Chereads / My Love is Different / Chapter 24 - Pikiran yang Kalut

Chapter 24 - Pikiran yang Kalut

"Mas Bagas, ayo makan dulu, sejak kemarin Mas Bagas belum makan, lo, 'kan juga Mas Bagas harus minum obat."

"Bi, nanti kalau aku lapar juga aku akan keluar kamar terus makan."

"Mas Bagas harus menghadapi semua yang terjadi, jangan seperti ini, Mas. Kesannya Mas Bagas itu menghindar dari kenyataan."

"Aku mau tanya sesuatu, tapi harus di jawab dengan jujur."

"Apa itu Mas?"

"Kalau kita membunuh seseorang berarti kita berdosa, 'kan? kita enggak pantas untuk mendapatkan pengampunan?"

"Mas Bagas ini tanya apa, sih, Bibi jadi tidak paham. Memangnya Mas Bagas membunuh siapa? Mas Bagas juga dari kemarin di rumah tidak ke mana-mana. Memangnya apa, sih, Mas, yang terjadi?"

"Mungkin saja ayah dan Arum tidak pulang dari rumah sakit karena kondisi wanita itu yang kritis. Dia mendorongku sampai terjatuh dan tiba-tiba dia pendarrahan atau mungkin dia sedang mengandung?"

Bagas mulai ketakutan dengan pikirannya sendiri. Dia tidak pernah menyangka jika melalui dirinya Rossa merasakan kehilangan anak yang mungkin sangat dia inginkan bersama Surya. Ini berat untuk mereka jalani, juga untuk Bagas yang saat itu ada di sana. Kejadiannya begitu cepat, Rossa ingin menyelamatkan Bagas. Namun, sayang dia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri, seperti hal itulah yang mulai Bagas resahkan. Dia takut menjadi seorang pembunuh.

"Memangnya apa benar Nyonya Rossa sedang mengandung? kalaupun itu terjadi bukan sepenuhnya salahnya Mas Bagas karena bukan keinginan Mas Bagas untuk menggugurkan kandungannya Nyonya Rossa, lagi pula itu semuanya kecelakaan. Mas, jadi jangan dipikir terlalu jauh, lagi pula pasti ada alasan kenapa Nyonya Rossa melakukan hal itu."

"Sampai sekarang aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku takut jika aku benar-benar menjadi pembunuh, itu akan meresahkan dan lebih baik aku mati saja daripada harus menjadi seorang yang telah menghilangkan satu nyawa."

"Mas Bagas, jangan bilang yang tidak-tidak, ucapan adalah sebagian dari doa Mas, harus dikendalikan, jangan seperti itu. Lagi pula ada Bibi di sini yang akan selalu setia bersama Mas Bagas. Terlebih, Tuan Surya pasti paham tentang masalah yang sedang Mas Bagas hadapi, jangan putus asa dulu, Mas."

Bagas mulai resah. Hatinya tidak tenang. Ada rasa bersalah luar biasa yang tidak dapat diungkapkan, bahkan rasa sakit yang mengoyak perutnya tidak lagi dia hiraukan. Di otaknya hanya ada Rossa, Rossa, dan Rossa, kenapa dia tadi mengelak harus pergi meninggalkan ibu sambungnya yang sangat menyayanginya, kalau saja dia menuruti apa yang Rossa inginkan pasti kecelakaan itu tidak terjadi dan Rossa akan tetap baik-baik saja. Masalah demi masalah tidak akan datang untuk menghakiminya, sulit untuk Bagas terima, namun harus tetap dia jalani.

"Aku boleh telepon mama?"

"Iya, Mas Bagas telepon saja kalau memang Mas Bagas itu sedang rindu atau ingin curhat kepada mamanya Mas Bagas, tapi saya takut jika Tuan Surya tahu akan murka, Mas."

"Aku juga berpikir demikian, kenapa, sih, ayah selalu membenci mama? Apa sebenarnya kesalahan mama yang tidak dapat ayah maafkan? selama ini mama itu adalah sosok wanita yang baik dan dia menyayangi ayah dengan sepenuh hati, dia juga melindungiku, mendidikku, sepertinya tidak ada kekurangan yang mamah miliki, tapi kenapa ayah selalu memandang salah setiap kali bertemu dengan mama?"

"Saya juga heran, Mas, tapi yang saya permasalahan itu hanya Tuan Surya, jadi saya harap Mas Bagas tidak perlu mengulik terlalu jauh, akan ada luka yang terbuka dan akan ada penyesalan yang tidak akan termaafkan."

