Bab 3.
Selesai menemani Bunda belanja, semua barang aku masukkan ke dalam bagasi. Bunda langsung masuk ke dalam mobil, sepertinya ia sedikit down karena kehadiran mantan mertua Papaku.
Aku tak mau banyak tanya, biar Bunda tenang dulu. Sebab pertemuan di swalayan tadi memang tak terduga. Apalagi Oma Nely sempat mengeluarkan kata yang kasar membuat pengunjung swalayan heran dan julid. Mereka pikir Bundaku ini benaran pelakor. Hm ... dasar nenek lampir, mulutnya kayak comberan.
Mau sampai kapan Bundaku kena mental seperti ini. Di kata-in pelakor, entah siapa yang merebut suami orang. Sudah jelas Bunda menikah waktu Papa udah duda lima tahun. Heran deh, Nenek lampir itu kalau bicara sesuka perutnya aja. Orang kaya tapi mulutnya gak di sekolahkan.
Tak pernah senang melihat Bundaku bahagia, selalu saja mengusik. Mantan istri dan mertua Papa itu, belum move on hingga kini. Mau-nya Papa jadi jomblo akut, baru puas hati mereka.
"Bundaa ... kok diam aja, masih gak enak badan ya?" tanyaku.
"Hm ... sedikit," jawabnya ketus.
"Enggak usah di pikirkan ucapan nenek lampir itu, Bund! Semuanya akan baik-baik saja. Biar ucapan tadi berbalik ke mereka!"
"Hush, gak baik mendoakan seperti itu!"
"Hii ... hii, habisnya kebiasaan banget Oma Nely itu, kalau ketemu Bunda pasti suka julid!" ingatku.
"Bagaimana pun dia orang tua, harus di hormati!" ucap Bunda.
"Ihhh ... gimana mau di hargai? Beliau aja gak pernah menghargai Bunda?!"
"Sudah-ah, gak usah bahas itu lagi, Bunda malas mendengar nama mereka!"
"Kita makan di tempat biasa yuk, Bund!"
"Oke, kebetulan Bunda pengen makan yang hangat berkuah nih, agar keluar keringat di tubuh Bunda!"
Mobil berbelok ke sebelah kiri perempatan lampu merah. Di sana ada warung bakso dan mie ayam yang terkenal. Pedagangnya yang ramah, membuat betah dan nyaman pembeli duduk berlama-lama di warungnya.
Awal tau tempatnya dari teman kampusku si Arini. Ia paling tau tempat nongkrong yang paling asik. Biasalah anak muda, sering lihat di medsos tempat nongkrong yang sedang viral. Lalu janjian untuk datang bersama teman se ganknya.
Mobil memasuki halaman warung bakso yang lumayan padat dengan kendaraan roda dua. Untungnya masih ada tempat parkir untuk roda empat. Dari jauh tukang parkir berlari untuk mengatur letak mobil.
"Bunda, turun di sini aja, Za! Biar Bunda cari tempat duduk di dalam sana!"
"Oke, Bund!" sahutku.
Setelah memarkirkan mobil dengan benar, aku turun menyusul Bunda. Begitu keluar dari mobil, aroma kuah bakso menyeruak di hembus angin, menusuk ke hidung. Seolah memanggil pembeli untuk singgah dan menikmati menu yang tersedia.
Aku celingukan mencari keberadaan Bunda, ku edarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dari jauh ada orang melambaikan tangan ke arahku. "Zaa ... sini!"
******
Begitu noleh ke sebelah kiri, ternyata Bunda yang teriak memanggil aku. Syukurlah masih ada tempat untuk kami makan sore ini. Melihat begini banyak pengunjung yang datang, rasanya mustahil ada tempat lagi yang kosong. Bunda memang keren deh, ehh, jangan-jangan Bundaku menyerobot tempat pengunjung lain, pikirku.
"Zaaa! Duduk sini, kok malah bengong sih!"
"Ehh, iya Bunda," sahutku.
"Kok Bunda bisa dapat tempat kosong?" rasa penasaranku mengalahkan rasa lapar gaess.
"Aihh, Bunda gitu looh!" jawabnya.
Waduh perasaanku semakin gak enak nih, mendengar jawaban Bunda. Belum lagi terjawab dengan tuntas, seorang waiters membawa buku menu, Bunda langsung mengambilnya dan pesan menu spesial di warung ini, untuk dua porsi komplit dengan juice lemon tea.
Tanpa bertanya padaku, Bunda main pesan aja gaess. Tak apalah ku maafkan, karena selera kami hampir sama. Hanya umur yang berbeda. Hii ... hii.
