Chereads / My Love is Different / Chapter 10 - Khawatir Berlebih

Chapter 10 - Khawatir Berlebih

Bagas menyeka cairan merah yang terus keluar dari hidungnya. Pening di kepalanya segera muncul. Entah mengapa tiba-tiba saja kepalanya terasa sangat berat. Arum yang melihat kondisi adik tirinya hanya bisa diam beberapa saat sebelum kemudian memberikan pertolongan untuk Bagas.

"Enggak apa 'kan?"

"Lihat apa ini, terus keluar, aku enggak boleh kena benturan, aku udah sakit."

"Kamu ngomong apaan, sih? aku juga enggak sengaja tadi ngeremnya."

"Aku udah bilang enggak usah ngebut, kamu malah kasih kecepatan di atas rata-rata. Sekarang, jadinya kayak gini kan, kalau ayah tahu pasti akan marah banget aku. Mau aku dimarahin lagi? emang hobi banget, ya, bikin aku sengsara."

Bagas terlihat sangat emosi ketika mengetahui ada masalah di hidungnya dan terus mengeluarkan cairan merah segar itu. Benar adanya Arum tidak bisa berkata-kata. Ini memang kesalahannya yang tidak disengaja, namun Arum tidak pernah berpikir bisa separah itu dengan adik tirinya. Arum takut jika nanti sesuatu pasti papa Surya akan marah kepadanya, karena tidak bisa menjaga Bagas dengan baik.

"Terus sekarang apa yang harus aku lakukan? Ngomong dong Bagas! Kamu jangan kayak gini."

Bagas terus memasukkan tisu ke dalam lubang hidungnya secara bergantian. Bagas berusaha menghentikan cairan itu, namun usahanya ternyata sedikit sia-sia lantaran cairan itu terus mengalir dengan cukup deras.

Tidak mendapatkan jawaban dari adik tirinya, Arum segera menelpon mamanya. "Halo, Ma, Mama, ada di mana?"

"Di kantor, ada apa? Jangan panik kayak gitu."

"Sekarang mama ke jalan Pemuda nomor 43, Aku ada di situ, Ma."

"Kamu ngapain di situ?"

"Ceritanya panjang banget, pokoknya ini gawat banget. Bagas, Bagas," ucap Arum terbata-bata untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Arum kamu itu harus lebih pelan, tenangkan diri kamu, bicara yang baik, jangan tergesa-gesa."

Rissa belum mengetahui permasalahan yang sebenarnya terjadi kepada putrinya. Rossa bingung kenapa Arum berbeda. Dia terlihat takut dan sangat panik. Rossa tidak pernah berpikir jika terjadi sesuatu yang sangat menghawatirkan kepada anak tirinya itu.

"Ada insiden, tadi aku ngerem mendadak dan tiba-tiba hidung Bayu itu membentur ke jok mobil, terus aku enggak bisa cerita, Ma, aku terlalu takut."

Mendengarkan ucapan putrinya memang benar adanya jika Arum terdengar sangat ketakutan. Rossa mencoba menenangkannya lalu memberikannya solusi. "Tenang, jangan ke gabah, ya, Arum, sekarang kamu telepon ambulans aja biar segera jemput kalian di lokasi itu. Mama enggak mungkin bisa datang sekarang juga karena sebentar lagi ada meeting. Kamu paham?"

"Iya, aku paham, Ma."

"Mama tegaskan di sini, kamu itu sudah dewasa kamu sebagai seorang kakak kamu harus bisa menjaga adikmu dengan baik dalam segala situasi dan kondisi jangan panik duluan, oke? Kamu bisa 'kan ngerti ini?"

"Ya, aku bisa, Ma," sahut Arum dengan cepat.

"Tolong lakukan tadi apa yang sudah mama perintahkan ke kamu. Satu lagi, kamu tidak perlu takut dimarahi oleh papa Surya karena jika memang itu tidak disengaja, pasti papa Surya akan memahaminya dan akan memaafkan kamu, jadi jangan takut. Sekarang fokus ke Bagas!"

"Ya, Ma, aku matikan dulu ya telepon ini, aku segera telepon ambulans."

"Iya sayang, lain kali hati-hati ya, mama meeting dulu."

"Ya, Ma, maafin aku ya, udah bikin mama jadi bingung."

