Bab 24.
Sekarang Bunda sudah jarang bicara kalau Papa ada di rumah. Sepertinya mereka sedang perang dingin. Bunda sering merajuk, tak mau kumpul di ruang tamu. Beliau lebih memilih berkurung di kamar sambil menyalurkan hobinya corat-coret di atas kertas, mendesign gamis atau syar'i.
["Pah ... Zahra ada di butik, ya! Nanti sore pulang bersama Bunda,"]ucapku ketika menelfon Papa.
["Ya-sudah, tapi kenapa kamu gak masuk ke kantor, Za?"] tanya Papa.
["Tadi pagi Za ijin untuk ke kampus, mengantar laporan hasil magang!"] jelasku.
["Oh-begitu, kebetulan tadi pagi Wendy ada di kantor Papa,"] jelasnya.
["Oh-iya, ada urusan kantor atau ada yang lain?"] selidikku.
["Aih, kamu ini curiga saja, seperti Bundamu!"] protes Papa.
["Berhati-hati kan tak masalah, Pah! Takutnya CLBK lagi,"] celetukku.
["Zaaa ... jaga bicara kamu! Nanti di dengar Bunda, jadi masalah pula!"] ucap Papa mengingatkan.
["Hee-hee, santai aja, Pah! Tak usah panik gitu!"] sahutku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon.
"Kamu bicara dengan siapa, Zaa?" tanya Bunda
"Za, bilang ke Papa, kalau kita pulang bersama!" jawabku.
Bunda langsung diam tak bicara apapun. Beliau lanjut lagi mendesaign di atas kertas. Aku tak mau mengganggu Bunda yang sedang fokus bekerja. Lebih baik aku buka medsos sambil menunggu Bunda selesai.
Begitu buka layar hape, ada beberapa notifikasi masuk dari aplikasi berwarna hijau. Ternyata Arini mengirim dua pesan ke hapeku.
Pertama, dia beritahukan, kalau tugas asisten itu, Arini semua yang mengerjakan. Kedua, tadi Papaku datang ke kantor lalu mengajak Kak Wendy pergi. Pesan Arini hanya ku baca, aku lebih tertarik melihat story di aplikasi tersebut.
Tak biasanya Kak Wendy membuat story, langsung saja ku klik ingin tau apa kegiatannya hari ini. Foto CEO tampan itu sedang duduk di sebuah bangku taman.
Kemudian ada video, seorang wanita seusia Bunda duduk tak jauh dari tempat Kak Wendy. Ada hal yang aneh menurutku, video itu tayang saat jam kerja. Bukankah Kak Wendy sedang bersama Papa membahas soal kerjaan.
Siapa wanita paruh baya itu? Apakah Mamanya Kak Wendy, pikirku. Sedang apa mereka di taman saat jam kerja begini? Tiba-tiba berbagai pertanyaan muncul di pikiranku.
******
Aku masih memantau story di medsos Kak Wendy. Entah kenapa sejak mengetahui kalau Ibunya CEO ganteng itu, adalah mantan kekasih Papa, aku jadi serba salah. Aku takut kalau Bunda tau kalau aku terlanjur suka dengan CEO
Aku tak mau menyakiti Bunda, lalu bagaimana dengan perasaanku? Aku sudah menyukai CEO itu sejak pertama beliau menempati rumah baru di depan rumahku. Ehh, Kak Wendy kirim story lagi, langsung ku buka videonya.
Upss, aku terkejut, di antara Kak Wendy dan wanita paruh baya tadi, ada Papa yang sedang berbicara di tengah mereka. Ada urusan apa mereka bertiga. Apa mungkin wanita itu klien atau tamu dari Kak Wendy.
Aku makin penasaran dengan mereka, untuk apa bertemu di taman. Biasanya bertemu klien itu di cafe atau resto, ini kok di taman? Seperti orang sedang piknik saja.
Ahh, aku punya ide untuk menelfon Papa, hendak bertanya kalau beliau sedang dimana dan pulangnya pukul berapa.
"Pah ... Bunda nanya nih, pulangnya pukul berapa? Bunda minta di beliin camilan paforitnya!" tanyaku berbohong.
"Duh, kenapa gak sekalian kamu beli saja saat pulang nanti?!" jawab Papa.
