Rossa mengetuk pintu kamar itu. Lantas gadis asing segera membuka kunci pintu kamar. Pintu terbuka, wajahnya ketakutan, membuat Rossa berpikir yang tidak-tidak.
"Kamu ini kenapa?" tanya Rossa kepada Bagas yang saat itu memasang wajah kaget seakan melihat sosok hantu ada di depan matanya.
"Yang seharusnya tanya kenapa itu aku, ini kamarku, kok jadi ada dia di sini? Lagipula siapa, sih, dia? dari sejak aku lahir ini juga jadi kamarku, bener 'kan?"
Bibi Surti yang ada di situ tidak bisa berkata-kata. Dia bingung ingin membela nyonya baru atau Bagas. Wajahnya tertekan, terlihat dari guratan di dahinya.
"Jawab dong, jangan diem aja!" Bagas mulai tidak sabar, dia terus menyuruh bibi Surti untuk buka suara.
"Mohon maaf, ya, Mas, sebenernya kamar ini sementara untuk Mbak Arum karena kamarnya Mbak Arum masih direnovasi. Kebetulan Mas Bagas kemarin juga ada di rumah sakit, jadi untuk sementara kamarnya dipakai."
"Kok enggak pernah ada yang ngomong?" Bagas merasa dibohongi akan hal itu.
"Emangnya perlu banget, ya, ngomong kalau aku untuk sementara tidur di kamar ini? Terlebih semua kamar aku pikir juga sama, apa istimewanya kamarmu? Aku juga belum pernah kok tidur di situ. Ini aku juga baru sampai, aku ke kamar mandi dan tiba-tiba kamu masuk, enggak sopan banget, ya?"
"Ya, enggak sopan siapa, yang tanpa izin makai kamarku siapa?"
"Itu Papa Surya yang suruh."
"Ayah yang ngasih izin, kok enggak pernah cerita sama aku, kalau tahu kamu yang makai kamar ini. Aku enggak akan pernah rela. Enak aja kamar aku dibuat sembarangan oleh orang asing kayak kamu."
"Orang asing, Ma? Jelasin, Ma, kok di sini bilang aku orang asing sih, dia enggak datang ke pernikahan mama. Dia yang sok jual cool dan sekarang dia bilang kalau aku orang asing, Ma, kasih tahu dong!"
"Sabar Sayang, kamu jangan marah-marah kayak gitu. Bagas, dia ini adalah Arum Kakakmu, kakak tiri, ya, walaupun kalian cuma beda tujuh bulan tapi setidaknya kamu anggap Arum sebagai kakak kamu, ya. Jadi, kamu jangan berantem hanya masalah kamar saja." Rosa mencoba menengahi kedua anaknya itu dengan lembut.
"Kakak tiri? Sejak kapan aku mau punya kakak tiri. Aku aja terima istri baru ayah itu sulit banget, kok bisa aku suruh manggil dia kakak, enggak pernah sudi dan satu lagi, ini kamar aku, tanpa seizin aku, siapa pun enggak boleh makai kamar ini." Bagas memasang wajah garang sambil memegangi perutnya yang kembali nyeri.
"Terserah, mau ngomong kayak apa, aku juga tadi terpaksa."
"Kalau gitu kalian semua keluar! Aku enggak mau lihat kalian. Aku mau istirahat!" Bentak Bagas dengan kasar kepada ada semua yang ada di kamar itu.
Arum, bibi Surti, dan Rossa segera meninggalkan kamar Bagas. Tanpa mau banyak bicara mereka pergi lantaran tidak ingin permasalahan semakin panjang dan melebar. Bagas buru-buru menutup pintu itu lagi lalu menguncinya. Di luar kamar, Arum memasang wajah sebal ketika melihat dan bertemu dengan adik tirinya itu, bahkan dia merasa tidak mau memanggil Bagas dengan sebutan adik. Dia tidak seperti adik yang lucu dan manis, dia mengerikan seperti monster.
"Pantas aja, orang jahat kayak gitu, ya, pasti dong Papa Surya itu enggak terlalu sayang sama Bagas. Itu anaknya, ngomongnya itu enggak bisa apa lebih sopan dikit, kasar banget, sih."
