Bab 12.
Tanpa sengaja, si Rara mencuri pandang ke arahku. Ia terus memperhatikan aku dan Arini, tumben wajahnya sedikit melo. Oh-iya, jadi teringat info yang hendak di sampaikan Arini tadi. Sepertinya terjadi sesuatu terhadap hubungan cowok belagu itu dengan Rara.
Selesai kelas Miss Tina, aku mengajak Arini istirahat ke kantin. Menghabiskan waktu satu jam pelajaran sastra Inggris itu serasa ada di wahana tong setan. Dada ini sport jantung terus mendengar suara Miss Tina yang suka nge-gas
Arini paling senang di ajak nongkrong, pasti dapat traktiran dan aku dapat info terupdate darinya. Karena aku tak sempat mengurus orang lain, datang ke kampus hanya untuk belajar. Setelah itu pulang ke rumah atau pergi ke perpustakaan.
Memang pribadiku sedikit tertutup padahal mudah bergaul. Aku paling sering nimbrung di grup kampus. Kalau sudah masuk suaraku, teman yang lain langsung bersemangat untuk ikutan berbicara.
"Kamu mau pesan apa, Rin?" tanyaku.
"Aku ikut aja deh, yang penting kenyang!"
"Oke, sebentar ya!" aku segera menemui Ibu kantin yang sedang meladeni mahasiswa lain.
Sepuluh menit kemudian, pesananku datang di antar oleh seorang gadis remaja. Melihat dari wajah, sepertinya gadis ini masih SMA.
"Ini pesanannya, Kak!" ucap gadis manis ini.
"Hay, kamu anak dari Ibu kantin, ya?" tanyaku
"Saya keponakan dari Ibu kantin, Kak!" jawabnya sopan.
"Aih, sama aja tuh," sahut Arini.
Aku dan Arini langsung menyantap mie ayam yang masih hangat dalam mangkok. Ini menu paforit kami berdua. Tak lupa aku pesan dua gelas orange jus dingin, untuk melegakan tenggorokan yang terasa pedas.
Arini paling suka makan mie ayam pakai cabai rawit. Ia suka lupa diri kalau sedang makan. Sebab itulah ia sering diare karena tak tahan pedas. Kalau aku sukanya makan mie pakai saos tomat, aman untuk lambung. Aku tak mau kejadian satu tahun yang lalu terulang lagi.
******
Sedang asik menikmati semangkuk mie ayam, tanganku di senggol oleh Arini.
"Ada apa tanyaku?" sambil tetap fokus dengan makanan di depanku.
"Lihat, tuh! Si Rendy datang dengan Cs-nya!" ucap Arini.
"Hm, biarin lah! Inikan tempat umum, semua bebas duduk dan makan di sini," cecarku.
"Sepertinya dia berjalan ke arah meja kita!" bisik Arini pelan.
Aku langsung mengangkat wajah dan melihat ke arah Rendy. Mau apa dia, tumben masih berani menemuiku.
"Za ... maaf mengganggu nih! Selesai makan, aku mau bicara sama kamu!" pintanya.
"Ada apa, bicara aja sekarang!" ucapku ketus.
Rendy melirik ke arah Arini, ia memberi isyarat agar temanku itu berpindah ke tempat duduk yang lain. Berani benar cowok belagu satu ini, menyuruh temanku berpindah duduk
"Kamu mau apa sih, Ren? Seenaknya saja ngusir orang yang sedang makan!" emosiku terpancing.
Mendengar suaraku yang lumayan keras, seisi kantin melihat ke arah kami berdua. Aku tarik napas kasar, lalu duduk kembali. Arini yang sudah paham sifat Rendy, langsung menjauh. Ia meninggalkan kami yang sedang duduk di sudut kantin.
"Ada apa sih, Ren?" tanyaku sewot.
"Kamu duduk deh, tenang dulu, jangan emosi gitu," bujuknya.
Aku kembali duduk lalu menarik napas dalam Kemudian mengusap sisa keringat setelah makan tadi.
"Kenapa kamu tak membalas pesanku lagi, Za?" Sekarang kami duduk saling berhadapan.
"Kiriman bungaku, kenapa kamu buang," ucapnya lirih.
"Hm, aku gak suka lihat cowok pengecut!" sahutku ketus.
"Oke-lah! Hari ini akan ku ungkapkan semua isi di hatiku!"
