Bab 8.
Bagai terhipnotis, sambil menyetir mobil pikiranku di penuhi dengan pertanyaan tentang status dan maksud cowok itu kirim salam padaku. Apakah ia mau bermain-main denganku. Jangan sebut Zahrana, kalau tak bisa menaklukan hati seorang playboy seperti cowok tetangga itu.
Statusku masih sendiri bukan karena tak ada cowok yang suka padaku. Tetapi belum dapat aja cowok yang sesuai keinginan. Selama ini cowok yang mendekatiku tujuannya hanya untuk bersenang-senang saja. Makanya aku tolak cintanya, tak mau di manfaatkan oleh mereka. Karena Papa dan Bunda orang terpandang di kota ini.
Sesampainya di kampus, aku lihat parkiran mobil sebelah ujung, ramai orang sedang berkerumun. Heran, tak seperti biasanya, pikirku. Setelah dapat parkir di sudut halaman, aku turun sambil meraih tas berisi buku mata kuliah.
Kebetulan hari ini ada tugas, jadi lumayan berat isi tas ini. Dari jauh nampak Arini berlari ke arahku. Napasnya sedikit tak beraturan. Setelah dekat ia berbisik di telingaku.
Sesampainya di kampus, aku lihat parkiran mobil sebelah ujung, ramai orang sedang berkerumun. Heran, tak seperti biasanya, pikirku. Setelah dapat parkir di sudut halaman, aku turun sambil meraih tas berisi buku mata kuliah. Kebetulan hari ini ada tugas, jadi lumayan berat isi tas ini.
Dari jauh nampak Arini berlari ke arahku. Napasnya sedikit tak beraturan. Setelah dekat ia berbisik di telingaku.
"Za ... ada kejadian seru loo, di parkiran sana!" ucapnya sambil menunjuk kerumunan tadi.
"Memangnya ada apa?" tanyaku.
"Jadi kamu belum lihat kesana ya?" Arini bertanya lagi.
"Belum-lah!" sahutku.
"Si Rendy yang sedang naksir kamu itu, lagi ribut dengan kekasihnya!" jelas Arini.
"Loh, tapi udah punya kekasih, untuk apa naksir wanita lain?" tanyaku bingung.
"Biasalah, playboy! Suka pacaran dengan banyak wanita," ucap Arini.
"Kekasih si Rendy sudah tau, kalau cowoknya naksir kamu," kata Arini.
"Tau dari mana?" tanyaku.
"Kekasihnya tak sengaja baca pesan untuk kamu, di hape cowoknya!" jelas Arini.
"Oh-berarti yang kirim pesan dan buket bunga ke rumahku, itu si Rendy kah?" tanyaku dalam hati.
"Eeh, tapi kamu tau dari mana, kalau mereka ribut gara-gara aku?"
"Tak sengaja aku lewat di depan mobil mereka
saat itu si Rara rebutan hape dengan si Rendy sambil menyebut nama kamu! Rara langsung menjelaskan padaku, kalau ada pesan untuk kamu di hape cowoknya!"
"Lalu kamu bilang apa ke mereka?" tanyaku.
"Aku jelaskan, kalau status kamu sedang jomblo gak pacaran dengan siapapun!"
"Kamu punya nomor hape si Rendy?" tanyaku.
"Idiih ... untuk apa ku simpan nomor hape cowok orang!" jawabnya sewot.
"Bisa peranglah aku dengan Angga, kalau nyimpan nomor hape cowok lain!" kata Arini.
"Iya juga sih, aku juga gak punya nomor hape teman cowok, kecuali yang ada di grup kampus," ucapku.
"Nah, kamu aja yang jomblo, gak mau terganggu dengan status mereka di medsos. Apalagi aku yang punya pasangan!"
"Hm ... biasa ajalah ngomongin jomblonya!" ucapku ketus.
"Ya-sudahlah, yuk kita masuk ke kelas! Biarkan mereka selesaikan urusannya sendiri. Sebentar lagi dosen killer itu datang!" ajakku.
"Oke-lah!" kami berjalan bersisian menyusuri koridor kampus menuju kelas.
********
Sebenar aku dan Rara satu kelas, sedangkan si Rendy ada di kelas sebelah, tapi masih satu jurusan mata kuliah. Selama ini aku tau si Rendy memang playboy, dengan gampang menaklukan hati wanita. Mungkin karena tampan dan kaya, tak ada yang sanggup menolak cintanya.