"Arum, kamu enggak boleh seperti itu, dia gimana pun juga adik tiri kamu. Dia mungkin masih kaget."
"Gimana, sih, Ma, udah enggak datang ke pernikahan Mama dan Papa, sekarang dia juga marah-marah di rumah ini. Ya, benar aja kalau dia itu sakit, biar kena batunya, kena azab."
"Bicaranya yang sopan, kenapa, sih, kamu? Jangan suka mengumpat kayak gitu, anak perempuan tidak boleh seperti itu."
"Saking sebalnya melihat sikap dia yang resek. Sok kaya lagi, ini di rumah papa Surya 'kan? Aku juga udah dapat izin waktu tinggal di kamar dia untuk sementara, bahkan aku juga baru datang hari ini."
"Mbak Arum, mohon maaf, ya, Mbak, sebenarnya mas Bagas itu tidak seperti itu. Anaknya itu baik, anaknya juga sabar, penyayang, tapi akhir-akhir ini saja agak pemarah." Bibi Surti mencoba memberikan penjelasan terhadap sikap Bagas yang terdahulu dan yang sekarang. Ada sedikit perubahan mungkin karena hubungannya bersama Surya semakin renggang.
"Iya, tidak apa-apa, saya juga tahu dari mas Surya kalau Bagas itu anaknya sebenarnya baik. Oh ya, Bi, jangan lupa, ya, nanti kalau masak tidak perlu diberi penyedap rasa dan juga masak bubur daging aja, ya, sepertinya itu yang Bagas suka. Soalnya waktu tadi di rumah sakit bubur daging yang saya buatkan dihabiskan oleh Bagas."
"Baik, Nyonya, kalau begitu saya ke dapur dulu."
"Iya, Bu, terima kasih, sebelumnya."
"Sama-sama."
"Ma, aku tuh enggak nyaman tinggal di sini. Aku tinggal di rumah lama kita aja, aku tinggal sendiri juga enggak apa-apa."
"Ya, jangan dong, mama 'kan jadi mikir yang macam-macam tentang kamu, kalau sendiri di rumah itu enggak ada yang jagain. Mama takut, di sini ada Mama, Bagas, ada papa kamu, ada sopir, ada banyak orang yang bisa mengawasi kamu."
"Emangnya aku senakal itu, yang harus diawasi?"
"Ya, bukannya nakal, tapi jarang pulang ke rumah aja kalau ada kegiatan di kampus."
"Namanya juga anak organisasi, Ma, oh ya, Ma, aku mau istirahat di kamar mama aja. Aku masih risih, takut aja malah jadi mimpi buruk gara-gara ketemu adik tiri yang kurang ajar itu."
"Iya, ayo!"
Rossa dan Arum bergegas ke kamar utama rumah itu. Arum masih dongkol kepada adik tirinya yang tidak bisa meminjamkan kamarnya untuk sesaat. Perlakuan Bagas yang kasar membuat Arum percaya jika Bagas memang bukan anak yang baik-baik. Butuh sesuatu yang ekstra untuk bisa menghadapi anak dengan tingkat resek seperti itu.
"Ma, Bagas sakit apa, sih, kok dia di rumah sakit kemarin?"
"Mama juga enggak paham, kata papa kamu ada masalah di perutnya, tapi mama tidak tanya lebih jauh lagi, takut saja malah menyinggung atau seperti apa. Yang terpenting kita jaga bersama, kita lihat saja ke depannya."
"Iya, semoga dia baik-baik saja."
"Kalau kamu di depan Papa Surya, jangan bilang kalau anaknya itu kena azab, kamu kutuk, kamu umpat, yang macam-macam, pasti nanti Papa Surya bisa marah."
"Iya, Ma, maaf tadi itu aku emosi banget. Soalnya 'kan dia tuh kayak menganggap remeh kita, jadi aku enggak mau kayak gitu. Aku enggak terima."
"Iya, mama paham. Sudah, ya, kamu harus segera baikan sama dia, sesegera mungkin. Bagaimanapun juga, dia juga adik tiri kamu, kamu harus bisa menjaganya dengan baik."
"Seandainya dia seperti Nino, pasti aku sayang banget sama dia."
"Jangan, sebut nama itu lagi!"
"Tapi, Ma."
"Lupakan!"
***