Bab 2.
Belakangan ini Tante Rosa, mantan istri Papa suka nyari gara-gara. Mungkin itu yang buat Bunda jadi kepikiran lagi. Sejak menikah dengan Bunda, Bang Rey dan Kak Mona, saudara tiriku ini, lebih milih tinggal bersama kami di bandingkan dengan mamanya sendiri.
Tak sengaja, aku melihat di dalam laci yang terbuka sedikit, ada selembar foto. Jiwa kepoku meronta, lalu foto tersebut ku ambil dan melihat wajah siapa di foto tersebut. Ternyata itu foto pernikahan Bunda dan Papa. Untuk apa Bunda pegang foto itu?
Suara gemericik air masih terdengar dari kamar mandi di sebelah kamarku. Harusnya Bunda mandi pakai air hangat. Aku tepuk jidat sendiri, karena lupa mengingatkannya. Tak lama terdengar suara pintu kamar di buka, kreeekk ... Bunda keluar memakai baju handuk model kimono.
"Zahra ke kamar dulu ya, Bund! Mau ambil dompet," ucapku.
"Oh-iya," sahutnya.
Ku masukkan hape dan dompet ke dalam tas kesayanganku berwarna pink nude. Hadiah ulang tahun dari Bunda setahun yang lalu. Padahal tasku banyak di lemari, tapi.aku lebih suka pakai tas pemberian Bunda. Simple dan warnanya itu, paforitku banget.
Tak lupa semprotkan parfum pemberian dari Papa, ketika pulang dari luar kota beberapa bulan yang lalu. Karena aku tau, Papa suka beliin oleh-oleh parfum untuk Bunda.
Alasannya biar kalau Bunda kangen Papa, tinggal semprotkan aja parfum itu ke ruangan kamar ini, jadi seolah Papa ada di sampingnya. Karena itu parfum paforit mereka. Memang yang paforit itu sulit untuk di lupakan.
Selesai berdandan, aku masuk kembali ke kamar Bunda. Ia sedang memakai hijab, ku lihat laci meja rias terbuka lagi, tapi fotonya sudah tak ada. Mungkin Bunda sudah menyimpannya. Tapi rasa penasaranku sulit di bendung lalu beranikan diri untuk bertanya
"Bunda ... sedang kangen, ya dengan Papa?" selidikku. Bunda menoleh ke arahku.
"Ihh ... sok tau, dehh!" sahutnya.
"Lagian, pakai acara demam segala sihh!" ledekku.
"Dosa-loo, kalau meledek bundanya!"
"Aihh, gak meledek, hanya bertanya Bundaku sayang," ucapku sambil mencium pipinya. Wajah Bunda langsung memerah.
Selesai beberes, kami pun turun ke lantai bawah dan segera minta di antar oleh Pak Dirman ke supermarket.
**********
"Pak Dirman ... antar kami ke supermarket di pusat kota, ya!" titah Bunda.
"Oh-oke, Bu," sahut Pak Dirman.
Bunda memberikan kunci mobil ke supir sekaligus sekuriti di rumah kami. Pak Dirman dengan sigap membuka pintu mobil untuk Bunda. Kalau aku tak payah di bukakan, bisa sendiri kok. Itu di lakukannya sebagai bentuk rasa hormatnya terhadap majikan atau istri Boss yang sudah mempekerjakan dia di rumah ini.
Setelah menutup kembali pintu pagar, Mbok Nah langsung menguncinya kembali. Oh-iya
hampir lupa, tadi sepulang dari kampus ada penghuni baru yang tinggal di depan rumah kami. Sepertinya kemarin penghuni rumah itu satu keluarga. Setelah itu mereka pindah, dan rumahnya di jual. Nah, tadi aku lihat ada mobil masuk ke halaman rumahnya.
"Bund ... rumah di depan kita itu , sudah ada yang menghuni, ya?" tanyaku.
"Hmm ... kamu lihatnya seperti apa?" Bunda malah balik tanya buat penasaran aja.
"Isssh, tinggal jawab sudah, atau belum aja, kok payah, sih!" sungutku.
"Hii ... hii, sudah dong! Papamu yang tunjuk rumah itu ke teman bisnisnya!"
"Oh-pantesan, jadi penghuninya kenalan Papa, ya, Bund?"
"Iya, tapi masih jomblo, paling umurnya hampir sebaya kamu atau lebih dikitlah," jelas Bunda.
Aku diam, lalu mencerna ucapan Bunda, tadi aku lihat hanya sekilas, ada cowok turun dari mobil terus membuka pagar kemudian masuk lagi ke dalam mobilnya. Sepertinya baru beberapa hari ini, dia menghuni rumah depan itu. Kalau memang jomblo, boleh juga tuh, untuk sekedar cuci mata, hii ... hii.
Sangkin asikknya melamun, mobil sudah masuk aja ke parkiran supermarket. Bunda menowel lenganku dan mengajak turun.
