"Selesai."
"Kenapa kok jadi nyari banget, ya, bagian pinggul kiri aku?"
"Iya, tadi memang sengaja disuntikkan obat untuk membuat kondisi kamu lebih baik. Jadi, memang efeknya ada nyeri di bagian pinggul kiri, tapi enggak akan bertahan lama."
"Terima kasih, ya, suster. Oh, ya, kapan kira-kira aku bisa pulang?"
"Secepatnya juga bisa pulang. Kalau dokter sudah ngijinin setelah segala tes yang kamu lakukan. Sepertinya kondisi kamu semakin membaik dan pasti akan bisa secepatnya pulang."
"Terima kasih, suster."
"Sama-sama Bagas, jangan diulangin lagi mogok makanya karena itu enggak bagus buat lambung kamu."
"Enggak, enggak tahu maksudnya, kalau besok aku ada masalah lagi, ya, mungkin bisa aja aku ngelakuin hal yang serupa."
"Bagas, kamu harus dengerin suster, jangan seenaknya kayak gitu. Tubuh kamu itu berbeda dengan tubuh yang lain, harus kamu jaga baik-baik, jadi jangan macam-macam."
Bagas hanya tersenyum. Dia tidak mau meladeni ucapan dari suster yang telah merawatnya dengan baik. Di sisi lain, dia mengharapkan ayahnya bisa mengunjunginya, tapi sepertinya itu hanya harapan kosong. Surya pasti akan lebih mementingkan istrinya yang baru kehilangan calon anaknya daripada harus melihat anak yang nakal itu lemah di rumah sakit.
"Kalau begitu saya akan pindah ke pasien yang lain. Jangan lupa obatnya diminum dan jangan lupa makan yang rutin, yang teratur."
"Beres, suster," sahut Bagas dengan cepat.
Suster itu lantas pergi meninggalkan Bagas. Sekarang, di ruangan yang serba putih itu hanya tinggal Bagas yang duduk di atas ranjang rumah sakit sambil termenung memikirkan segala perbuatan yang pernah dia lakukan untuk menyakiti orang-orang yang menyayanginya.
***
"Gimana kondisimu sekarang?"
"Aku udah lebih baik, dokter bilang nanti juga bisa langsung pulang. Hampir lupa, sekarang gimana kabarnya Bagas?"
"Iya, dia kayak gitu aja."
"Kayak gitu gimana maksudnya?"
"Kondisinya belum baik. Dia juga belum bisa pulang dari rumah sakit, walaupun sudah menjalani beberapa tes. Semoga hasilnya tidak mengecewakan."
"Setelah pulang dari sini antarkan aku, ke Bagas. Aku pengen banget lihat dia, aku pengen banget menguatkan dia."
"Memangnya hati kamu terbuat dari apa? tidak cukup Bagas menyakiti kamu? tidak cukup dia telah membuat kamu keguguran?"
"Surya, aku sudah bilang berulang kali. Ini bukan salah Bagas. Ini memang kecerobohanku yang tidak bisa menjaga janin kita. Lagi pula sekalipun aku tidak terjatuh saat itu, dokter juga bilang, 'kan, kalau rahimku sangat lemah, di usiaku yang sudah hampir senja ini. Jadi, akan sulit untuk mempertahankannya hingga sembilan bulan."
"Setidaknya kamu masih bisa mempertahankannya, tidak menyelamatkan anak itu."
"Surya, apa yang sebenarnya terjadi, rahasia apa yang selama ini kamu sembunyikan?"
"Apa maksudmu?"
"Sekarang kamu pikir deh, kenapa kamu sepertinya menyayangi Bagas, tetapi juga sangat membencinya, ada ayah yang seperti itu."
Surya bingung, dia tidak dapat menjawab pertanyaan dari istrinya lantaran benar adanya. Seakan walaupun Surya sangat menyayangi Bagas, tetapi dia juga membencinya. Terlihat terus-menerus memojokkan Bagas dalam permasalahan yang Rossa hadapi ketika kehilangan bayinya.
"Tidak seharusnya kamu mengetahui rahasia itu sekarang dan tidak seharusnya aku mengungkapkan kepada siapapun karena ini janjiku kepada Marina dan kepada almarhumah Ibu kandungku. Tidak mungkin aku menyakiti almarhumah ibu kandungku. Sekalipun Aku membenci Marina tetapi aku sangat menghormati beliau. Almarhum ibuku adalah wanita terbaik, terhebat, tersayang, juga tercinta, yang aku kenal, dulu, sekarang, dan selamanya."
