Kehidupan Bagas Adi Saputra berubah tiga ratus delapan puluh derajat, sejak ayahnya menikah kembali. Hidup remaja delapan belas tahun itu seakan berantakan. Hari-harinya dipenuhi dengan rasa kesal lantaran ayahnya memiliki istri lagi yang mungkin tidak sesuai dengan angan Bagas. Bagas ingin kembali kepada ibunya, namun mana mungkin ayahnya mengizinkan Bagas untuk menetap di rumah kecil bersama ibu kandungnya itu.
Bagas berusaha untuk menerima keadaan. Dia tidak ingin menyerah apapun yang terjadi, namun hatinya tidak bisa dibohongi. Rasanya kesal menghadiri acara resepsi pernikahan ayahnya yang kedua. Orang tua Bagas harus bercerai karena ego dan juga visi misi yang sudah tidak sejalan lagi. Ini tidak seharusnya terjadi, mengingat usia pernikahan mereka sudah menginjak dua puluh tahun. Namun, apa boleh buat, jika ego sudah menguasai, cinta tidak dapat lagi berkata.
"Aku enggak usah ikut, ya, aku di rumah aja."
"Kok enggak ikut, sih, Mas? ini 'kan acara pernikahannya ayah Mas Bagas, jadi harus ikut merayakan kebahagiaannya juga."
"Tapi, 'kan, aku enggak bahagia, Bik, ngapain juga, sih, harus ikut? Nikah aja enggak pernah izin, nyebelin enggak, sih?"
"Pasti ada alasan kenapa Pak Surya tidak meminta izin pada Mas Bagas, mungkin saja ini adalah kejutan untuk Mas Bagas karena akan memiliki Ibu baru."
Bagas merasa konyol dengan sikap dan tingkah ayahnya yang menikah tanpa izin darinya. Bagaimanapun juga, dia masih anak kandung dari Surya Adi, kenapa juga menikah tanpa meminta restu anak semata wayangnya. Jika, meminta restu atau tidak meminta restu, tidak akan mengubah keadaan.
"Namanya bukan kejutan kalau nikah tanpa seizin aku. Lagi pula pernikahan itu bukan permainan, harus memiliki dewasa, dipikirkan matang-matang bagaimana kedepannya. Apakah istri ayah bisa menerima aku sebagai anak atau seperti apa? Harus mikir kayak gitu, 'kan, Bik?" Bagas tetap tidak sependapat dengan ayahnya yang menikah lagi.
"Sudahlah, Mas, sekarang untuk menghargai Pak Surya, Mas Bagas datang ke sana saja, enggak usah mikir yang macam-macam."
"Kalau aku datang ke sana, berarti sama dong kalau aku setuju dengan pernikahan ayah dan wanita itu, padahal aku enggak setuju."
"Terus Mas Bagas maunya gimana?" tanya Bik Surti sedikit bingung.
"Aku mau ke rumah mama Linda."
"Aduh, Mas, rumah mama itu 'kan jauh, pasti Pak Surya marah kalau ditinggal ke sana. Lagi pula ini 'kan hari bersejarah untuk Pak Surya. Jadi, saya pikir akan ada masalah baru."
Apa yang dikatakan bik Surti benar adanya. Namun, Bagas sudah terlanjur sakit hati karena ayahnya menikah tanpa seizinnya. Pergi ke rumah mamanya mungkin menimbulkan masalah baru, namun dia tidak peduli. Lebih sakit ketika harus ditinggal menikah tanpa seizinnya. Apa yang sudah menjadi keputusan Bagas harus dia jalani apapun risikonya, harus dia terima sendiri karena dia pikir sudah dewasa dan mampu untuk mengambil keputusan yang tepat.
Tanpa meminta izin ayahnya yang sedang sibuk menyiapkan resepsi pernikahan, Bagas pergi diam-diam menuju rumah mamanya. Dapat dipastikan jika Surya mengetahui kelakuan anaknya, dia akan marah bukan kepalang. Namun, seakan mengabaikan kemarahan Surya, Bagas tetap pergi sesuai dengan keinginan hatinya.
Bagas pergi menggunakan bus umum. Separuh perjalanan dia memutuskan untuk berhenti di depan toko bunga untuk membeli bunga tulip putih, sebelum ke rumah mamanya. Dengan buru-buru dia masuk ke toko bunga itu.
Melihat ada tulip putih, tanpa dia sadari, tidak sengaja Bagas meraih bunga yang sedang disentuh gadis yang mungkin juga ingin memilih bunga tulip putih itu. Bagas memasang wajah bingung. Begitupun dengan gadis itu juga kaget dengan tangan Bagas yang meraih bunga itu.
"Maaf, saya duluan yang pegang bunganya," ucap gadis itu dengan nada lembut.
"Tapi, saya yang meraih duluan, lagi pula tadi kamu masih menyentuhnya. Jadi, aku kira enggak dibeli, cuma dilihat aja."