Bagas mengurungkan niatnya untuk menelepon mama kandungnya. Dia takut jika nanti ayahnya mengetahui hal itu pasti akan lebih murka dari masalah yang saat ini sedang mereka hadapi. Bagas ingin pergi ke rumah sakit untuk melihat bagaimana kondisi Rossa, tidak ada kabar yang memberitahukan tentang kondisi terakhir dari mama sambungnya itu. Kemungkinan besar Rossa memang mengalami masalah yang cukup sulit sehingga mengharuskan dia untuk tinggal di rumah sakit, untuk waktu yang tidak dapat diprediksikan."

Tanpa terduga, tiba-tiba daarah segar mengalir dari kedua hidungnya. Bibi yang melihat hal itu merasa takut dan panik melihat majikannya mengalami hal itu. Karena tidak pernah Bagas seperti itu, sepertinya memang kondisi Bagas tidak baik-baik saja dan dia harus segera mendapatkan perawatan agar tidak semakin parah.

"Mas Bagas, mimisan, ya, saya ambilkan tisu, ya, atau saya langsung telepon Tuan Surya?"

"Bibi ambilkan tisu saja, ya, enggak perlu telepon ayah. Pasti ayah sedang repot mengurus wanita itu. Aku tidak ingin mengganggunya, sudah terlalu banyak kesalahpahaman yang terjadi di antara kami."

Mendengarkan hal itu, Bibi Surti mengikuti apa yang Bagas inginkan. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil sekotak tisu untuk diberikan kepada Bagas. Dengan telaten Bagas membuat bulatan kecil untuk dia taruh ke kedua lubang hidungnya secara bergantian agar mimisan itu segera berhenti. Ini memang kali pertama, terjadi kepada Bagas yang tidak pernah mengalami hal itu.

***

"Gimana kondisi Mama, sudah lebih baik?"

"Iya, Pa, sepertinya Mama sudah lebih baik. Oh, ya, gimana Bagas?"

"Kamu masih sempat-sempatnya tanya Bagas setelah kamu kehilangan bayi yang sangat kita idamkan."

"Aku bukannya tidak mengindahkan bayi kita, tetapi saat itu Bagas juga membutuhkan pertolongan dariku. Sebagai seorang ibu pasti sulit untuk memilih yang mana yang harus mereka dahulukan karena mereka dua-duanya juga anakku, tapi aku pikir saat itu Bagas sangat membutuhkan bantuanku dan aku masih bersama bayi kita, tapi ternyata Tuhan berkata lain."

"Kok, kamu bisa, ya, seperti itu, jika aku di posisimu, saat ini juga aku akan mencari keadilan mungkin aku juga mengutuk Bagas"

"Kamu ini ngomong apa, sih, jangan seperti itu, dia anak kita. Apapun yang terjadi, pada Bagas tetap menjadi anak yang harus kita rawat dan harus kita jaga, bukan kita kutuk."

Rossa berusaha bersikap tegar menghadapi segala cobaan yang ada, walaupun air matanya terus mengalir. Tetapi, dia mencoba untuk berada di dalam situasi yang sulit, namun tetap bisa mengendalikan emosinya. Tidak ada alasan Rossa untuk tidak sedih lantaran dia kehilangan bayi yang belum terlahir ke dunia. Mungkin ini memang jalan yang terbaik yang diberikan Tuhan untuknya dan juga bayinya. Terlebih untuk Bagas yang mungkin setelah kejadian itu akan bersikap lebih memanusiawikan Rossa.

"Aku sangat kecewa dengan Bagas, maafkan dia karena telah membunuh adiknya sendiri."

"Jangan mengatakan hal itu, tidak ada dalam kasus ini siapa yang menjadi korban atau tersangka. Semuanya baik-baik saja, sekali lagi aku tekankan, seorang ibu memiliki hati yang luas yang tidak dapat ditebak oleh siapapun. Mungkin aku belum bisa seperti itu dan aku akan belajar untuk memahamkan diriku dalam segala situasi dan kondisi, menerima keburukan dan kebaikan dari anakku."

"Tapi dia bukan anak kandungmu."

"Dia terlahir dari hatiku," sahut Rossa seketika membuat Surya terdiam seribu bahasa.

"Mama masih bisa memaafkan Bagas?" tanya Arum yang tiba-tiba masuk ruang rawat tanpa mengetuk pintu, dengan nada tinggi penuh emosi.

***