Akan tetapi aku tidak tertarik sedikit pun dengannya. Melihat cowok ganteng itu, sudah hal biasa di kampus ini. Maklumlah siswa kampus di sini kebanyakan orang kaya, yang pasti cantik dan ganteng tampangnya.
Tak lama bel kampus betbunyi, Rara baru saja masuk ke dalam kelas, berpapasan denganku. Ia menatapku lalu berkata. "Tak usah terlalu tebar pesona, hingga cowok orang lupa diri!" ucapnya ketus.
"Hey, kamu bicara dengan siapa?" tanyaku.
"Bicara dengan kamu-lah!" jawabnya.
"Makanya punya cowok itu matanya di beri perekat, biar gak bisa lagi lihat cewek lain" balasku.
"Hush, Za ... Miss Tina udah datang tuh!" bisik Arini di telingaku.
Upss, hampir saja ketauan oleh dosen killer, kalau kami sedang bertengkar. Aku duduk kembali ke tempat semula. Rara membuang muka saat kami beradu pandang.
Cewek egois ini, kok menyalahkan aku pula, mereka yang bertengkar, kenapa nama aku yang ikut di sebut. Lagi pula aku baru tau kalau cowoknya suka padaku.
"Aku tak tertarik pada cowok playboy itu, jadi jangan menuduh sembarangan!" aku kirim pesan ke nomor hape si Rara.
Pesanku langsung centang biru, Rara sudah membacanya tapi tak membalas. Karena mata pelajaran Bu Tina sudah di mulai. Ada saja yang mengganggu konsentrasi belajar di kelas
Hari ini jadwal presentase, membacakan hasil tugas kemarin. Kebetulan namaku pertama kali di panggil untuk maju ke depan kelas. Untungnya tugas kemarin telah selesai, jadi dengan rasa percaya diri, aku bacakan hasil tugas tersebut.
"It's good job, Zahra!" ucap Miss Tina padaku di sambut tepuk tangan seisi kelas.
"Thank you, Miss!" sahutku.
Aku di persilakan duduk kembali. Dengan senyum puas ku lirik Rara yang sedang manyun karena nilai tugasku hari ini lebih baik dari dia.
*******
Selesai mata kuliah terakhir, aku mengajak Arini untuk duduk di cafe, tempat paforit kami. Aku ingin menanyakan sesuatu pada dia, ada hal yang membuatku penasaran. Tadi Arini telfonan dulu dengan Angga, jadi aku tunggu di parkiran mobil saja.
Dari jauh tampak Arini berjalan menuju tempat aku menunggu. Ku lajukan mobil mendekat ke arahnya.
"Yuk, naik!" ajakku.
"Iya," sahutnya sambil membuka pintu mobil.
Tanpa basa-basi, langsung saja aku tanyakan tentang ucapan si Rara tadi pagi.
"Kamu yang beritahukan alamat rumah dan nomor hapeku ke Rendy, ya?"
"Eeh, kamu kok menuduhku seperti itu?" Arini balik bertanya.
"Habisnya siapa lagi kalau bukan kamu?" jawabku ketus.
"Si Rendy itu bisa lakukan apa saja yang dia mau. Kalau cuma alamat sama nomor hape, itu hal kecil untuknya!" jawab Arini.
"Yang jelas aku tak pernah beritahu ke siapapun!" tegas Arini.
Aku terdiam, dugaanku salah. Arini memang benar, masih banyak teman lain yang tau tentang info diriku. Bahkan hampir satu kampus tau siapa aku dan keluargaku.
"Maafkan, ya! Aku kesal aja dengar ucapan si Rara tadi pagi!"
"Kepikiran aja enggak, apalagi ingin merebut kekasih orang," ucapku kesal.
"Sebenarnya si Rendy yang salah, tak pernah puas menjalin cinta dengan satu wanita saja," kata Arini.
"Sudah hampir seminggu ini, ada cowok iseng sering kirim pesan ke nomor aku, bahkan mengirim buket bunga untukku."
"Aih, yang benar, Za?" tanya Arini tak percaya.
"Tak salah lagi, pasti itu kerjaan si Rendy!" ucap Arini menyakinkan aku.
"Dari awal aku tak pernah menanggapi rayuannya. Menurutku itu kerjaan cowok pengecut, kirim pesan tapi tak ada foto profil di medsos-nya!" jelasku. .
Bersambung ....