Bab 10.
Sebelum melihat cowok tetangga itu, aku tak pernah peduli dengan cowok mana pun. Tapi ini berbeda, melihatnya sekilas saja rasanya dada ini berdesir dan menghangat. Apakah ini yang di namakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Tapi cowok itu sedang berpacaran,
haruskah ku rebut dia dari kekasihnya?
Akan tetapi, kata hati ini bertentangan dengan keinginan. Setiap malam aku selalu duduk melamun di balkon, sekedar menunggu cowok itu pulang kerja. Kadang sampai larut malam aku menunggu, mungkin cowok itu tau kalau aku sedang mengawasinya dari balkon.
"Hay, Sayang ... kenapa belum tidur?" tanya Bunda yang sudah berdiri di belakangku.
"Za belum ngantuk, Bund," jawabku.
"Tak baik anak gadis duduk sendirian, hingga larut malam," ucap Papa menimpali.
"Iya, Pah, ini Za mau tidur! Selesaikan bacaan novel dulu," sahutku berbohong.
"Baca novel, kan bisa di kamar! Di sini kamu kena angin malam loo," protes Bunda.
Hm, perlahan ku tarik napas dalam, kalau di kepo-in seperti ini, bisa batal rencana untuk melihat cowok incaranku. Melihat aku terdiam, Papa dan Bunda beranjak dari balkon lalu masuk ke kamar.
Segera ku bereskan barang di atas meja, hape dan hetsed sudah masukkan ke dalam tas sandang. Tak lupa gelas dan piring kosong bekas makan, ku letakkan ke dalam baki. Sedang beberes, kedengaran suara mobil mendekat ke arah rumah. Ku julurkan kepala, melihat ke halaman bawah.
Ternyata yang datang mobil cowok yang sedang ku tunggu. Niat hati ingin segera masuk kamar, terpaksa di batalkan. Aku duduk kembali di teras balkon sambil memandang ke bawah. Melihat mobil cowok itu saja, sudah puas hati ini, apalagi bisa berbicara dengannya.
Sedang asik memperhatikannya dari lantai atas, tiba-tiba cowok itu melihat ke arahku. Mungkin ia merasa sedang di awasi, sebab matanya mencari-cari sesuatu. Reflek ku alihkan pandangan ke novel dan hape yang sedang ku pegang, seakan pura-pura sibuk.
"Ehem," terdengar suara cowok itu berdehem.
Aku langsung salah tingkah alias grogi begitu dengar suaranya. Perutku tiba-tiba mulas rasa ingin BAB. Apakah ini tanda orang yang sedang jatuh cinta? Tapi bagaimana dengan kekasihnya itu, kenapa hampir dua minggu, tak pernah kelihatan lagi datang kesini???
*******
Dengan langkah tergesa-gesa aku masuk ke dalam lalu mengunci pintu teras balkon. Di dalam aku berpapasan dengan Bunda.
"Loh, kok jalannya terburu-buru?"
"Perut Za sakit, hendak ke toilet, Bund," ucapku sambil meletakkan novel dan hape ke atas meja.
"Oh-pantesan, sudah tercium bau-nya," ejek Bunda sambil tertawa.
Bunda turun ke lantai bawah, ada sesuatu yang tertinggal, katanya. Syukurnya di lantai atas ada toilet di sudut tangga di sebelah kamarku. Kalau di kamar Bunda sudah ada toilet sendiri jadi kami tak perlu berebut lagi untuk ke kamar mandi.
Kak Mona lebih sering mengguna toilet di sebelah kamarku, karena alat mandinya lengkap. Jelas dong, kan aku yang isi semua perlengkapan mandi.
Mulai dari sabun cair, shampoo, pasta gigi, facial wash, cream masker dan creambat rambut serta lulur tubuh semuanya tersedia di toilet ini. Kalau persediaan habis, kami bergantian untuk membelinya.
Lima belas menit di kamar mandi, aku sudahi acara buang hajatnya. Lalu membersihkan diri kemudian mengambil air wuduk. Mata yang mengantuk, kembali terasa segar karena di siram dengan air wuduk.
Aku keluar dari toilet lalu mengambil hape dan novel kemudian masuk ke kamar. Ku lirik benda bulat di dinding kamar. Sudah pukul sebelas malam aja. Pantasan mulai terdengar suara jangkrik dari halaman bawah.
