Bab 6.
"Pah, mau mandi sekarang? Biar Bunda siapkan air hangatnya?"
"Oh-iya, sudah gerah banget nih!" jawab Papa.
Puas menghabiskan camilan di tangan, Bang Rey dan Kak Mona beranjak dari ruang tamu. Mereka pamit ke kamar masing-masing, untuk berganti pakaian. Tinggallah kami bertiga yang masih duduk di ruang tamu.
"Bagaimana dengan kuliah kamu, Za? Kapan mulai ujian semester?" tanya Papa.
"Alhamdulillah, kuliah lancar, Pah! Ujian rencananya bulan depan, sistemnya gak online lagi!" jelasku.
"Berarti peraturan di kampus kamu, sudah di perbaharui, sehingga mahasiswanya sudah bisa belajar secara langsung!" ucap Papa.
"Iya, benar, Pah!* sahutku.
Derrtt ... derrtt ...
Suara hape bergetar di atas meja, itu suara dari hapeku. Gegas ku lihat siapa yang menelfon, ehh, gak ada nama penelfonnya. Berarti bukan teman, saudara atau keluarga, Duhh, siapa lagi ini, telfonnya langsung ku angkat, begitu mengucap kata hallo, penelfon di seberang menutup panggilan telfonnya.
Selesai makan malam, aku lebih memilih duduk di balkon lantai atas. Sementara Bunda, Papa dan kedua Kakakku sedang berkumpul duduk di ruang tivi.
Aku masih penasaran dengan penelfon tadi, begitu ku lihat nomor hapenya, beda lagi dengan yang memberi buket bunga. Ku amati sistem pengaturan di chat medsos tadi siang. Kebetulan sekali yang kirim pesan ke aku itu sedang online. Langsung aja aku chat dia, sambil berkata.
["Hay, siapa ini? Kenapa gak langsung aja kasi buket itu ke aku? Jangan pengecut dong!"]
Tring ... chat aku terkirim. Ehh, langsung di baca oleh cowok misterius itu. Ia sedang mengetik balasan dari pertanyaanku.
["Sebenarnya jarak kita sungguh dekat. "Dekat di mata dan dekat di hati,"] balasnya puitis.
"Hm, tunjukin foto profil kamu! Jangan sembunyi di balik ucapan sok romantis ini!" titahku menantangnya.
"Haa-haa, aku sengaja buat kamu penasaran! Habisnya galak banget sih," ledeknya.
"Halahh, bilang aja kamu takut," sindirku.
Sedang asik berbalas chat dengan lelaki pengecut ini, mataku tertuju pada mobil yang berhenti di rumah baru depan rumahku. Seorang cowok dengan penampilan rapi turun, kemudian berlari mengitari mobil untuk membuka pintu di seberangnya.
Seorang wanita berhijab turun, sambil menenteng tas tangan. Ia berjalan menuju pagar yang terbuka sedikit. Tak lama seorang lelaki kira-kira seumuranku, keluar untuk membukakan pagar.
Sepertinya cerita Bunda meleset deh, katanya cowok yang tinggal di rumah depan itu masih jomblo. Nah, itu bawa cewek masuk ke rumah.
Begitu turun dari mobil, tak sengaja cowok itu melihat ke atas balkon rumahku.
Ehh, ia melambaikan tangan ke arahku. Duhh, ketauan deh sedang memperhatikan tetangga baru. Cepat ku buang pandangan, Pura-pura lihat ke hape. Tapi terlambat, cowok itu melihat dan tersenyum seolah menertawakan kebodohanku.
********
Entah kenapa aku penasaran dengan status cowok barusan. Aku lebih tertarik dan ingin tau tentang cowok tadi di banding adiknya. Karena Bunda dan Papa bilang, dia itu jomblo dan ada joint kerja di perusahaan Papa. Selain itu ia juga seorang pengacara atau penasihat di perusahaan milik keluarga Papa.
Duh, kok aku jadi mikirin cowok itu sih? Lebih baik rebahan di kamar aja daripada mikirin jodoh orang. Sudah satu jam lebih aku duduk sendirian di teras balkon. Ku putuskan untuk beranjak dari kursi lalu masuk ke dalam.
