Bab 15.
Saat malam tiba, kami sudah berkumpul di ruang makan. Moment seperti ini, semakin sulit di lakukan karena kesibukan Bang Rey dan Kak Mona yang mengharuskan mereka pulang hampir Magrib.
Sedangkan Papa mulai sering tugas ke luar kota untuk mengurus cabang perusahaan properti. Kalau menyangkut urusan tanda tangan harus Papa langsung yang datang. Sedangkan Bang Rey hanya menjalankan tugas bukan menandatangi perjanjian kerja.
Bunda sudah ingatkan Papa untuk tak pergi tugas ke luar kota lagi. Tapi Bang Rey belum paham betul seluk-beluk perusahaan di sana.
Masih perlu bimbingan sampai nanti Bang Rey bisa mandiri.
Posisi Kak Mona juga penting di kantor dalam kota. Papa memberikan jabatan penting, yaitu mengaudit data keuangan. Itu bagian paling penting di perusahaan. Aku sering mendengar percakapan mereka saat makan malam.
Rasanya jadi tertantang untuk ikut melakukan tugas seperti mereka. Niatku setelah wisuda ingin membuka butik seperti Bunda, jadi beralih ingin bekerja di perusahaan. Seperti dua kakakku.
Aku mendengarkan percakapan mereka, sambil menikmati makan malam yang penuh kehangatan. Dari kecil Papa dan Bunda sudah membiasakan kami untuk kumpul di meja makan. Walaupun hanya sebentar semua itu bermanfaat untuk membangun komunikasi satu dan lainnya.
"Bagaimana dengan kuliah kamu, Za? Kapan nyusun skripsi?" tanya Papa.
"Bulan depan sudah mulai KKN, Pah," ucapku.
"Oh-berarti kurang lebih tiga bulan lagi sudah bisa skripsi dong," sela Kak Mona.
"Insya Allah, Kak! Kalau semuanya lancar," ucapku semangat.
"Sudah dapat tempat KKN-nya?" tanya Bunda.
"Hm, sebenarnya sudah, tapi Za mau-nya di kantor teman Papa. Kira-kira bisa gak, Pah?" tanyaku berharap.
"Wihh, sejak kapan kamu tertarik belajar di kantor atau perusahaan?" tanya Bang Rey, mulai kepo.
"Hm, sejak kalian sering diskusikan masalah perusahaan, saat makan malam. Za jadi tertarik dan ingin belajar jadi bisnis women" jawabku mantap.
"Nanti Papa tanya ke Wendy, di kantornya pernah menerima anak KKN atau belum!"
"Apahh?" ucapan Papa sukses membuat aku tersedak, nasi di mulut berhamburan keluar.
"Kenapa, kok kamu kaget?!" tanya Papa heran.
"Oh-maaf, Pa! Za tadi kurang fokus, jadinya tersedak," jawabku berbohong.
Rasanya hati ini menjerit kegirangan, saat Papa menyebut nama cowok incaranku. Beliau tak tau, kalau tadi siang aku melihat mereka di dalam satu mobil.
******
Selesai makan malam, Papa dan Bang Rey berpindah duduk ke ruang tamu. Sedangkan aku,Bunda dan Kak Mona lebih memilih duduk di teras rumah sambil menghirup udara segar. Sedang asiik membahas tentang KKN, terdengar suara mobil berhenti di depan pagar. Aku menjulurkan kepala hendak melihat siapa di luar sana.
Eeh, ternyata itu suara mobil cowok tetangga yang baru pulang kerja. Tapi aku heran deh, kalau bekerja di kantor, kenapa sering pulang malam seperti ini. Sedang Papa dan dua Kakakku pulangnya sore menjelang Magrib.
"Bunda ... kenapa sih tetangga kita itu pulang kerja malam begini?" tanyaku heran.
"Idiih, sejak kapan kamu perhatian terhadap tetangga kita itu," ejek Kak Mona.
"Beliau kan masih single, mungkin pulang kerja ngurus hal lain lagi. Atau ngumpul dengan teman seprofesinya," jelas Bunda.
"Iya juga sih," sahutku.
"Lagi pula kalau pulang cepat, mau ngapain di rumah sendirian," protes Kak Mona.
"Adiknya kan ada di rumah, berarti bukan sendirian, dong!" ucapku.
"Kamu kok tau banyak perihal tetangga kita itu, Za?!" Kak Mona mulai kepo.
