak dengan garpu. "Rasanya aku bisa merasakan hewan ini di mulutku. Ah, lelehan daging bercampur sedikit darah yang amis, perpaduan yang sangat sempurna."
Anggun menatap daging itu sesaat dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Ia kemudian menundukkan kepala dan kembali berkutat dengan steak-nya.
Dengan santai Ryan mengunyah potongan steak yang ia masukan ke dalam mulut, meskipun sebenarnya ia sangat tidak menyukai rare steak. Namun, demi tawaran bonus yang sangat menggiurkan membuat makanan yang tidak ia sukai lolos dengan sempurna di tenggorokannya.
Sesaat ia melirik Rendra tengah menahan tawa. Salahnya yang memercayai ide buruk dari sang atasan. Sepertinya pria itu masih dendam karena kejadian tadi siang saat rapat.
Anggun masih memakan hidangan itu dalam diam. Entah apa yang tengah ia pikirkan hingga tidak sempat mengajak berbincang. Bukankah kedatangan mereka ke tempat itu untuk berkencan?
Melihat wanita itu masih santai, Ryan meletakkan pisau dan garpu yang dipegangnya. Ia berinisiatif untuk mengubah cara makan, mengambil potongan steak dengan tangan, lalu menjilati ujung jarinya satu per satu.
Hal itu sontak mengalihkan atensi Anggun. Tidak logis rasanya seorang CEO perusahaan besar seperti Rendra, makan dengan cara seperti itu.
"Ehm, aku baru saja pulang dari perjalanan bisnis di Brazil dan cara mereka memakan steak di sana seperti ini. Di luar dugaan rasanya lebih nikmat dan bumbunya lebih terasa." Ryan menjelaskan, seolah-olah mengerti arti tatapan dari wanita itu. Anggun hanya mengangguk pelan, tanpa berkata apa pun.
"Apakah seenak itu?" tanya Anggun penasaran melihat Ryan yang makan dengan lahap.
"Ya, ini sangat nikmat. Kamu mau mencobanya?"