Setelah waiters itu berlalu sambil membawa catatan dan buku menu, barulah aku bisa duduk dengan tenang. "Ehh, Za mau tau gak gimana Bunda bisa dapat tempat duduk ini?!"
Oalah, ternyata gayung bersambit, ehh ... bersambut. Tanpa di tanya si Bunda mau menjawab rasa penasaranku.
"Tadi di tempat ini ada pengunjung yang sedang makan. Seorang lelaki, keren juga sih!" Bunda menjeda ucapannya, lalu meneruskan dengan cara berbisik.
"Bunda akting lemes gitu, seperti orang belum makan seharian, sambil tetep celingukan cari tempat kosong!" jelasnya.
"Kemudian apa yang terjadi, Bund?" tanyaku tak sabaran.
"Lelaki itu memperhatikan Bunda, lalu menyudahi makannya. Ia tawarkan tempat duduk ini untuk Bunda! Kemudian lelaki itu bangkit dari duduk lalu pergi menuju kasir sambil tersenyum ke Bunda.
"Pasti Bunda belum sempat ucapkan terima kasih, iya kan?!" tebakku.
"Iya, kamu benar Za."
"Ahh, sudahlah, yang penting kita dapat tempat duduk! Lain waktu kalau bertemu Bunda ucapin terima kasih."
"Memangnya Bunda masih ingat wajah lelaki itu?" tanyaku.
"Ehh, sepertinya Bunda udah lupa dengan wajahnya." Ucapan Bunda membuat aku tertawa geli.
Tak lama pesanan kami datang, aroma kuah bakso menyeruak menusuk ke hidung. Aku mendekatkan ujung hidung ke atas mangkok. "Hmm ... harumnyaaa," sambil membulatkan dua jari ke arah Bunda.
*******
Derrtt ... derrtt ...
Suara hape bergetar, sepertinya dari dalam tas Bunda. Gegas beliau membuka tasnya lalu mengusap layar hape. Ternyata Papa yang sedang memanggil lewat sambungan video call. Hape di letakkan depan gelas, lalu nampaklah wajah kami sedang makan bakso bersama.
"Assalamualaikum, Pah!" ucapku.
"Wa'alaikumsalam, Za! Wah, asiiknya sedang santai sambil makan bakso," komentar si Papa
"Hee ... hee, iya Pah! Tadi Za temani Bunda ke supermarket untuk belanja bulanan. Terus pulangnya singgah ke tempat langganan kita."
"Bang Rey dan Kak Mona kenapa gak di ajak?"
"Mereka belum pulang kerja, Mas! Kami tadi perginya habis Zuhur!" sahut Bunda.
"Oh-iya, mereka pulang kerjanya sore," ucap Papa Harry.
"Kapan Mas pulang, udah tiga hari loo?" protes Bunda.
"Insya Allah, besok siang Mas berangkat dari sini!" jelasnya.
"Mas di sana hati-hati! Jangan lupa makan dan salat!" ingat Bunda ke Papa.
"Iya, Bundaku Sayang! Kalian juga jaga diri baik-baik, Za nyetir mobilnya hati-hati, ya!" ingat Papa ke aku.
"Siap, Pah! Kalau begitu kami lanjut makan lagi ya!" ucapku. Setelah mengucapkan salam, ku akhiri panggilan video.
Wajah Bunda yang tadinya murung, seketika berubah memerah penuh senyum. Memang luar biasa rasa sayang yang di miliki Papa dan Bunda. Secepat itu bisa merubah moodnya yang buruk menjadi baik.
"Bunda mau tambah bakso lagi?" tanyaku.
"Ini ada sate kerang dan kerupuk! Ambil aja mana yang Bunda suka!" ucapku.
"Idihh, Za ingin buat Bunda gendut, ya?!"
"Hee ... hee, enggak lah! Hanya ingin buat Bunda senang aja," sahutku sambil bersandar di bahunya.
Melihat Bunda tersenyum lagi, sudah cukup buatku bahagia. Karena sejak kemarin Bunda berkurung terus di dalam kamar, gak pergi ke butik dengan alasan sakit.
Hal itu sering terjadi, kalau Papa sedang pergi tugas ke luar kota. Kalau Papa ada di rumah, Bunda selalu kelihatan happy gak pernah murung. Hanya sesekali saja terjadi debat kecil di antara mereka.
Sedang asik menikmati bakso dan sate kerang, suara hape bergetar lagi. Kali ini suaranya berasal dari dalam tas sandangku.
Bersambung ....