"Sejak kapan aku pingsan?" tanya Bagas setelah dia kali pertama membuka mata dan melihat Arum duduk di sampingnya.
"Bagas, kamu udah siuman? Enggak apa-apa 'kan? Kalau kamu masih sakit, istirahat aja dulu." Terlihat Arum sangat perhatian kepada adik tirinya itu.
"Aku enggak apa-apa, cuma agak sebal. Kenapa, sih, mereka enggak pernah percaya kalau aku sakit, jadi kayak gini 'kan, malu-maluin aja."
"Tadi aku udah bilang ke Yoga dan Andi, seharusnya sebagai ketua panitia dan juga ketua BEM universitas, ya, harus bisa mengambil tindakan, jika ada salah satu calon mahasiswa yang sakit. Harus segera mendapatkan penanganan, bukan malah dipikir lagi bercanda." Arum meluapkan segala kekecewaannya.
"Kenapa juga kamu perhatian sama aku? Kenapa enggak pernah bilang, sih, kalau ternyata kita satu kampus? kalau tahu gini, aku enggak mau kuliah di sini."
"Kok jadi kamu yang nyolot, sih, Gas? Bagaimanapun juga kamu itu adalah adik aku, walaupun adik tiri. Sebagai kakak, aku selalu berusaha memahami, tapi kamu tuh, enggak pernah tanya selama ini, aku kuliah di mana. Jadi, ngapain juga aku kasih tahu kamu, kalau aku kuliah di kampus ini dan kamu juga enggak pernah bilang 'kan, kalau kamu kuliah di sini. Kita bertemu dan entahlah, aku enggak bisa lagi berpikir kenapa kamu bisa bersikap dingin dan aneh kepada orang-orang yang ada di rumah?"
"Sebaik apapun kamu denganku, aku enggak akan pernah bisa baik dengan kamu, Arum! Asal kamu tahu, ya, orang yang masuk di dalam keluargaku, itu aku benci karena aku pikir mereka semua adalah penyebab kenapa ayah dan mamaku bercerai."
"Percuma, ya, aku baik sama kamu. Tapi, kalau kamu mikirnya kayak gitu, nyesel tahu!"
"Siapa suruh baik sama aku, enggak ada yang nyuruh 'kan? Kamu aja yang sok baik biar bisa terlihat."
"Ya, udah, kalau kamu maunya kayak gitu, aku tinggalin kamu sendiri di sini. Aku enggak mau ngurusin kamu, percuma!" ucap Arum setelah dia mendengar Bagas tidak begitu menyukai dirinya dan mamanya, Arum lantas pergi meninggalkan Bagas yang masih lemah di ranjang klinik.
Bagas tidak menyesal mengucapkan kata-kata tersebut. Hatinya terlalu dongkol untuk bisa menahannya. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Hubungan Marina dan Surya hancur karena suatu sebab yang tidak bisa dijelaskan oleh Surya, lantaran ingin menjaga privasi Bagas. Namun, Bagas tidak memahaminya, malah terus menyalahkan Rossa dan Arum yang hadir dalam kehidupannya.
"Arum!" panggil Dina sahabatnya setelah melihat Arum ke luar dari klinik.
"Kenapa, Din?"
"Anak-anak lagi nyariin kamu, gimana kondisinya si Bagas?"
"Ya, udah baikan, bentar lagi juga dijemput sama orang tuanya."
"Jadi, kamu kenal sama Bagas?"
"Kenal, sih," ucap Arum menjeda kalimatnya, "udah, yuk! kita langsung aja ke sana, ketemu anak-anak yang lain."
"Aneh, deh," ucap Dina mengikuti langkah kaki Arum untuk menuju ke ruang BEM universitas.
Di ruang BEM universitas, Arum sudah ditunggu oleh Yoga juga Andi dan semua panitia yang lain. Mereka ingin mengetahui kondisi sebenarnya dari Bagas dan juga mungkin ingin mengetahui apa status antara Bagas dan Arum. Mengapa mereka sangat dekat? Padahal semua mengetahui, jika Arum adalah kekasih dari Yoga.
"Semua udah kumpul?" tanya Yoga kepada seluruh anggota sebelum membuka rapat mendadak itu.
"Sudah," sahut semua anggota BEM yang ada di ruangan.
"Oke, aku di sini ngumpulin kalian karena aku mau tanya apa yang sebenarnya terjadi pada si Bagas. Karena rasanya janggal banget tiba-tiba dia sakit, pingsan, dan bikin heboh satu kampus ini," ucap Yoga tanpa memberikan muqaddimah pada rapat singkat dan mendesak itu. "Oke di sini kita langsung saja, ketua tim, ada Andi, silakan dijelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada anggota kamu yang tiba-tiba pingsan itu."