"Aku sudah lama suka sama kamu! Jauh sebelum aku pacaran dengan Rara. Tapi kamu terlalu cuek, dan itu membuatku makin penasaran!"
"Sekarang kan udah ada Rara, untuk apa mengejar aku lagi?" tanyaku bingung.
"Kami sudah putus, dua minggu yang lalu!" jelasnya bersemangat.
"Loh, kenapa putus?" aku jadi kepo.
"Rara terlalu banyak mengatur hidupku!" ucapnya ketus.
Mendengar ucapannya yang lirih, kok jadi kasihan ya? Eits, tapi aku tak boleh luluh dengan ucapannya. Predikatnya sebagai playboy, sangat membuatku hati-hati. Jangan sampai suka apalagi jatuh cinta, bisa korban perasaan setiap hari.
*******
Aku menolak secara halus permintaan Rendy yang mengajak untuk berpacaran. Aku ingin menikmati kesendirian tanpa ada beban. Tak ada yang bisa mengatur atau marah kalau aku sedang malas bicara. Sudah sebulan ini pikiranku lagi fokus pada cowok depan rumah yang menjadi incaran.
Setiap pagi dan malam aku duduk di teras bawah atau balkon. Untuk sekedar melihat cowok itu pulang kerja. Tiba-tiba ada seorang cowok di kampus menyatakan suka padaku. Sungguh dilema untuk diriku, Rendy memang tampan, tapi aku tak menaruh hati padanya.
"Za ... kamu terima cintanya Rendy, ya?" tanya Arini ketika masuk ke dalam kelas.
"Enggak-lah, dia kan playboy! Paling esok lusa si Rendy sudah punya kekasih baru." jawabku.
"Hm, benar juga," kata Arini.
Masih ada satu jam lagi pelajaran. Kali ini bidang study sesuai jurusan kami yaitu desain grafis. Aku paling suka pelajaran ini, jiwa seniku langsung bergejolak. Aku paling suka corat-coret di atas kertas. Kata Bunda persis dirinya dulu, waktu masih muda.
Sementara menunggu dosen masuk, ku buka layar hape. Jadi kangen, ingin lihat video candid tadi pagi. Saat cowok depan rumah hendak pergi kerja. Terlihat jelas wajah tampannya memakai pakaian rapi dengan stelan jas berwarna navy.
Biasanya kalau memakai stelan jas, cowok itu hendak masuk kantor. Begitu yang ku tau dari Papa. Berarti dia hendak ke kantor papa, iseng aku zoom fotonya. Di dadanya tergantung bed nama bertuliskan, Wendy S.H. Oh, sekarang aku sudah tau nama cowok tersebut.
Sedang asik membuka foto dan video cowok incaranku, Arini menyentuh bahu ini sambil berbisik, "Za, dosennya udah masuk tuh! Cepat simpan hape kamu!" Segera ku matikan layar hape lalu menyimpannya ke dalam tas.
Sepanjang dosen menjelaskan mata kuliah, aku lebih banyak melamun. Pikiran ini jadi tak fokus, hanya sebagian saja yang ku catat di buku tugas. Syukurnya sistem belajar sebagian masih secara online. Jadi masih bisa membuka aplikasi bila mengerjakan tugas.
Secara bergantian mahasiswa/i di berikan waktu untuk menjelaskan apa yang di terangkan oleh dosen tadi. Beliau mulai menunjuk barisan paling depan untuk maju. Syukurnya aku duduk di bagian belakang.
Rara dan Arini ada di bagian depan, sekarang giliran mereka bergantian untuk menunjukan ilmu yang mereka serap selama satu jam di dalam kelas. Aku perhatikan dari tadi Rara kelihatan gugup. Sering mengulang ucapan yang sudah di sebutkan.
Hm, sama saja aku dan dia, tak fokus saat dosen menjelaskan materi pelajaran. Bagi dosen tak masalah bisa atau tidak presentase, ia tak marah. Hanya nilai yang di berikan pasti rendah atau pas-pasan.
"Kalian sudah dewasa, tak perlu di marahi lagi. Berpikir saja secara logika, kalau ingin dapat nilai A, harus fokus di dalam kelas!"
Ucapan dosen serasa menusuk hati, kami merasa tersindir. Aku, Rara dan Arini saling tatap, seakan membenarkan ucapan beliau.
Bersambung ....