Chereads / it's my dream (versi Indonesia) / Chapter 21 - Amarah Papa

Chapter 21 - Amarah Papa

Part 21.

"Hay, Za, sudah lama menunggu, ya?" Kak Wendy turun dari lantai atas.

"Eh, Kak Wendy bikin kaget aja! Kami sudah dari tadi di luar, Kak!" jawabku.

Arini mencubit lenganku, sambil berbisik. "Zaaa, ganteng banget CEO-nya!"

"Hm, biasa aja, tak usah kepo! Ingat janji kamu!" ucapku sambil membetulkan letak duduk.

"Ini proposalnya, Kak!" Aku berikan map biru berisi berkas pengajuan untuk magang.

Kak Wendy membuka map tersebut, lalu membacanya. Aku pandangi wajahnya dari dekat sepuasnya. Selama ini hanya melihat dari jauh saja. Sekarang CEO ganteng ini sudah di depan mata.

Akan tetapi aku tak boleh terlalu over akting, nanti kesannya norak alias kampungan. Jaga sikaplah sedikit, biar kelihatan anggun dan sopan. Sementara itu Kak Wendy sedang sibuk memeriksa proposal yang ku ajukan tadi.

Kami berdua masih asiik memandangi wajah CEO ganteng ini. Hingga yang punya wajah tersadar dan bertanya.

"Kalian sedang lihat apa?"

"Hm, kami menunggu keputusan dari Kak Wendy," jawab Arini.

Duhh, jawaban sohibku ini, membuat kami malu sendiri. Seperti menunggu ungkapan cinta saja, ucapku di dalam hati. Kak Wendy tertawa mendengar jawaban Arini.

"Kalian santai saja, sikapnya tak usah terlalu formal begitu," pintanya.

"Oh, iya-iya, Kak," sahutku sambil tersenyum.

Sementara itu, di sudut ruangan di meja resepsionis, wanita tadi terus memperhatikan. Wajahnya terlihat cemberut melihat kehadiran kami.

"Kenalin ini Silfi, asisten saya!" kata Kak Wendy.

"Iya, Kak, tadi sudah kenal tapi belum tau namanya," sahutku.

"Asistennya saja cantik dan glowing begini, beda jauh dengan kita ya, Zaa!" celetuk Arini.

"Hush, gak usah banyak komentar," ingatku.

"Dari tadi kamu memuji CEO itu terus, kamu sudah lupa sama Angga, ya?" ledekku.

"Hanya penyegaran aja loo, Za! Biar gak pusing mikirin tugas magang ini!"

"Baiklah, proposal kamu sudah saya baca dan pelajari. Jadi mulai besok, kalian sudah bisa magang di kantor saya!" perintah Kak Wendy.

"Zahra ... meja kerja kamu di lantai atas di depan meja saya,ya!"

"Sedang kan Arini, meja kerjanya di depan Mis Silfi, ya!" kata Kak Wendy.

Aku dan Mis Silfi saling beradu pandang, kalau tak suka dengan keputusan CEO, silakan protes langsung pada orangnya, jangan memandang sinis padaku, ucapku bergumam.

******

"Kalau begitu kami permisi, Kak," ucapku berpamitan pada CEO ganteng.

"Oh-iya, Za, selama di kantor, panggil saya, "Pak," oke," ingatnya.

"Oke-Pak Wendy," sahutku sambil memberi hormat padanya seperti orang hendak upacara.

"Permisi Mis Silfi," sapaku sambil berlalu.

"Iya," sahutnya datar.

Begitu sampai di mobil, Arini bingung, kenapa cepat sekali CEO ganteng itu memproses proposal yang ku ajukan. Setelah ku jelaskan barulah dia mengerti, kalau keluargaku sudah kenal dengan CEO itu.

"Awas jatuh cinta, Zaa!" ingat Arini.

"Memangnya kenapa kalau jatuh cinta?" tanyaku.

"Lihat saja di dalam kantornya, hampir semua karyawannya wanita seksi!" kata Arini.

"Lalu menurut kamu, aku kurang seksi, ya?" tanyaku sambil menunjukkan gaya wanita seksi.

"Ha-haa, Za ..., biasanya lelaki seperti itu tipe playboy, tak cukup pacaran dengan satu wanita saja," jelas Arini sambil mengacak rambutku.

Aku langsung terdiam, jadi ingat si Rendy playboy kampus yang hingga kini masih tetap mengejar cintaku. Entah kapan lelaki itu sadar, padahal di manfaatkan oleh wanita materialistis

Rara temanku sekelas sangat cinta padanya, tapi si Rendy mudah bosan. Malah pergi meninggalkan gadis mungil itu. Serumit ini kah kalau jatuh cinta. Lagi sayang-sayangnya malah di tinggal pergi.

