Pulang kerja Rossa tidak ada pilihan lain kecuali langsung pulang ke rumah. Lantaran yang pada awalnya dia ingin berbelanja untuk membeli beberapa bahan makanan harus ditunda. Hal itu dia lakukan hanya untuk bisa cepat kembali ke rumah dan bertemu kedua anaknya.
Sesampainya di rumah, dia segera mencari Arum dan juga Bagas. Dia ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. Bagas terlihat tertidur di sofa ruang tamu, ada Arum juga yang duduk di samping adik tirinya itu. Melihat ada Rossa yang sudah datang, Arum segera bangkit dari tempatnya terduduk dan mengadu ke mamanya.
"Mama?"
"Apa yang sebenarnya terjadi? kamu cerita ke mama, ya, itu Bagas tidur kok enggak di kamar aja, sih?"
Arum menarik tangan kanan Rossa untuk ditarik masuk ke kamar pribadi milik mamanya. Di sana Arum segera menutup pintu agar tidak ada yang mendengarkan percakapan mereka. Arum terlihat sangat takut dan gugup, tidak seperti biasanya.
"Kamu kenapa, enggak usah takut, semuanya itu dijalani bukan untuk ditakuti."
"Ma, tadi itu serem banget, aku sama Bagas berencana mau pergi ke toko buku buat beli perlengkapan ospeknya Bagas dua hari lagi. Tiba-tiba aja ada sesuatu yang buat aku ngerem mendadak. Aku enggak paham, tahu-tahu aja hidung Bagas membentur jok kemudiku dan cairan merah segar banyak banget yang keluar."
"Sudah, lah, namanya juga musibah tidak ada yang mengetahuinya. Sekarang Bagas juga sudah baik-baik saja, kamu tenang aja kalau ditanya papa, ya, jawab sejujur mungkin. Jangan berbohong!"
"Tadi Bagas bilang, kalau aku dan Bibi harus tutup mulut. Jangan sampai papa Surya tahu karena pasti bisa murka, bagaimana menurut Mama?"
"Iya, kalau itu yang Bagas mau, ya, sudah, lakukan. Mama juga enggak akan kok kasih tahu papa Surya, itu kan urusan kalian. Mama berusaha untuk menjadi penengah saja tanpa mendukung kamu ataupun Bagas. Kayak gitu kalau harus bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Ini cara mama mengajarkan kepada kamu tanggung jawab."
"Ya, Ma, aku akan berusaha lebih baik lagi dan aku akan berhati-hati lagi di kemudian hari." Janji Arum pada dirinya sendiri.
"Oke, mama pegang janji kamu. Sekarang kamu bersih diri biar terlihat lebih segar dan cantik," ucap Rossa berusaha memberikan semangat untuk putrinya agar tidak takut dalam permasalahan yang sedang dia alami.
Arum membuka pintu kamar Rossa, lalu ke luar. Dia berjalan menuju kamar mandi, di seperempat perjalanan dia melihat ke arah Bagas yang tengah tertidur di sofa ruang tamu. Pikirannya melayang entah ke mana. Masih ada bercak merah di pakaian Bagas itu. Sudah dapat dipastikan, jika papa tirinya pulang, dia akan terkena banyak omel. Namun, Arum yakin bisa menghadapi satu per satu masalah yang datang kepada dirinya.
"Halo," Rossa mengangkat panggilan yang masuk di ponselnya.
"Maafkan aku, ya, hari ini aku tidak bisa pulang karena lembu, aku mungkin tidur kantor."
"Sayang, kamu harus jaga kesehatan, ya, kalau memang kamu enggak pulang, enggak apa-apa perlu aku kirim makan malam untukmu?"
"Tidak, tadi anak-anak sudah pesan makanan dari luar. Jadi, kamu enggak usah repot-repot datang ke sini," ucap Surya tidak ingin istrinya kerepotan mengurusnya.
"Kalau itu yang kamu mau, enggak apa-apa, aku malah senang."
"Anak-anak di rumah gimana? ada masalah lagi enggak? soalnya aku lihat Arum dan Bagas masih belum bisa terlalu bersatu satu sama lain."
Rossa ingin bercerita tentang musibah yang tadi terjadi kepada anak mereka, namun mengingat ucapan Arum yang disuruh Bagas untuk tutup mulut, akhirnya dia tidak jadi menceritakan kejadian itu kepada suaminya. Dari masalah mereka akan bisa baik-baik saja kalau saling memaafkan. "Jika, ada masalah, hal itu sudah biasa, namanya juga adik kakak, pasti ada saja yang mereka ributkan, kamu tidak perlu khawatir, ya."
