Chereads / My Love is Different / Chapter 18 - Kesabaran Ibu Tiri?

Chapter 18 - Kesabaran Ibu Tiri?

"Ya, memang Bagas itu adik tirinya Arum, jadi pasti Arum akan membelanya mati-matian."

"Aku malah baru tahu dari kamu, Ga, kalau Arum punya adik tiri, aku kira selingkuhannya pacarmu. Aku pikir juga seperti itu, ada sebuah rasa ikatan saudara yang mana Arum itu akan membela adiknya."

"Sudahlah Andi, aku capek kalau bahas masalah itu."

"Iya, aku tahu, gara-gara masalah itu, semua orang menilai buruk kepada kita."

"Udah, enggak perlu dipikirin, yuk kita lanjutin tugas!"

"Berangkat!"

***

"Terima kasih, ya, sudah menangani anak saya, semoga Bagas bisa cepat sembuh."

"Iya, sama-sama, saya harap Bagas segera mendapatkan perawatan yang lebih baik."

"Maksud dokter apa, ya?"

"Ya, saya pikir kondisi perutnya ada masalah di bagian lambung, yang saya tidak bisa menyebutkan lebih rinci karena saya bukan dokter penyakit dalam. Seharusnya ibu membawa Bagas ke dokter spesialis penyakit dalam biar jelas penyakit yang diderita Bagas itu apa."

"Iya, nanti akan segera saya urus, sekali lagi terima kasih, ya, Dok."

"Sama-sama, sudah kewajiban saya."

"Ayo, Gas, permisi, Dok."

"Silakan."

Rossa menuntun putra sambungnya itu dengan sabar. Dia seperti mama kandung untuk Bagas, namun di sini Bagas tidak bergeming dan tidak berucap sepatah kata pun. Dia masih dongkol dengan hari-harinya yang buruk, terlebih ketika dia sakit, kenapa harus Rossa yang selalu merawatnya? Tidak sepantasnya hal itu terjadi, Bagas ingin Marina yang merawatnya.

Rossa membukakan mobil lalu Bagas duduk di jok penumpang. Wajahnya pucat, Rossa ingin membawa Bagas ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang lebih lanjut, tetapi Bagas menginginkan segera pulang dan istirahat di rumah.

"Pulang saja, tidak perlu ke rumah sakit. Aku juga sudah punya obat nanti kalau kita ke rumah sakit tanpa ayah, pasti dia marah."

"Iya, mama pikir juga seperti itu, tapi mama telepon ayah kamu dulu, ya?"

"Ma!" Teriak Arum dari arah lapangan basket.

"Iya, sayang," sahut Rossa dengan cepat.

"Mama udah bawa Bagas?" tanya Arum sambil melihat ke arah jok penumpang yang saat itu kaca mobilnya masih terbuka. Terlihat Bagas memejamkan mata seperti menahan sakit.

"Iya, mama mau bawa ke rumah sakit, tapi Bagas enggak mau. Dia mau ke rumah sakit sama ayahnya, jadi mama langsung pulang, ya."

"Oke, Ma, oh, ya, kayaknya enggak perlu terlalu baik dan sama dia. Dia aja kayak enggak pernah menganggap kita ada, kenapa juga kita baik kepada orang yang seperti?"

"Arum, jangan seperti itu kalau bicara, bisa menyinggung perasaan orang lain. Kita itu harus baik kepada siapapun, tidak boleh melihat orang ini seperti apa dan bagaimana latar belakangnya. Baik kepada semua orang itu tujuan hidup, kamu harus ingat itu. Mama takut kalau kamu keceplosan ngomong gitu di depan Papa Surya, kamu bisa dimarahi."

"Iya, Ma, aku enggak akan ngulangi lagi kok, ya, udah, Mama hati-hati, ya!"

"Iya, sayang, semoga hari kamu menyenangkan, bye!"

"Bye, Ma!"

Rossa naik ke jok kemudi lalu menutup pintu dan menyalakan mesin, pergi meninggalkan parkiran kampus siang itu. Rossa mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia ingin segera bisa sampai ke rumah dan putra sambungnya bisa segera istirahat.

"Bagas, kamu mau makan apa? kita bisa mampir dulu untuk beli sesuatu?"

Tidak ada jawaban dari jok penumpang. Bagas diam Tanpa menggubris pertanyaan dari mama tirinya itu. Namun, Rossa tetap sabar menghadapinya.

Rossa tidak habis akal. Dia kembali mengulangi pertanyaannya, "Kamu suka makanan apa, ya? kalau memang enggak mau beli biar mama masakin, kebetulan hari ini mama masuk hanya setengah hari karena mau merawat kamu."

