Part 20.
Hari ini aku harus pergi ke kantornya Kak Wendy untuk mengajukan proposal untuk kepentingan magang dari kampus. Sebenarnya aku malu menghubungi CEO itu, tapi ternyata dia yang kirim pesan lebih dulu.
"Selamat Pagi, Za ... bagaimana rencana magang di kantor saya? Kapan di antar proposalnya? Tanya Kak Wendy mengagetkan aku yang baru selesai sarapan.
"Secepatnya akan Za urus, Kak! Ini hendak ke kampus dulu minta surat pengantar!" jelasku.
"Oke-lah, saya tunggu, ya," ucapnya.
Aku tak membalas lagi pesan darinya. Rasanya seperti mimpi, secepat ini bisa mengenal CEO tampan itu. Padahal baru kemarin aku galau, saat malam tiba menanti CEO itu pulang bekerja
Akan tetapi, ini tak seindah apa yang di bayangkan. Kak Mona tak mau menyapaku sejak acara malam itu. Aku merasa bersalah padanya. Tapi hati ini tak bisa di paksakan, pada siapa dia berlabuh.
"Telfon dari siapa, Za?" tanya Bunda
"Dari Kak Wendy, Bund," sahutku.
"Kamu sudah urus proposalnya?"
"Belum .... rencananya hari ini hendak ke kampus bertemu dosen pembimbing, Bund."
"Ya-sudah, kamu antar Bunda dulu! Setelah itu baru ke kampus, ya!"
"Hm, cepat sekali respon si Wendy itu, ya!?" kata Bang Rey.
"Sepertinya ada udang di balik batu nih!" celetuknya.
Candaan Bang Rey membuat wajah Kak Mona semakin cemberut padaku. Duhh, pagi-pagi sudah lihat wajah yang masam aja.
"Tak usah pikirkan yang lain, kuliah aja dulu yang benar!" kata Papa menengahi ucapan Bang Rey.
"Benar itu, Pah! Bang Rey aja suruh cari pasangan, agar keponya cepat hilang!" ejekku.
"Upss, santai aja guys! Nanti Rey kenalin calon bidadari itu pada kalian!" ucapnya sambil tertawa puas.
"Yuk, kita berangkat! Nanti terlambat karena kebanyakan bercanda!" perintah Papa.
Bang Rey dan Kak Mona langsung bersiap-siap. Mesin mobil sudah di panaskan oleh Pak Dirman, tinggal berangkat saja. Setelah pamit pada Bunda, mereka pun berangkat bekerja.
Tinggallah kami berdua yang belum pergi.
Jadwal kuliahku hari ini santai, karena tak masuk kelas. Hanya ke kantor saja bertemu dosen pembimbing. Dan Bunda sudah siap dengan barang bawaannya.
"Kita berangkat sekarang, Bund?"
"Yuk, Za! Tolong bawakan tas besar itu!" pintanya sambil menunjuk tas berisikan baju gamis yang hendak di kirim lewat jasa online.
"Wah, sedang banyak orderan ya, Bund?"
"Iya, Alhamdulillah ... nanti singgah di tempat ekspedisi pengiriman, ya?"
"Oke-Bunda!" jawabku.
******
Setelah mengantar Bunda ke butik aku lanjut menuju kampus. Sedang asiik menikmati lagu dari CD mobil, hapeku bergetar.
Derrtt ... derrtt ...
Suara notifikasi masuk dari aplikasi berwarna hijau. Ku usap layarnya, ada satu pesan dari nomor tak di kenal.
"Selamat Pagi, Za! Jangan lupa sarapan, ya!"
"Hm, siapa lagi ini, ucapku bergumam.
Begitu buka profilnya ada foto dan nama. Ternyata si Indra, adiknya CEO tampan itu. Pasti dia dapat nomor telfonku dari Kakaknya. Dia lebih berani, setidaknya ada foto dan nama di profilnya tak seperti CEO yang sok cool itu.
"Udah sarapan! Sekarang sedang di kampus," jawabku. Si Indra sedang mengetik pesan.
Derrtt ... derrtt ...
"Semangatt, ya, semoga urusan kamu cepat selesai!" balasnya.
Pesannya hanya ku baca saja, dia memanggil nama padaku tanpa sebutan "Kak." Nyali nya lumayan juga, padahal jarak umur kami selisih empat tahun, tapi dia lebih dewasa dari umur sebenarnya.