Langsung ku raih mukena di balik pintu, lalu memakainya. Setelah memfokuskan diri, aku langsung membaca niat kemudian salat wajib empat rakaat.
Selesai salat dan berdoa, aku jadi teringat kejadian di teras balkon tadi. Sepertinya hatiku menyukai cowok depan rumah itu. Aku rela membuang waktu, duduk berlama-lama untuk melihat cowok itu pulang kerja.
Masalahnya cowok itu suka gak ya, denganku. Bagaimana kalau kekasihnya tau, kalau cowok itu memberi respon padaku. Jadi teringat pesan dari Mbok Nah kemarin. Kalau cowok itu titip salam untukku. Apa mungkin sekedar salam kenal karena kita bertetangga.
Untuk memastikan statusnya, besok akan ku tanyakan ke Papa atau Bunda. Siapa tau mereka punya informasi tentang cowok itu. Habisnya aku semakin penasaran padanya. Aku tak peduli andai cowok itu masih kekasih orang lain.
******
Esok harinya, aku sudah siap-siap hendak pergi ke kampus. Mesin mobil sedang di panaskan oleh Pak Dirman.
"Za, tadi malam kenapa tidurnya malam banget?" tanya Papa.
"Za sakit perut, Pah! Jadi bolak-balik ke toilet!"
"Makanya jangan sering duduk di balkon sampai larut malam! Angin malam tak baik untuk tubuh kamu!" ingat Papa.
"Iya," sahutku pelan.
Berarti Papa mendengar suara pintu kamarku di buka berkali-kali. Sampai beliau tau kalau aku masuk ke toilet terus.
"Kamu sedang mikirin apa sih, kenapa sering melamun di teras atas?" tanya Papa lagi.
"Biasalah-Pah, namanya jomblo senangnya melamun sambil duduk sendirian," ledek Bang Rey sambil cekikikan.
Kalau Bunda sepertinya tau apa yang sedang aku pikirkan. Ia tak banyak tanya, hanya memberikan nasihat saja. Kalau cowok yang sering ku tunggu itu sudah punya kekasih.
Wajahku bersemu merah saat Bunda bicara seperti itu. Tapi aku masih malu mengakuinya karena doaku, mengharapkan cowok itu segera jomblo. Berdosa gak ya, kalau doanya jelek begini?
Bunda sudah tau gelagatnya sejak aku sering duduk melamun di teras atau di balkon.
"Za ... kamu sedang nungguin cowok depan rumah itu, ya?"
Aku hanya diam saja, pura-pura tak dengar. Bunda mengulangi lagi pertanyaannya. Aku melihat sekilas ke arah rumah depan itu dan Bunda langsung paham.
"Yang Bunda tau dari Papa kamu, bahwa cowok itu tak jadi tunangan."
Reflesks, aku langsung merespon ucapan Bunda. Dengan bergumam, "berarti doa Za di dengar oleh Tuhan, ya, Bund!" ucapku pelan.
"Ihh, jelek banget sih doa-nya," ucap Bunda sambil membulatkan matanya.
"Eeh, tapi apa sebabnya cowok itu batal tunangan, Bund?" tanyaku penasaran.
"Hm, cowok itu tak mengungkap alasannya pada Papa. Ia hanya menjawab terlalu banyak perbedaan prinsip antara mereka."
"Oh-begitu," sahutku pelan.
Mendengar cerita Bunda tentang cowok itu, rasanya hati ini ingin teriak bahagia. Berarti statusnya sekarang jomblo sama denganku.
Akan tetapi aku masih ragu, cowok setampan dan semapan dia, pasti banyak di kelilingi oleh wanita cantik dan kaya. Apa dia mau dan suka denganku? Seorang mahasiswi yang belum jelas masa depannya?
"Zaa ... kok malah melamun? Bukannya pergi kuliah?!" tanya Bunda.
"Oh-eh-iya, Bund, ini Za mau pergi!" jawabku sambil mencium kedua pipi dan punggung tangan wanita yang ku sayang.
"Za berangkat ya, Bund!"
"Iya, Hati-hati di jalan, Nak!" ingatnya.
Hari ini aku ada kuliah pagi, jadi jadwal masuknya hampir sama dengan orang pergi ke kantor. Syukurnya Papa dan Bang Rey sudah pergi lebih dulu. Kalau tidak, aku selalu jadi bahan ejekan mereka.
Bersambung ....