"Enggak perlu repot-repot, aku enggak apa-apa dan aku juga enggak lapar. Kita langsung pulang aja, biar aku bisa tidur. Jangan tanya lagi, aku malas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan darimu."

"Ya, sudah, mama minta maaf kalau pertanyaan-pertanyaan mama sudah buat kamu menjadi sebal."

Teleponnya Rossa berdering lalu dia menghentikan mobilnya di di pinggir jalan raya. Dia mengangkat panggilan dari suaminya itu. "Halo?"

"Kamu di mana?" tanya Surya kepada istrinya itu.

"Aku ini di jalan mau pulang, setelah jemput Bagas di kampus."

Mendengarkan ucapan dari Rossa, Surya kaget apa yang terjadi kepada putranya? Sehingga harus pulang lebih awal dari jadwal ospek yang sudah ada. "Memangnya Bagas kenapa, apa dia sakit lagi?"

"Iya, dia tadi pingsan waktu kegiatan pengenalan kampus terus dapat pertolongan di klinik kampus. Tapi, dokter bilang kita harus segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut biar bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada Bagas."

"Tidak seharusnya aku terus menutupi kondisi Bagas, tapi untuk sementara itu yang terbaik."

"Maksudnya apa? Jangan buat aku semakin penasaran dengan ketidakjelasan ini. Katanya tidak boleh ada rahasia di antara kita. Tapi, kamu menyembunyikan kebenaran tentang kondisi Bagas. Aku sudah menganggap Bagas seperti anak kandung ku sendiri, seperti Arum. Jadi aku juga ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada dia."

"Iya, nanti akan aku ceritakan. Terima kasih sebelumnya, karena sudah menjadi ibu yang baik untuk anakku."

"Itu kewajiban yang harus aku jalani sebagai wanita yang memiliki suami dan anak, harus menyayanginya dengan sepenuh hati."

"Kamu hati-hati, ya!"

"Iya, kamu juga hati-hati, jangan sampai telat makan."

"Oke."

Panggilan itu di akhiri dengan ucapan manis saling menyemangati, walaupun Rossa seorang ibu sambung tetapi hatinya begitu tulus dan murni. Dia tidak pernah membedakan antara Arum dan Bagas. Semuanya dipandang sama, kasih sayangnya pun dibagi sama rata. Tidak ada yang lebih berat dan tidak ada yang lebih ringan.

Sesampainya di rumah, Rossa segera memarkirkan mobilnya di halaman lalu turun dari jok kemudi. Dia membantu Bagas untuk turun dari jok penumpang lalu memapahnya untuk masuk ke dalam rumah. Di sana disambut oleh Bibi Surti yang terlihat khawatir melihat anak majikan itu.

"Bi, tolong sediakan air hangat, ya."

"Apa yang terjadi dengan Mas Bagas?"

"Dianya kecapean dan butuh istirahat, oh, iya, taruh air hangatnya di gelas agak besar, ya, biar Bagas minumnya banyak. Saya ke kamarnya dulu, ya."

"Baik Nyonya, nanti air hangatnya langsung saya antarkan ke kamar mas Bagas ."

"Terima kasih, ya, Bi."

Tanpa berucap, tanpa bergeming, Bagas yang sedikit masih menahan sakit mengikuti alunan kaki Rossa untuk menuju ke kamarnya. Dia merasakan ada kehangatan kasih seorang ibu yang tidak pernah dia dapat dari Marina. Namun, walaupun seperti itu, dia tidak ingin menghianati mama kandungnya dan selalu menganggap mama kandungnya yang terbaik. Tidak ada yang bisa menggantikan Marina di hatinya, selamanya.

Pintu kamar Bagas terbuka lalu dengan sabar Rossa membaringkan tubuh Bagas di ranjangnya. Dia menyelimuti putranya dengan penuh kasih sayang. "Kamu istirahat dulu, ya, nanti kalau Bi Surti membawakan air hangat segera diminum, ya, biar lebih tenang, biar perut kamu enggak sakit lagi."

"Kenapa, sih, kamu selalu baik padahal 'kan selama ini aku selalu jahat?"

"Tidak ada namanya seorang ibu pendendam, jadi semua ibu itu memiliki hati yang besar dan luas. Hal itu yang bisa membuat anak-anaknya menerima dan juga anak-anaknya tumbuh dengan baik. Mama juga ingin menerapkannya kepada kamu, Bagas."

Bagas tidak lagi membalas ucapan dari Rossa. Dia buru-buru memejamkan mata. Berlagak tidur daripada harus membahas semua pernyataan dari mama tirinya itu.

***