"Bentar Bund, tali sepatu Za lepas ini!" ucapku keluar dari mobil lalu berjongkok untuk mengikat kembali tali yang lepas.
"Makanya pakai pansus aja, seperti Bunda ini! No ribet-ribet," ucapnya.
"Ihhh, Bunda! Za itu sukanya gaya yang casual, cukup ke kampus aja pakai pansus!" omel-ku.
"Nah, itu jadi ribet! Entar gegara tali sepatu, kamu bisa jungkir balik loo," ledek Bunda sambil terkekeh.
"Yups, udah siap!" aku berdiri lalu mengekor Bunda masuk ke dalam supermarket.
Sore begini sudah nampak ramai, maklum-lah, namanya awal bulan. Istilah emak-emak itu "bulan muda." Kira-in umur aja yang muda, tapi bulan pun bisa muda ya, gaess. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mengambil troli untuk belanjaan.
Aku menggandeng tangan Bunda, kok tangannya terasa hangat. Duhh ... Bundaku sayang, sudah sering di tinggal ke luar kota, tapi masih saja merindukan bulan, ehh, Papa
"Biar Za yang dorong troli, Bunda pilih barang aja!" ucapku sambil meraih troli dari tangannya.
********
Setengah jam berkeliling memilih barang kebutuhan dapur. Bunda berhenti di depan stand minuman, sepertinya Bunda masih kelihatan pusing.
"Bunda haus, biar di buka aja langsung air mineral ini?" tanya-ku.
"Mbak, boleh di buka langsung, ya!" pintaku ke penjaga stand sambil ambil sebotol air mineral di rak minuman.
"Oh-boleh, tapi botolnya jangan di buang!" titah penjaga stand.
Aku membuka segel penutup botol, lalu menyuruh Bunda untuk minum. Untungnya di depan kasir ada beberapa kursi besi, untuk duduk menunggu antrian. Bunda langsung duduk di kursi tersebut.
"Bund, tunggu di sini, ya! Za mau pilih shampoo dan handbody!" pintaku.
"Iya," sahutnya.
Aku berjalan ke stand paling ujung, tadi ku lihat di sana stand bagian kosmetik. Ku lirik ke layar hape, sudah pukul lima sore, hmm, pantasan pengunjung semakin ramai. Kadang kalau lihat orang ramai begini, kepala memang suka tiba-tiba pusing.
Bagaimana tidak ramai, supermarket ini terkenal murah. Karena market terbesar di kota kami. Selisih harganya sudah tak di ragukan lagi di banding dengan market lainnya. Nah, itu stand kosmetiknya.
Aku memilih produk yang biasa ku pakai.
Kalau handbody tahan untuk dua bulan, begitu juga dengan shampoo. Hanya skincare yang agak boros. Belinya pun lewat online, order ke temanku. Ia reseller kosmetik. Hitung-hitung bantu teman dan berbagi rejeki-lah.
Setelah dapat apa yang di cari, aku kembali ke posisi Bunda duduk tadi. Dari jauh ku lihat ada beberapa orang sedang berdiri dekat kasir di sebelah Bunda. Aku percepat langkah kaki ini, karena mendengar suara orang sedang bicara dengan suara kuat.
"Hmm ... kamu! si pelakor, merebut suami dan anak dari ayahnya!" ucap wanita paruh baya sambil menunjuk wajah Bunda.
"Oh-Omaaa!" sapaku.
"Nah, kebetulan bertemu dengan kamu anak pelakor! Bilangin ke Bunda kamu itu, jangan racuni pikiran cucuku untuk membenci mama-nya!" cam-kan itu!" cecar si Oma.
"Oma jangan asal bicara ya, buat malu Bunda! Bang Rey dan Kak Mona itu udah dewasa, gak perlu di hasut, mereka bisa nilai sendiri mana yang baik dan buruk!"
"Dan satu hal lagi, Bunda-ku bukan pelakor!!! Mereka menikah setelah Papa sudah lama mendudaa!" ucapku lantang, biar semua yang ada di sini tau dan dia malu sekalian.
"Huhh ... anak sama Ibu sama aja," ucap si Oma dengan wajah memerah menahan malu. Ia pun pergi sambil menenteng bungkusan keluar dari kasir.
"Bunda gak papa, pusingnya gimana, udah enakan sekarang?" tanyaku khawatir. Bunda menghabiskan sisa air mineral di botol lalu masukkan lagi ke troli.
"Enggak papa, Sayang! Usah khawatir, Bunda udah biasa kok di omelin, sama Oma yang cerewet itu!" ucap Bunda.
"Kali ini, gak akan ada lagi orang yang bisa berucap kasar ke Bunda! Sekali pun itu Papa Za sendiri," ucapku sambil memeluk Bunda. Aku langsung menuju kasir untuk membayar belanjaan dalam troli.
Bersambung ....