"Kamu harus ingat, aku istrimu, aku juga harus tahu apa yang terjadi dengan anak itu. Tidak boleh ada rahasia di antara kita."
"Tapi tidak untuk sekarang."
"Kapan, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."
"Saat ini kamu harus fokus ke kesehatan. Jangan, pikirkan yang lain."
"Surya, ingat satu hal, Bagas juga anakku. Dia lahir dari hatiku. Jadi kamu jangan pernah membuat aku untuk membeda membedakan antara Bagas dan juga Arum."
Tiba-tiba pintu kamar rawat Rossa terbuka. Tanpa ada yang mengetuknya terlebih dahulu, ternyata ada Arum di balik pintu yang segera masuk untuk melihat mamanya.
"Apa kalian sedang berbicara serius?" tanya Arum yang melihat raut wajah orang tuanya seperti tidak dalam situasi santai.
"Enggak sayang, mama enggak lagi bicara sesuatu yang serius kok sama papa. Kita hanya membicarakan, setelah mama ke luar dari rumah sakit, apa yang harus mama lakukan agar mama bisa lebih sehat lagi, benar, 'kan?"
Rossa pintar bermain peran. Dia segera memutar fakta yang sebenarnya terjadi lalu mengikutkan Surya dalam permainannya.
"Tadi mama kamu tanya, kegiatan apa yang tidak membuat mama kamu bosan dan membuat dia semakin sehat."
"Aku kira apaan," sahut Arum tersenyum lepas.
"Arum, kamu dari mana?" Tanya Surya seakan menjadi ayah sempurna untuk anak-anaknya.
"Aku dari menjenguk Bagas."
"Gimana kondisinya?" Rossa sangat antusias mengetahui jika Arum baru saja menjenguk adik sambungnya.
"Sepertinya tidak baik-baik saja, wajahnya pucat dan tadi aku dengar kalau Bagas telah menjalani beberapa tes pengecekan kesehatan dan sepertinya hasilnya juga tidak terlalu bagus."
"Kamu tahu dari mana, jangan sok tahu," sahut Rossa cepat.
"Aku enggak sok tahu, Ma, terlihat jelas dari raut wajah dokter dan suster yang sepertinya buruk akan hasil tes sementara yang mereka terima. Sebenarnya tadi aku juga sedikit mengomeli dia."
"Arum, kamu ngomong apa? jangan bilang kamu benar-benar marah kepada Bagas."
"Ya, mohon maaf, Ma, aku enggak bisa nahan emosi ini. Aku enggak bisa lihat kita semakin tertindas dengan Bagas yang selalu seakan-akan dia yang benar."
"Tapi enggak harus kayak gitu, 'kan?"
"Ya, maaf, Mama, aku enggak akan ngulangin lagi."
"Sudah, sudah, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Emang ini semua kesalahan Bagas, kemarin aku juga ingin memberinya pelajaran, tapi ternyata dia sedang sakit. Aku akan menundanya hingga dia sembuh."
"Surya, kumohon jangan lakukan itu. Sesuai dengan janjimu saat itu, jangan pernah mengungkit permasalahan kehilangan bayi kita di depan Bagas. Aku tidak ingin membuat Bagas semakin tersiksa dengan situasi ini."
"Mama ini apaan, sih, selalu bela Bagas yang salah. Nyata-nyata dia memang salah, jadi harus diberi pelajaran, aku setuju sama papa Surya."
"Arum, kalau kamu tidak tahu permasalahannya, jangan pernah bicara dan kamu jangan pernah membantah perkataan orang tua."
Situasi menjadi memanas karena Bagas semuanya seakan tersulut emosi. Ketika mendengarkan kata bagas terucap. Di sisi lain apa yang Arum katakan benar adanya. Kondisi Bagas tidak baik-baik saja dan itu seakan-akan ditutupi oleh Surya. Sebenarnya rahasia apa yang Surya sembunyikan dari keluarga barunya, seakan ada sesuatu yang tidak biasa yang mulai Surya tampakkan.
"Sudah, ya, jangan membahas Bagas untuk sementara waktu, yang terpenting mamamu bisa segera sembuh dan pulang ke rumah lalu kita akan membahas persoalan itu di kemudian hari."
"Surya, aku mau kamu jujur tentang apa yang kamu katakan tadi."
"Sudahlah, lupakan!"
"Aku seorang ibu yang tidak akan pernah melupakan. Seujung kuku pun informasi mengenai anakku akan selalu aku cari."
"Maksudnya, Bagas memiliki rahasia?" tanya Arum yang ikut ke dalam pusara yang entah di mana ujungnya.
***