Bab 14.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Arini, ia banyak cerita tentang hubungannya dengan Angga. Namanya Arini kurang menyukai Angga, karena pernah tersangkut masalah kriminal. Memang saat itu Angga membela diri dari kumpulan berandalan yang suka mengajaknya bermain judi.
Angga di peras oleh temannya sendiri, karena khilaf Angga memukul temannya hingga masuk rumah sakit dan akhirnya si teman melapor ke polisi. Angga pun di penjara selama setahun dengan kasus penganiayaan.
"Jadi Mama kamu tak suka dengan Angga, karena dia mantan narapidana?" tanyaku.
"Iya, Za. Padahal bukan kasus berat, hanya kasus perkelahian, tapi Mama tetap tak setuju kalau aku menikah dengan Angga," jelas Arini
"Cobalah Angga datang ke rumah, lalu tunjukan sikap yang baik penuh tanggung jawab di depan Mama kamu, pasti luluh hatinya melihat semua itu," saranku.
"Aku juga sudah sarankan seperti itu, tapi Angga masih sibuk mengurus tugas kuliah. Belum punya waktu untuk sering datang ke rumah," sahut Arini.
"Kalau begitu di coba saja nanti, kalau sudah punya waktu luang," ucapku.
Tak terasa mobil sudah sampai di depan rumah Arini. Ia pun turun dan mengucapkan terima kasih. Aku melambaikan tangan ke arahnya, kemudian lanjut menuju jalan pulang. Sebenarnya aku sudah banyak belajar dari kisah cinta Bunda dan Papa, juga dari sahabatku Arini tentang masalah cinta.
Semua butuh pengertian dan pengorbanan, cinta saja tidak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga. Apalagi Bunda sebagai wanita kedua di hidup Papa. Status istri kedua sedikit tak enak di dengar oleh telinga.
Apalagi Oma Nelly, mantan mertua Papa selalu menyebut Bunda sebagai pelakor. Alias perebut suami orang. Sedangkan Bunda menikahi Papa yang sudah duda selama lima tahun. Sedang asik melamun, tak sengaja aku menoleh ke mobil yang berhenti di lampu merah, tepat di depanku.
Begitu lihat nomor kendaraannya, bukankah itu mobil Papa. Aku amati orang duduk di dalam mobilnya. Sepertinya Papa berdua dengan seorang teman lelakinya. Bertepatan dengan lampu hijau menyala, aku sejajar kan mobilku dengan mobil Papa.
Upss ... ternyata Papa bersama lelaki tetangga incaranku itu. Mereka di mobil ada bertiga, yang satu lagi aku kenal, itu asisten pribadi. Apa mereka hendak makan siang, pikirku. Di persimpangan jalan, mobil Papa berbelok menuju arah pusat kota. Dan mobilku melaju menuju komplek perumahan.
******
Sampai di rumah, aku lihat Bunda sudah pulang dari butik. Biasanya Bunda pulang sehabis salat Ashar, pukul empat sore.
"Assalamualaikum, Bunda," sapaku sambil mencium tangan dan pipi Bunda.
"Wa'alaikumsalam, Za," sahutnya.
"Kok Bunda sudah pulang? Biasanya sore hari?" tanyaku penasaran.
"Iya, Bunda sedang malas saja berlama-lama di luar rumah," jawabnya.
"Makanlah dulu, Za! Nanti kita cerita lagi, Bunda mau salat dulu!" ucapnya sambil naik ke lantai atas.
Sepertinya Bunda sedang ada masalah. Dari cara bicaranya tak bersemangat biasanya tak begitu. Bunda hanya mau bercerita denganku saja, sedang dengan yang lain ia tertutup.
Meskipun punya dua anak sambung dari Papa, Bunda tak leluasa mencurahkan isi hatinya. Hanya kepadaku beliau berani membuka rahasia masa lalunya.
"Bunda udah selesai salat?" tanyaku ketika masuk ke kamarnya yang tak di kunci.
"Sudah ... kamu kenapa tak ganti pakaian?"
"Nanti sajalah, Za masih gerah, baru selesai makan!" ucapku.
"Loh, foto di atas meja rias itu, mana Bund?"
"Oh, ada di dalam laci! Tadi pagi Bunda membersihkan meja, lupa mengeluarkannya!"