Karena tak ku balas lagi pesannya, si Indra pun tak lagi mengirim pesan, tapi dia masih online. Mobil pun sudah memasuki halaman parkir kampus. Baru saja turun dari mobil, dari jauh suara Arini memanggilku.
"Zaaa ...!" panggilnya. Aku berdiri di samping mobil, menunggu Arini.
"Kenapa lari-lari, mau pemanasan ya?!" ledekku
"Hee-hee, biar segar ajaaa," jawab Arini.
"Ada apaa? Berita gosip lagi?" tebakku.
"Aihh, bukan Zaa! Kamu udah dapat tempat magang?" tanya Arini.
"Udah dongg," jawabku sambil menjentikkan dua jari.
"Ajak dong! Aku pusing cari tempat magang yang cocok!" pintanya.
"Hm, ada syaratnya!" ucapku, membuat Arini penasaran.
"Kamu gak boleh suka, apalagi jatuh cinta sama CEO yang punya kantor!" ancamku.
"Aihh, segitunya syarat untukku. Memangnya cuci mata pun gak boleh, ya?"
"Haa-haa, kita bicara apaan sihh," aku merangkul bahu Arini yang masih kebingungan.
"Yuk, jalan! Aku hendak bertemu Dosen killer itu di kantor. Hari ini mau ajukan proposal untuk minta tanda tangan dari Dosen pembimbing!"
"Ya-sudah, aku temani, sekalian tulis namaku juga ya! Bahwa kita satu kantor di tempat magang itu!" pinta Arini.
"Oke-lah," sahutku.
Kami pun berjalan menuju kantor. Aku lirik arloji di tangan, ternyata masih pagi. Aku yang terlalu cepat datang, karena mengejar tanda tangan dari Dosen killer itu.
*******
Tanda tangan sudah di dapat, aku dan Arini langsung menuju kantor CEO ganteng itu. Sepanjang jalan, Arini bercerita tentang perhatian Angga padanya. Tapi mereka ingin berkarir dulu setelah itu baru boleh menikah, itu persyaratan dari orangtua.
"Hm, asiik dong sudah punya calon suami! Sedang aku, hingga kini masih jomblo," ucapku.
"Kamu pasti dapat kekasih yang setia, biasanya wanita baik berjodoh dengan lelaki baik," kata Arini dengan yakin.
"Doakan saja semoga itu menjadi kenyataan," ucapku berharap.
Tiba di alamat yang di sebutkan CEO itu, aku mencari papan nama bertuliskan kantor pengacara "Wendy Putrada S.H. Ada berjejer kantor di sepanjang jalan ini, tapi bukan nama pengacara itu yang tertera.
Arini menyarankan untuk telfon saja CEO itu, agar dia menunggu kami di depan kantornya. Benar juga ide dari sohibku ini. Aku raih hape di dalam tas lalu menelfonnya.
Nomor yang di berikan CEO itu sedang sibuk, mungkin beliau sedang berbicara dengan yang lain. Aku coba telfon memakai nomor yang lain, sepertinya ini nomor untuk kantor.
Tutt ... tutt ... terdengar suara dering telfon.
"Halo, selamat Siang," sapa suara di seberang tapi bukan suara Kak Wendy melainkan suara wanita.
"Selamat Siang," balasku.
"Ini dengan siapa ya?" tanya wanita itu lagi.
"Saya Zahra! Pak Wendynya ada, Bu?" tanyaku
"Oh, ini Zahra, silakan datang dan menunggu sebentar! Itu pesan dari beliau," kata wanita itu.
"Kalau boleh tau, kantornya yang di sebelah mana, Bu? Saya sudah sampai di alamat tersebut, tapi tak melihat papan namanya!"
Aku jelaskan posisi di mana mobil berhenti, dan jelaskan warna mobil yang ku pakai. Tak lama keluar wanita sambil melambaikan tangannya ke arah mobilku. Wanita itu keluar dari sebelah swalayan, di sampingnya ternyata kantor pengacara tersebut.
Hm, pantasan tak kelihatan, letak kantornya di antara swalayan dan warung nasi. Mobil melaju ke arah wanita tersebut. Lalu parkir di halaman kantor.
"Maaf, Bu, saya ingin bertemu dengan Pak Wendy!" ucapku.
"Sebentar, ya, saya beritahu ke beliau dulu!"
Wanita itu menelfon dan beritahukan kalau aku sudah berada di ruang tamu kantor.
Bersambung ....