Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

it's my dream (versi Indonesia)

๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉNovita_Adha
--
chs / week
--
NOT RATINGS
28.1k
Views
Synopsis
It's my dream Aku, Zahrana Bilqis, sebuah nama yang indah pemberian orangtua yang artinya "bunga yang indah." Papa dan Bunda sangat menyayangiku. Meskipun Papa punya dua anak lagi yaitu Abang dan kakakku dari pernikahannya yang terdahulu. Hidupku bahagia mempunyai dua saudara tiri, kami saling menyayangi. Mereka selalu menjagaku saat bermain, ketika Bunda sedang pergi bekerja. Hingga aku dewasa, kami tetap saling menghargai. Tak pernah terbukti ucapan, bahwa saudara tiri itu jahat atau julid di keluargaku. Belakangan ini, aku sering melihat Bunda menyendiri di kamar, saat Papa gak ada di rumah atau sedang pergi ke luar kota. Kemarin waktu aku masuk ke kamar Bunda, ia sedang menyeka air mata, sepertinya habis menangis. Begitu di tanya, jawabnya sedang tak enak badan. Sejak lama aku tau, bahwa mantan istri Papa selalu mengganggu kehidupan Bunda. Ia seolah tak terima melihat Abang dan Kakak lebih menyayangi Bunda. Segala cara di lakukannya untuk membuat Papa, dan dua saudara tiriku membenci Bunda. Sekarang aku sudah dewasa, mahasiswi di sebuah fakultas negeri ternama di kotaku. Tak akan ku biarkan Bunda di sakiti oleh siapa-pun. Meskipun itu papaku sendiri. Reader yang baik hati, jangan lupa collect en review cerita aq, ya. Agar bisa terus mengikuti kelanjutan tiap babnya Ikuti juga cerita aq yg lainnya. 1. The wound in my heart 2. Choice lover
VIEW MORE

Chapter 1 - Sebuah foto

Bab 1.

Derrtt ... derrtt ...

Hapeku bergetar saat jam pelajaran terakhir di kampus. Untung hape di getarkan, kalau berdering, bakalan kena sita lagi deh, seperti bulan lalu. Sambil memasukan buku yang berserakan di atas meja, ku lihat sekilas di layar hape pesan yang masuk. Beberapa chat masuk ke aplikasi berwarna hijau.

"Baik-lah, karena jam pelajaran telah usai, maka kita akhiri pertemuan ini! Selamat siang semuanya!" ucap Bu dosen yang terkenal super jutek di kampus ini.

"Selamat siang, Bu!" sahut kami serentak.

Aku masih duduk di belakang meja sambil kembali mengecek hape. Ada pesan dari Bundaku, tumben beliau kirim pesan. Padahal sebentar lagi aku pulang ke rumah kok, karena hari ini gak ada jadwal nongkrong dengan teman kampus.

"Assalamu'alaikum Nak, kamu masih lama pulang ngampus, ya?" tanya Bunda.

"Temeni Bunda ke klinik yuk! Setelah itu temani belanja bulanan ke supermarket," ucapnya. Langsung aku balas pesan Bunda.

"Wa'alaikumsalam, Bund."

"Iya, Bund. Ini Zahra udah selesai ngampus! Sedang jalan ke parkiran dan langsung pulang!" balasku.

Pesanku terkirim dan langsung centang biru, tapi Bunda gak membalas lagi. Aku cari kunci mobil di dalam tas, mengaduk isinya. Akhirnya yang di cari ketemu. Sebuah kunci dengan gantungan boneka mungil bentuk angri bird, boneka kesayanganku. Boneka paforit melambangkan pribadiku yang galak tapi manis dan imut.

"Hay, Za! Boleh nebeng gak? Hari ini aku telat di jemput Angga, dia sedang ada mata kuliah susulan di kampusnya. Aku lagi malas nunggu dia!" cecar Arini.

"Boleh, dong! Yuk, naik!" ajakku.

"Tumben kamu buru-buru, Za?" tanya Arini.

"Iya nih, Bundaku sedang gak enak badan, minta di temenin ke klinik!" jelasku.

"Loh, Papa dan kakak tiri kamu gak ada di rumah?" tanya Arini bingung.

"Papa masih di luar kota, mungkin lusa baru pulang! Sedangkan kakak, mereka kan bekerja pulangnya sore dong!"

"Oh-iya juga," Arini menepuk jidatnya.

"Jadi Bunda kamu sendirian, nih?" Arini kepo

"Bunda bertiga di rumah, dengan Mbok Nah dan Pak Dirman sekurity," kataku.

"Dah-ah, kamu acem petugas sensus aja, dari tadi nanyak-in mulu," omelku.

"Hee ... hee, itu tandanya aku peduli dengan kamu sebagai sahabat," katanya.

"Antara peduli dengan kepo, beda tipis tuhhh!" ledekku.

"Haa ... haaa, dasar bawel," sahut Arini.

*********

Lima belas menit kemudian, mobilku sudah sampai di depan rumah Arini. Ia langsung turun dan mengucapkan terima kasih atas tumpangannya. Sahabatku yang satu itu orangnya ceria dan penyabar. Ia bisa menyejukkan hatiku di saat marah, dan galau. Aku yang masih menjomblo di usia sekarang, tak membuatku minder.

Lebih baik kuliah yang benar aja dulu, soal percintaan akan datang di waktu yang tepat. Saat seseorang telah sukses dalam karier, dengan sendirinya pasangan hidup akan datang tanpa di cari. Itu yang ku yakini dari dulu hingga kini.