"Seharusnya kamu tahu diri kalau bunga ini sudah hampir saya pegang, berarti bunga itu akan menjadi milik saya."
"Mbak, ini bagaimana, memang belum Mbak beli kok, ngaku-ngaku."
"Saya enggak ngaku-ngaku. Tapi, 'kan, memang benar, saya pengen banget beli bunga itu dan pasti saya beli."
Bagas dan gadis itu tidak ada yang mau mengalah. Mereka ingin menang sendiri dan mendapatkan bunga tulip putih itu. Tidak ingin mengecewakan mamanya, gadis itu bahkan akan membeli bunga itu dengan harga berkali-kali lipat.
"Saya akan beli bunga itu tiga kali lipat!"
"Saya lima kali lipat." Bagas tidak ingin kalah dengan apa yang gadis itu ajukan.
"Aduh, jadi gimana, saya kok jadi bingung?" Tanya penjual bunga tersebut lalu mengambil bunga yang ada di tangan Bagas dengan cepat.
"Kok diambil, sih, Pak? Langsung aja kasih ke saya, saya 'kan yang beli lima kali lipat, lagi pula bunga itu juga sudah di tangan saya," ucap Bayu tidak ingin kalah.
"Tidak bisa, seharusnya kamu ngalah, bahkan akan membelinya enam kali lipat."
"Tujuh kali lipat, tidak ada hubungannya laki-laki harus ngalah."
"Ladies first, dong!"
"Enggak akan pernah masuk hitungan kalau masalah membeli barang harus ladies first. Itu hanya untuk antri, jadi jangan harap saya akan menyerahkan bunga ini untuk kamu."
"Ini orang keras kepala banget, ya. Emang kepala kamu terbuat dari batu, apa? Aku udah hampir telat, aku harus berdebat hanya gara-gara bunga tulip putih. Di toko bunga ini ada ratusan bunga yang bisa kamu pilih sesuka hati kamu, kenapa harus tulip putih, juga?"
"Karena ini bunga kesukaan mama aku, kalau aku mau ke rumah mama berarti harus bawa bunga itu."
"Sama, ini juga bunga kesukaan mamaku, kalau aku datang ke acara spesialnya hari ini, berarti aku juga harus membawakan hadiah, yaitu bunga tulip putih. Jadi, aku harus mendapatkan bunga itu."
"Ini orang dikasih tahu kenapa sih nyolot banget," ucap Bagas dengan nada kesal.
"Kok nyolot, emang bunga ini, tadi aku yang nyentuh duluan."
"Menyentuh belum diambil, jadi bisa aja dong kalau cuma pengen tahu aja, enggak ada niatan beli."
"Sudah, sudah, jangan berantem, bunga tulip ini memang hanya tinggal satu. Kalau mau nunggu tiga jam lagi, bunga tulip putih akan datang," ucap penjual bunga dengan nada putus asa sambil mengembalikan tulip putih ke vasnya.
"Tidak, saya tidak bisa nunggu lagi!" Teriak Bagas dan gadis itu secara bersamaan.
"Bisa kompak, masa, sih, ngalah enggak bisa?"
Bagas dan gadis itu saling berpandangan, seakan ada sebuah ikatan yang mungkin akan menjadi suatu jalan untuk mereka bisa bertemu di kemudian hari. Tanpa mereka sadari karena asyik berdebat akhirnya bunga tulip itu malah diambil oleh orang lain dengan sigap. Wanita itu dengan santai mengambilnya sambil tersenyum ke arah Bagas dan seorang gadis yang sedang berantem.
Bagas yang melihat bunga tulip putih telah ada di tangan seorang ibu berusia empat puluh tahunan segera berteriak, "Itu bungaku, jangan diambil!"
Tanpa menghiraukan teriakan Bagas, ibu itu sudah membayar bunga tulip putih di kasir. Bagas dan gadis itu tidak mendapatkan bunga tulip putih yang mereka inginkan. Penjual bunga pun hanya tersenyum, dia puas. Apa yang diperdebatkan dua anak muda itu tidak mendapatkan hasil yang yang memuaskan.
"Kalau kamu enggak debat, pasti satu di antara kita bisa mendapatkan bunga itu. Dan kalau kamu mau menunggu lebih lama lagi, pasti enggak akan kayak gini masalahnya," ucap gadis itu dengan emosi.
"Kenapa jadi nyalahin, sih? Sekarang impas, kita berdua sama-sama nunggu bunga tulip putih itu tiga jam lagi." Bagas tersenyum sinis.
"Mending aku pergi, daripada nunggu sama kamu, orang yang nyebelin dan buat hari aku hancur," ungkap gadis itu, meninggalkan Bagas begitu saja."
"Terserah!" Teriak Bagas dengan nada kesal.
"Hanya karena bunga tulip putih mereka berantem. Saya pikir kalian nanti pasti bertemu lagi di kemudian hari," gumam penjual bunga sambil tersenyum ke arah Bagas.
***