"Aihh, kebetulan aja Za sering lihat mereka kalau sedang duduk di teras ini," jelasku.
"Kebetulan atau sengaja kepoin tetangga kita!" ledek Kak Mona.
"Haa-haa, mau tau ajaaa deh," ucapku malu.
"Kata Papa, si Wendy itu sebagai penasihat hukum di perusahaan kita. Dan punya kantor juga di bidang property jadi mereka sedang joint untuk mengembangkan bisnis itu." jelas Bunda panjang lebar.
"Wahh, hebat dong, Bund! Udah ganteng, pengacara jadi CEO pula," puji Kak Mona.
"Iya benar, Kak. Cowok idaman banget tuh," celetukku pelan.
"Kalian gak ingin bersaing nih? Siapa tau berhasil mendapatkan cinta CEO ganteng?!"
"Memangnya CEO itu jomblo ya, Bund?" tanya Kak Mona penasaran.
"Kata Papa, CEO itu baru putus dengan kekasihnya, alias jomblo," kata Bunda.
Aku langsung bersemangat mendengar ucapan Bunda. Apalagi hendak magang di perusahaannya. Sekarang kantornya pernah menerima mahasiswi KKN atau tidak, seperti kata Papa tadi.
*******
Tak lama Papa dan Bang Rey keluar dari ruang tamu, lalu bergabung di teras bersama kami. Kebetulan sekali, aku ingin tanyakan sesuatu pada Papa.
"Pah ... sudah beritahu ke tetangga kita, kalau Za ingin magang di kantornya?" tanyaku.
"Idiih, baru saja di bicarakan, langsung ingin tau jawabannya!" protes Kak Mona.
"Lagian tetangga kita, baru saja pulang kerja. Belum juga istirahat, tak mungkin bicarakan masalah ini di telfon," kata Bunda.
"Bagaimana sebaiknya, Bund?" tanyaku.
"Nanti Papa undang aja makan malam ke rumah kita!" kata Papa
"Kapan?" tanya Bunda.
"Mungkin besok atau lusa gitu! Kamu bilang ke Mbok Asih, masaknya di lebihkan untuk tamu kita!"
Aku dan Kak Mona tersenyum penuh arti mendengar usul Papa. Sepertinya kak Mona penasaran dengan cowok incaranku. Kalau cowok itu di undang, pasti ia mengajak adiknya juga untuk datang kesini. Tak apalah sekalian cuci mata, mereka juga sama-sama ganteng kok, pikirku.
Aku lebih tertarik dengan kakak daripada adiknya. Kalau si Kakak penampilannya lebih dewasa, cool dan berwibawa. Kalau adiknya kelihatan masih labil, gayanya selalu urakan.
"Kenapa melamun, Za?" tanya Papa.
"Enggak apa-apa, cuma mikirin tentang magang itu, Pah," alasanku.
"Tenang saja, gak usah risau, biar Papa yang atur urusan itu! Za belajar saja yang rajin!"
Aku lega mendengar ucapan Papa, tak perlu pusing lagi memikirkan tempat untuk magang
Jadi tinggal menunggu cowok itu datang ke rumah dan berkenalan dengannya.
"Za ... menurut kamu, Kakak cocok gak dengan cowok tetangga itu?" tanya Kak Mona.
Mendengar ucapan Kak Mona, hatiku seperti tersengat listrik, telinga langsung terasa panas. Wajah berubah kesal dan bibirku langsung manyun. Melihat perubahan ini, Bunda langsung mengalihkan pembicaraan.
"Kita masuk, yuk! Angin malam mulai berhembus kencang, sepertinya hendak turun hujan!" ajak Bunda.
Percuma saja Bunda bicara seperti itu, rasa kesalku tak bisa di sembunyikan. Sedang Kak Mona yang tak tau isi hatiku, tetap saja santai tanpa menghiraukan apapun.
Hatiku masih kesal dengan ucapan Kak Mona. Dengan santai ia bicara kalau menyukai CEO incaranku. Sebenarnya aku tak boleh marah, itu haknya. Ingin suka dengan siapa saja. Lagi pula CEO itu bukan kekasihku.
Kalau ingin dapatkan perhatian CEO, kami harus bersaing secara sehat. Nampaknya peluangku lebih besar, karena sebentar lagi akan magang di kantornya.
Bersambung ....