"Terima kasih, ketua, atas kesempatannya. Aku sebagai ketua dari anggota tim di sini jelas kaget, kenapa tiba-tiba salah satu anggota bisa pingsan? Iya, emang dari awal dia bilang kalau sakit, tapi aku enggak percaya, sih, karena masa iya, sih, ada cowok yang sakit? Dan aku pikir dia itu cuma mau enaknya dong, enggak mau ospek dan enggak mau ngerjain tugas. Tapi, aku salah, tahu-tahu dia beneran pingsan." Andi memberikan penjelaskan versi dirinya.
"Seharusnya kalau kayak gitu, kamu itu langsung ambil tindakan. Enggak malah diem aja," sahut Arum yang saat itu langsung ikut berbicara tanpa dipersilakan dan meminta izin kepada Yoga, sang pimpinan rapat, ketua BEM universitas.
Semua mata tertuju kepada Arum yang tiba-tiba saja ikut berbicara dalam forum itu, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Rasanya memang ada tendensi yang kuat antara Arum dan Bagas. Hal ini membuat semua anggota BEM menjadi sedikit bingung dengan situasi dan kondisi tersebut.
"Mohon maaf, siapa yang nyuruh kamu untuk berbicara?" tanya Yoga sebagai pimpinan rapat siang itu.
"Mohon maaf sebelumnya, aku memang keliru berbicara tanpa meminta izin terlebih dahulu, tapi memang benar adanya, kalau ada anggota ataupun calon mahasiswa ataupun kita semua yang bilang sakit, ya, udah, kita harus bisa menerima dan kita harus bisa memberikan pertolongan terbaik. Bukan berarti kita mengabaikan dan menganggap dia itu hanya berpura-pura. Terlebih, aku tahu dari beberapa teman Bagas, kalau beberapa kali si Bagas ini sudah bilang kalau dia lagi sakit dan minta obat yang ada di tasnya, tapi Andi tidak menghiraukan. Terus Bagas juga meminta tolong kepada ketua BEM, yang terhormat, Yoga, tapi juga tidak menghiraukan."
Arum dengan lantang mengutarakan semua fakta yang terjadi di lapangan. Arum sebal ketika mengetahui, jika Bagas sudah meminta tolong, namun tidak ada yang menghiraukan. Arum membuka semua kedok anggota dan juga ketua BEM yang bersikap apatis kepada calon mahasiswa baru.
"Jangan asal bicara kalau tidak tahu bukti dan faktanya," sahut Andi yang mulai tersulut emosi mendengarkan tuduhan dari Arum.
"Bukti dan fakta apalagi yang harus aku bicarakan, atau aku perlu manggil para saksi untuk bilang di sini, kalau kalian itu memang apatis."
"Sudah, sudah, jangan berantem. Ini bukan waktunya kita untuk berdebat, tapi untuk kedepannya kita harus seperti apa. Jangan sampai Bagas itu bilang ke penanggungjawab ospek atau dosen ataupun rektor tentang masalah ini. Kita bisa dapat skorsing karena mengabaikan kesehatan dari calon mahasiswa baru." Yoga memberikan pemaparan dan pemahaman kepada teman-temannya agar kejadian tersebut tidak terulang kembali.
Sekalipun Arum kecewa dengan sikap Bagas, namun jika di depan Yoga dan teman-teman yang lain, dia membela Bagas dan harus mendapatkan perlindungan atas hal itu. "Apa dengan begitu kita bisa lepas tanggung jawab? Seharusnya Yoga dan Andi itu minta maaf kepada Bagas secara langsung karena kalian itu yang terlibat dalam masalah ini."
"Asal kamu tahu, ya, Arum, aku itu yang ngambil obatnya di tas, setelah itu dia pingsan."
"Iya, kamu yang ambilin obat tapi terlambat, ya, akhirnya hal fatal pun terjadi, Andi."
Andi sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Dia diskakmat oleh Arum. Tanpa rasa takut, Arum berbicara yang sebenarnya terjadi. Dia tidak peduli dengan teman-temannya, yang terpenting Bagas mendapatkan keadilan.
"Kenapa kamu sangat berambisi untuk membela Bagas? Memang apa hubunganmu dengan Bagas?" tanya Yoga yang mulai jengkel melihat tingkah kekasihnya itu.
***