"Oooo ...," aku membulatkan bibir.
Aku pandangi sekeliling kamar Bunda, ada beberapa foto yang tak ada di tempatnya. Seperti foto mereka masih muda dan waktu masih pacaran. Papa paling suka bercerita masa lalu pacarannya dengan Bunda, saat di meja makan.
Padahal mereka pacaran hanya enam bulan, kemudian Papa tak sabar menunggu lagi. Langsung saja datang ke orangtua untuk melamar, kisah yang so sweet menurutku.
"Di butik sedang sepi pelanggan, ya, Bund?"
"Enggak juga, biasa aja kok!" sahutnya tak bersemangat.
"Terus kenapa Bunda galau begini?" tanyaku
"Lelaki masa lalu itu datang lagi, Za!"
"Hahh, yang benar? Untuk apa datang lagi menemui Bunda?" aku mulai penasaran.
"Begitu Bunda sampai di butik, lelaki itu sudah ada di halaman parkir. Bunda gak perhatikan, kira-in pelanggan yang ingin belanja di butik!"
Aku terdiam mendengar penjelasan Bunda. Pasti beliau tak bisa mengelak dari lelaki itu, apalagi sudah berdiri di depan mata.
******
Mengalirlah cerita Bunda, menjelaskan padaku tentang masa lalunya. Ternyata masih banyak yang tidak ku ketahui tentang beliau.
Begitu Bunda hendak masuk ke butik, lelaki itu memanggil nama Bunda.
"Meysa ... tunggu sebentar!" panggil lelaki yang bernama Bayu itu.
Bunda kaget lalu menoleh ke belakang. Beliau hampir tak mengenal lelaki di belakangnya. Karena perubahan pisiknya yang kurus serta rambut mulai di tumbuhi uban sana-sini.
"Kamu siapa?" tanya Bunda sambil melihat ke wajah lelaki di depannya.
"Kamu tak mengenal aku lagi, ya?"
Bunda menyipitkan mata, meneliti setiap inci wajah lelaki itu. Begitu tersadar siapa lelaki di depannya, Bunda langsung masuk ke butik tak menghiraukan lagi panggilannya.
Akan tetapi tak mengurungkan niat lelaki itu untuk bertemu dengan Bunda. Ia menunggu di halaman butik hampir tiga jam. Karena situasi tak nyaman, Bunda memutuskan untuk pulang saja.
Di halaman parkir, tak ada pilihan lagi, Bunda ingin tau apa maksud lelaki itu ingin bertemu dengannya.
"Untuk apa kamu datang dan menemui aku lagi?" tanya Bunda.
"Aku baru setahun bercerai, Mey!" ucapnya.
"Lalu, apa urusannya denganku?"
"Aku ingin menjalin cinta kita yang sempat terputus dulu!" sahutnya tanpa rasa berdosa.
"Apaah ... kamu sudah gila, ya! Aku sudah bersuami," teriak Bunda, sangkin emosinya.
Bunda langsung masuk ke mobil, untung Pak Dirman segera melajukan mobil dengan cepat. Sehingga lelaki itu tak sempat mengejar, karena kelamaan menstater sepeda motornya.
Ada-ada saja tingkah orang dewasa. Kenapa kisah cinta yang sudah selesai, masih saja di paksakan untuk di sambung kembali.
"Bunda takut kalau sampai lelaki itu datang ke rumah kita," kata Bunda lirih.
"Memangnya lelaki itu pernah berbuat nekad, ya, Bund?" tanyaku.
"Pernahlah! Seperti tadi itu, kan nekad namanya. Menemui istri orang secara langsung, di depan umum lagi!"sahut Bunda tampak emosi.
"Esok lusa takutnya ia datang ke rumah kita, saat Papa kamu pergi bekerja," jelas Bunda.
Benar juga sih. Kalau sudah cinta, apa saja bisa di lakukannya. Ahh, jadi teringat tingkah si Rendy temanku di kampus, kenapa aku bisa punya cerita yang sama dengan Bunda?
Saat malam tiba, kami sudah berkumpul di ruang makan. Moment seperti ini, semakin sulit di lakukan karena kesibukan Bang Rey dan Kak Mona yang mengharuskan mereka pulang hampir Magrib.
Bersambung ....