"Syukurlah, aku pikir memang wajar namanya juga saudara pasti ada aja masalah yang dibahas, tapi sejauh ini aku bangga padamu kamu selalu bisa memposisikan diri sebagai penengah untuk anak-anak."
"Bukankah itu kewajiban seorang ibu?"
"Aku memang enggak pernah salah pilih, ya, pilih kamu sebagai istriku. Kenapa aku tidak mengetahuinya waktu aku masih berusia dua puluh tahunan, kenapa baru sekarang, jadi nyesel."
"Kita tidak ada yang mengetahui bagaimana jalan hidup, sudahlah, jangan pernah menyesali yang sudah terjadi, malah bikin sakit di hati," ucap Rossa dengan lemah lembutnya.
"Terima kasih, ya, oke, gitu aja, aku titip anak-anak. Oh, ya, jangan lupa bilang ke Bagas obatnya diminum dengan teratur dan makanannya tolong diperhatikan. Jangan diberi makanan yang terlalu kasar, perutnya masih belum terlalu baik untuk menerimanya."
Rossa masih bingung kenapa perlakuan Surya ke Bagas begitu spesial dan istimewa. Surya sangat menakutkan terjadi hal buruk kepada putranya itu. Di sini rasa ingin bertanya hal sebenarnya tentang Bagas itu menderita sakit apa mulai muncul lagi. Namun, Rossa mengurungkannya, dia takut malah akan menyinggung suaminya, itu lebih baik. Rossa memendam untuk mengetahuinya dengan caranya sendiri.
"Oke, hati-hati, ya, sayang, selamat bekerja lembur," ucap Rossa memberikan semangat kepada suaminya yang saat itu tengah lembur.
"Oke, istriku, sayang mama."
Klik.
Panggilan itu telah berakhir. Rossa meletakkan ponselnya di atas meja rias. Dia menatap dirinya di cermin rias. Wajahnya yang tidak lagi muda, namun masih tetap cantik lantaran innerbeauty yang selalu dipancarkan. Kebaikan-kebaikan Rossa kepada semua orang membuat Rossa terlihat sangat cantik dan anggun. Sejauh ini rasa bersyukur memiliki keluarga baru yang bisa menerimanya dengan baik, walaupun anak tirinya masih dalam tahap belajar untuk menerimanya. Itu bukan masalah untuk Rossa, semua ada proses dan semua akan menunjukkan hasil sesuai dengan proses yang dijalani.
"Bibi Surti?"
"Mas Bagas, udah bangun, tadi saya buatkan air hangat, Mas. Kalau mau mandi nanti saya bawa air hangatnya ke kamar mandinya Mas Bagas di kamar atas."
"Bibi tahu aja, ya. Aku bangun emang mau mandi, aku udah cukup baik, dan aku mau mandi biar enggak kayak gembel gini."
"Saya lihat hidungnya Mas Bagas tidak terlalu terlihat kalau tadi habis terbentur dan mimisan. Jadi, saya pikir nanti kalau pak Surya pulang pasti enggak ada masalah."
"Iyalah, kalau gitu aku mandi dulu, ya, Bi, tolong bajuku ini nanti dicuci terpisah, biar enggak ada bukti merah lagi di kaosku."
"Ya, Mas. Bibi Surti segera menuju dapur untuk mengambil air hangat yang sudah dia siapkan untuk majikan kesayangannya itu, lalu membawakannya menuju kamar mandi di kamar Bagas di lantai dua.
"Gas!" Panggil Rossa seketika menghentikan langkah Bagas.
"Kenapa?"
"Tadi ayah kamu pesan dia tidak bisa pulang karena ada lembur, jadi dia titip kamu ke mama. Kamu sudah baik-baik saja 'kan?"
"Aku udah lebih baik, ada masalah?"
"Syukurlah, kamu mau makan malam apa, biar mama masakan." Rossa mencoba akrab dengan putra sambungnya itu.
"Enggak perlu, masih ada kok bubur di kulkas nanti bisa dipanaskan terus aku makan," jawab Bagas dengan ketus.
"Ya, sudah, kalau kamu mau mandi segera mandi, ya. Kalau ada apa-apa kamu langsung panggil mama," ucap Rossa mencoba memberikan rasa aman untuk putra tirinya itu.
Bagas hanya membalasnya dengan senyum tipis. Dia beranjak menaiki tiap anak tangga untuk sampai ke kamarnya yang ada di lantai dua. Rossa tidak bisa berbicara lebih jauh lagi kepada anak tirinya lantaran masih belum ada kemistri di antara mereka.
"Kapan, ya, aku bisa untuk mendapatkan hati Bagas biar dia tidak selalu marah?" Rossa berharap tetap kuat, Rossa merenungkan pada dirinya sendiri.
***