"Lapaknya belum bukalah, Pa! Kan martabak telur itu buka pukul lima sore," jelasku.
"Oh-iya, Papa sedang dimana, kok terdengar suara kendaraan lalu-lalang?" selidikku.
"Ahh, perasaan kamu aja itu, Papa sedang di kantor kok!"
"Hm, Papa sudah berbohong," ucapku dihati.
Baru saja lima menit yang lalu, ku lihat video di story Kak Wendy. Tak mungkin secepat itu Papa sampai ke kantor lagi. Panggilan telfon langsung ku akhiri. Percuma di tanyain terus, pasti muncul kebohongan berikutnya.
Story Kak Wendy terus ku pantau, pasti beliau lihat siapa saja orang yang menonton storynya. Mungkin beliau tak merasa bersalah, makanya berani posting story di medsos. Tapi Papa sudah membohongiku. Kenapa tak bilang saja kalau berada di suatu tempat.
Ku lihat Bunda masih fokus dengan kertas dan pulpen di atas meja. Andai Bunda tau kalau Papa sedang di luar bersama mereka, pasti bakalan ribut lagi seperti kemarin.
Aku dekati Bunda, karena terlalu serius sampai beliau tak sadar kalau aku berdiri di belakang punggungnya. Ternyata Bunda corat-coret sambil melamun.
Beliau menuliskan gambar love yang terbelah menjadi dua, yang artinya sedang patah hati. Apakah Bunda kecewa dengan Papa atau pada yang lain. Aku tak bisa menebak isi hatinya, tak mungkin bertanya, biarkan saja Bunda bercerita dengan sendirinya.
"Bunda ... kita pulangnya pukul berapa?" suaraku mengagetkannya.
"Eh, Za, ngejutin Bunda aja!" protesnya.
"Sebelum pulang, kita singgah beli martabak paforit Bunda ya," ucapku menghiburnya.
"Aihh, tau aja kamu, kalau Bunda sedang ingin makan martabak itu!" jawab Bunda sambil tersenyum.
"Iya-dong, biasanya penghibur orang yang sedang galau itu adalah makan!" ejekku.
"Haa-haa," Bunda tertawa sambil melempar bulatan kertas ke wajahku.
******
Sore pun tiba ...
Hari ini penjualan di butik, lumayan sekali. Karena weekend, pelanggan banyak yang datang untuk membeli gamis atau syar'i. Biasa seperti itu kata Bunda, sebab pelanggan pakai gaun itu untuk acara ke pesta atau jalan-jalan.
Wajah Bunda yang tadinya murung berubah ceria saat menjelaskan itu padaku. Memang benar istilah mengatakan, dengan bekerja, masalah hidup sejenak terlupakan. Apalagi bekerja sesuai hobi atau kemampuan diri.
"Wah, ramai pelanggan yang datang, Bund!"
ucapku semangat. Bunda tersenyum sambil mengacungkan jempol ke arahku.
Iseng aku foto dan videokan Bunda yang sedang sibuk melayani pelanggan. Lalu cekrek ... cekrek ... langsung ku kirim story ke aplikasi hijau dengan caption "rejeki istri soleha."
Orang pertama yang melihat storyku adalah Kak Wendy. Terlihat beliau sedang mengetik, lalu mengirim tulisan, "Aamiin." Hanya ku baca saja tak membalasnya.
Lima menit kemudian CEO ganteng itu mengirim story pribadi dengan tulisan, "bertemu keluarga baru, adalah anugerah terindah untukku." Hm, maksudnya apa ini? Tak ada lagi foto dan video yang ia kirim ke story medsos.
"Za ... siap-siap, yuk! Sebentar lagi kita pulang!" ajak Bunda dengan semangat.
"Ciee, yang baru dapat rejeki weekend," ejekku.
"Apa yang Bunda miliki, semuanya untuk kamu juga, Za!" sahut Bunda sambil mengacak rambutku.
"Ada satu yang bukan untuk, Za!" ucapku.
"Apa itu?" tanya Bunda.
"Hati Bunda pasti untuk Papa!" jawabku.
"Hm, yuk kita beberes!" ucap Bunda untuk mengalihkan pembicaraan.
Wajah Bunda berubah, saat aku menyebut Papa. Beliau langsung menyibukkan diri dengan membersihkan meja yang masih berserakan.
Bersambung ....