Keasikan melamun, tak terasa udah sampai aja di depan pagar rumah. Belum lagi membunyikan klakson Pak Dirman langsung aja membukakan pintu pagar. Mobil masuk dan parkir di halaman. Lalu aku turun membawa tas berisikan buku mata kuliah yang lumayan banyak hari ini.

"Selamat siang, Non Zahra!" sapa Pak Dirman, sekurity rumahku.

"Siang, Pak!" sahutku sambil mengetuk pintu rumah.

"Assalamu'alaikum," ucapku.

"Wa'alaikumsalam," suara Mbok Nah menjawab salamku.

Kreekk ... pintu di buka, nampak kepala Mbok Nah muncul dari balik pintu. Aku tak melihat Bunda di ruang tamu dan dapur.

"Bunda, mana Mbok?" tanyaku.

"Bu Meysa di kamarnya, Non! Katanya sedang tak enak badan," ucap si Mbok.

"Oh-ya sudah, aku ke kamar dulu," ucapku.

Aku naik ke lantai atas menuju kamarku. Pintu kamar Bunda tampak tertutup rapat. Nanti sajalah aku ketuk, pikirku. Setelah meletakkan tas dan mencharger hape, lalu aku berganti pakaian. Kemudian keluar untuk mengetuk pintu kamar Bunda.

Kamar kami saling bersebelahan, aku yang minta ke Papa untuk di buatkan kamar di lantai dua. Agar bisa dekatan terus dengan Bunda kalau Papa sedang ke luar kota.

"Assalamu'alaikum, Bunda! Ini Zahra udah pulang kuliah.

Tak terdengar suara orang di dalam kamar, pasti Bunda sedang tidur. Aku ketuk sekali lagi,eehhh, ternyata pintu tak di kunci. Perlahan aku masuk dan duduk di tepi ranjang. Bunda sedang tidur membelakangi, Ku pegang tangan dan dahinya, memang terasa hangat.

"Bund ... Zahra udah pulang nih!" kataku.

"Ehhm," Bunda bergumam.

********

Sejak dua hari yang lalu, Bunda terlihat tak enak badan. Ia sering demam kalau di tinggal Papa keluar kota. Padahal Papa selalu video call kalau sedang tugas keluar. Bunda jarang ngumpul dengan temannya, ia lebih sering menghabiskan waktu di butik hingga sore.

Papa berikan kebebasan dan kepercayaan penuh ke Bunda untuk berkarier. Lagi pula Bunda sifatnya penyabar, tak pernah marah, satu lagi seorang pekerja keras. Beda dengan aku yang galak, tempramen tapi tetap imut dan ngangenin.

Awalnya butik yang di kelola Bunda itu biasa aja. Hanya sebuah toko yang menjual busana muslim syar'i serta hijab model kekinian. Karena kerja keras Bunda dari mulai aku kecil hingga kini, toko tersebut menjelma menjadi sebuah butik yang terkenal di kota ini.

Beliau selalu mempromosikan produk terbaru lewat medsosnya. Sering mengikuti event lomba busana, dengan menyewa beberapa orang model untuk memakai produknya. Bunda juga pintar mendesign baju sendiri. Bisa di sebut seorang desaigner juga. Memang sudah bakatnya corat-coret di atas kertas.

Lamunanku buyar saat Bunda memintaku untuk makan siang, sekalian minta di suapin. Karena gak selera makan, siapa tau kalau di suapin jadi nafsu makan.

"Sebentar ya, Bund, Zahra ambil nasi dulu, entar di bawa ke sini sekalian dengan air minumnya!" ucapku.

"Iya," sahutnya sambil duduk di pinggir ranjang.

Gegas aku turun ke lantai dasar untuk mengambil makan siang. Lalu kembali lagi dengan sepiring nasi dan lauknya serta segelas air putih. Sambil makan, Bunda bercerita tentang butiknya yang akan ikut event lagi minggu depan.

Banyak costumer yang suka dengan hasil karya Bunda. Karena bahan rancangannya cantik, ringan dan lembut di pakai. Bunda ingin aku meneruskan jejaknya. Berkarier di bidang busana alias desainger.

Ke-asikan bercerita tentang impian Bunda. Nasi di piring pun ludes tak bersisa, kami makan berdua, aku suapin ke mulut Bunda. Terlihat lahap ia menelan nasi beserta lauknya. Sepertinya Bunda kangen sama Papa. Padahal sudah seperti ini sistem kerja yang di lakoni Papa sejak mereka menikah.

Belakangan Tante Rosa, mantan istri Papa suka nyari gara-gara. Mungkin itu yang buat Bunda jadi kepikiran lagi. Sejak menikah dengan Bunda, Bang Rey dan Kak Mona, saudara tiriku ini, lebih suka tinggal dengan Bunda di bandingkan mamanya sendiri.

"Za, antar Bunda ke klinik dulu, ya! Selesai itu baru ke supermarket!" titahnya.

"Iya, Bund!" sahutku.

"Bunda ganti pakaian dan cuci muka dulu!" Beliau beranjak dari pinggir ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi di sebelah kamarku.

Tak sengaja, aku melihat di dalam laci yang terbuka sedikit, ada selembar foto. Jiwa kepoku meronta, lalu foto tersebut ku ambil dan melihat wajah siapa di foto tersebut. Ternyata itu foto pernikahan Bunda dan Papa. Untuk apa Bunda pegang foto itu?

Bersambung ....