"Za ... kok melamun sih? Tersinggung, ya?"

"Enggaklah, mana mungkin aku tersinggung di nasihati sama teman sendiri," ucapku.

"Aku takut kamu kecewa, Za! Jangan langsung bawa perasaan dengan lelaki ramah seperti CEO itu," ingatnya lagi.

"Akan tetapi, aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya," sahutku.

"Tak masalah, Za. Yang penting CEO itu tak tau isi hati kamu. Kita fokus belajar dan magang aja dulu di kantornya. Setelah itu baru memikirkan soal hati kamu padanya!" nasihat Arini.

"Kamu benar Arini! Aku baru kenal seminggu yang lalu dengan CEO itu, belum tau sifat dia yang sebenarnya," ucapku.

"Nah, selidiki aja dulu, sambil kita magang di kantornya," saran Arini.

"Oke-lah, terima kasih atas sarannya! Kamu memang sohib yang pengertian," pujiku.

"Kamu hendak pulang langsung atau mampir ke rumahku?"

"Antar ke rumah aja, Za! Soalnya aku ada janji sama Mama," kata Arini.

Tak lama mobilku sampai di depan rumah Arini. Mamanya sudah berdiri di depan pintu, sedang menunggu dia pulang. Setelah Arini turun, aku bunyikan klakson, lalu melambaikan tangan pada Mamanya.

Sepanjang jalan, aku masih teringat dengan nasihat Arini. Sohibku itu sudah lama pacaran dengan Angga sejak jaman SMA. Jadi sudah paham betul sifat lelaki.

Sedang aku, terakhir pacaran waktu SMA, itu pun masih cinta anak muda, tak serius seperti mereka. Hingga kini, aku lebih memilih sendiri, karena fokus untuk belajar demi masa depan.

Papa sudah berjanji, akan memberikan satu usaha untukku. Tapi aku masih bingung, hendak membuka usaha seperti Bunda atau bekerja di kantor seperti Kak Mona?

Selagi magang di kantor CEO itu, akan ku manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mendapatkan ilmu di kantor beliau.

Menurutku seksi dan smart jika melihat seorang wanita bekerja di kantor, apalagi perusahaan besar seperti punya Papa. Tapi aku tak mau manfaatkan koneksi dari Papa. Makanya aku magang di kantor orang lain.

*****

Keasikan melamun, hampir lupa menjemput Bunda di butik. Aku membelokkan mobil, lalu berjalan menuju arah butik. Kenapa tiba-tiba macet, ya, tak seperti biasanya?

Dari jauh di depan halaman butik, ku lihat ada orang berkerumun. Perasaanku langsung tak enak, seperti terjadi sesuatu hal di sana.

Benar saja, ku lihat ada mobil Papa juga. Kenapa tak menelfon kalau ingin menjemput Bunda, jadi aku bisa langsung pulang, pikirku.

Langsung ku bunyikan klakson, agar orang yang berkerumun itu minggir dan beri mobilku jalan. Papa sedang di pegangi oleh dua sekurity dari kantor seberang. Sedang di sebelah Bunda ada Kak Ayu dan Kak Dina.

Di sudut halaman butik, ada seorang lelaki berambut gondrong,sedang menghidupkan mesin sepeda motornya. Melihat pemandangan ini, aku langsung turun dari mobil lalu bertanya pada Papa.

"Ada apa ini, Pah?" tanyaku bingung.

"Itu lelaki tak tau diri, sudah di usir masih tetap saja datang mengganggu istri orang!" maki Papa sambil menunjuk lelaki gondrong tadi.

Hm, aku langsung paham, berarti lelaki itu sebab kerusuhan di sini. Setelah Papa mulai tenang, dua sekurity tadi, mendekati lelaki itu lalu mengusirnya. Ku lihat sekilas, ada bercak darah di sudut bibir lelaki tersebut.

"Papa berkelahi dengan lelaki itu?" tanyaku.

"Iya! Untung gak Papa buat dia mati!" jawab Papa penuh emosi.

"Kenapa gak bilang kalau Papa hendak menjemput Bunda?" tanyaku lagi.

"Papa sengaja gak bilang, karena ingin pergoki Bunda kamu dengan lelaki itu!" Aku melihat ke arah Bunda, dan ingin tau apa yang terjadi sebenarnya.

"Sebaiknya kita pulang Pah, selesaikan urusan ini di rumah!" ajakku sambil memegang tangan Bunda untuk masuk ke mobil Papa.

Orang yang berkerumun itu, langsung pergi setelah lelaki tersebut naik ke motornya. Tak lupa ku ucapkan terima kasih pada dua sekurity yang telah melerai Papa dan lelaki tadi. Setelah mobil Papa jalan, mobil aku pun menyusul di belakangnya.

Bersambung ....