Ketika hendak menutup pintu, ku lihat mobil tadi keluar. Ku intip dari balik gorden, cowok itu menutup pagar, ada wanita tadi duduk di dalam mobil. Apa mereka sudah menikah, atau masih pacaran? Apa cowok itu pergi untuk mengantar ceweknya pulang?
Banyak pertanyaan berkecamuk di pikiranku.
Tumben banget aku jadi kepo-in tetangga depan rumah. Biasanya waktuku habis untuk selesaikan tugas kuliah yang menumpuk. Tak sempat memikirkan seorang cowok, apalagi untuk pacaran.
Oh-iya, apa kabar si cowok misterius yang sering chat itu? Sambil tiduran di tepi ranjang, ku buka layar hape. Ehh, benar saja ada satu pesan masuk dari aplikasi hijau.
"Jangan banyak melamun, entar cantiknya luntur loo!" tulis pesan itu.
Nah loo, dari mana dia tau kalau aku sedang melamun. Ungkapan "dekat di mata, dan dekat di hati itu," makin buatku penasaran.
"Dasar pengecuttt!" umpatku membalas pesannya.
Ku lemparkan hape ke samping tempat tidur. Begitu lihat jam di dinding, tak terasa sudah pukul sebelas malam. Pantasan mata ini mulai berat dan mengantuk.
Tak lama ku dengar suara kaki menaiki anak tangga, itu pasti Bunda dan Papa yang datang hendak masuk kamar. Begitu suara kaki sampai di lantai atas, suara pintuku di ketuk dari luar. "Zara! udah tidur, ya?" tanya Bunda.
Sengaja aku tak menyahut, biar di sangka udah tidur. Entah kenapa aku kesal aja malam ini. Sedang asik melamun di balkon, eeh ada pasangan so sweet turun dari mobil. Pakai acara lambaikan tangan, sengaja mengejek, rutukku kesal.
Derrtt ... derrtt ...
Baru hendak memejamkan mata, hapeku bergetar di sebelah bantal. Dengan malas ku lihat ke layar yang masih menyala. Nomor itu lagi, mau apa dia malam begini chat aku.
"Tidurlah! Jangan begadang terus, gak usah di pikirkan, nanti juga kamu tau siapa aku!"
"Kalau berani, tunjukan foto profil kamu! Jangan seperti banci, dasar pengecut!" makiku
"Eitss, cerewet banget! Pantasan betah menjomblo!" ledeknya.
Malam ini emosiku sudah memuncak. Hape yang tak salah hampir saja ku banting sebagai pelampiasan kekesalan ke cowok misterius itu
"Kalau berani temui aku!" tantangku.
"Kamu semakin cantik kalau sedang marah!" balasnya.
Cowok ini semakin berani membalas pesanku, apa ia seberani ini bicara, kalau bertemu langsung!?
******
Sejak kejadian malam duduk di balkon itu, kenapa aku jadi penasaran dengan status cowok tetangga depan rumah, ya. Setiap ada pesan masuk dari cowok misterius itu, selalu ku abaikan, hanya di baca, tak pernah ku balas. Pikiranku jadi fokus dengan cowok depan rumah. Teringat saat ia lambaikan tangan ke arahku.
Itu cowok kok iseng banget, ya? Padahal bawa cewek di sampingnya. Antara suka iseng dan playboy, beda tipis gaess. Sampai aku tunggu suara mobilnya pulang malam itu. Sekedar memastikan ia pulang ke rumah atau tidak.
Sekarang aku punya kebiasaan baru, senang duduk berlama-lama di teras balkon. Atau sekedar duduk di teras rumah, sambil melamun memandang ke arah rumah depan.
Sampai Bunda heran melihat perubahan sikapku, tak biasa seperti ini.
"Tumben rajin melamun, biasanya main hape melulu," sindir Bunda.
"Bosan juga main hape, Bund!" sahutku santai.
"Tuh sana, belajar masak atau buat kue dengan Mbok Nah!" saranku.
"Entar aja, kalau Bunda libur kerja!" jawabku.
Sambil bicara dengan Bunda, mataku tak lepas memandang ke arah rumah depan. Kira-kira pergi kerjanya jam berapa ya? Selesai sarapan tadi belum ku dengar suara mobil keluar dari rumah itu.
Bersambung ....