Arum segera mematikan panggilan ke mamanya lalu menghubungi pihak ambulans untuk meminta bantuan guna mendapatkan pertolongan untuk adik tirinya.

"Enggak usah panggil ambulan!" teriak Bagas dari dalam mobil.

"Kamu udah enggak apa-apa?"

"Enggak masalah kita pulang aja, obat aku udah di rumah."

"Kalau masuk rumah sakit bakal masalahnya lebih serius, lebih parah, ayah bisa marah kamu, mau kena omel pria itu?"

"Tetap, ya, enggak sopan banget manggil papanya kayak gitu."

"Terserah, yang penting sekarang kita pulang aja, cepetan!"

Mau tidak mau Arum harus mengikuti apa yang Bagas inginkan. Dia tidak jadi menghubungi ambulans sesuai dengan arahan mamahnya. Arum segera mengemudikan mobil untuk dibawahnya pulang ke rumah. Selama perjalanan pun tidak ada obrolan dari mereka. Bagas membaringkan tubuhnya di jok penumpang berharap semua akan baik-baik saja sampai di rumah.

"Aku boleh tanya sesuatu enggak? Arum memberanikan diri untuk mulai mengintrogasi adik tirinya itu.

"Kenapa?"

"Kamu tuh sakit apa sih, kayaknya itu dari kemarin lemah banget, udah kamu enggak boleh makan ini, enggak boleh makan itu, sekarang kamu mimisan kayak gitu, aku jadi mikir yang enggak-enggak deh."

"Seharusnya kalau kamu mau jadi kakak tiri yang baik kamu harus cari tahu sendiri tentang kondisiku. Kamu seharusnya tahu tentang bagaimana diriku, enggak perlu kamu tanya kayak gini," papar Bagas memberikan alibinya, dia tidak ingin menceritakan kondisi dirinya yang sebenarnya.

"Emang susah, ya, ngomong sama batu. Enggak ngomong, salah ngomong pun juga salah." Arum mengakhiri cekcok mereka dengan nada sindiran.

Pajero hitam telah sampai di halaman rumah Surya lalu Arum cepat-cepat turun dari tempatnya mengemudikan mobil. Dia pun membukakan pintu Bagas dan membantunya turun dari mobil dengan hati-hati. Bercak merah di kaosnya cukup banyak. Arum sedikit ketakutan, namun dia berusaha untuk memposisikan diri sebagai kakak yang melindungi adiknya, jadi tetap harus tenang dan mampu mengendalikan situasi."

Bibi Surti yang mengetahui Bagas dalam kondisi tidak baik-baik saja segera membantunya untuk memapah guna mendapatkan pertolongan. "Aduh, ini kenapa lagi, kok seneng banget, ya, bikin masalah kayak gini, nanti kalau Tuan marah gimana?

"Jangan bicara sama ayah dong, Bi. Tolong, ambilin obat aku di kamar, ya."

"Iya, Mas," ucap bibi sambil buru-buru ke kamar majikan untuk mengambilkan obat.

Arum berdiri seperti patung menatap Bagas yang membersihkan bekas cairan merah itu yang masih sedikit menempel di wajahnya.

"Bagus, deh, kamu enggak bantu aku, kalau bantu malah bikin repot."

"Kok bisa yang ngomong kayak gitu, aku tuh bukan enggak mau bantu, takut aja nanti tiba-tiba salah dan terjadi sesuatu malah lebih parah. Aku nanti yang bakal disalah-salah kan, aku ngomong lah ini juga bukan salahku."

"Ini, Mas, obatnya, ini Mas minumnya." Bi Surti segera memberikan beberapa botol mini berisi obat milik Bagas dan segelas air mineral.

"Makasih, Bi," ucap Bagas lalu segera meminum obat itu dengan bantuan air mineral yang diberikan Bibi Surti. Setelah obat itu telah masuk ke dalam perutnya. Bagas memiliki satu permintaan agar semuanya bisa menjaga rahasia tersebut. "Jangan, bilang sama ayah kalau hari ini ada masalah dengan ku, nanti ayah bisa marah lagi, ngerti enggak?"

"Iya, Mas, saya ngerti."

"Itu yang berdiri terus, kamu ngerti enggak, sih, kalau aku ajak ngomong?"

"Iya, aku bakal tutup mulut," sahut Arum dengan ketus.

***