Situasi semakin tegang, Surya bersikukuh untuk tetap menyembunyikan rahasia itu, sedangkan Arum dan Rossa ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada Bagas. Kenapa seakan-akan ada sesuatu yang Surya sembunyikan.
"Bukan apa-apa, tidak ada rahasia yang Papa sembunyikan."
"Tapi, setiap kali aku tanya Bagas sakit apa, Papa enggak pernah ngasih tahu Arum."
"Nanti kamu juga tahu sendiri, lagi pula hasil tes dari rumah sakit juga belum keluar, jadi sabar saja sampai hasilnya keluar kita semua akan tahu Bagas itu sakit apa."
Surya pandai memainkan siasat. Dia tidak serta merta memberitahukan secara langsung bagaimana kondisi Bagas dan juga status Bagas selama ini sebagai putranya.
"Semoga Bagas cepat sembuh dan semoga hasil tesnya baik tidak ada permasalahan yang begitu mengkhawatirkan," ucap Rossa memasang wajah sendu tidak ingin anak sambungnya itu sakit terlalu lama.
Usaha mereka sia-sia. Surya tetap kukuh tidak ingin memberitahukan rahasia itu. Rahasia biarlah menjadi rahasia karena akan tetap dapat terbongkar di waktu yang tepat.
***
"Ada apa Yoga, ngapain, sih, kamu datang ke rumah sakit?"
"Aku mau jenguk mama kamu."
"Kayaknya enggak mungkin banget deh, mendadak kamu jadi orang baik kayak gini. Bukankah selama ini hubungan kita hanya pencitraan? aku mulai muak. Aku pengen banget mengakhirinya."
"Jangan ngomong kayak gitu, deh, aku datang ke sini itu niatku baik. Aku mau jenguk mama kamu dan aku mau meluruskan semua permasalahan kita."
"Maksudnya apa?" tanya Arum sedikit bingung dengan sikap Yoga yang mendadak berubah tiga ratus enam puluh derajat.
"Ya, dulu aku cuek, dulu aku enggak pernah memikirkan sekitar, yang aku mau tetap fokus karena aku pengen menjadi ketua BEM universitas, tapi setelah aku dapatkan semuanya, aku juga harus berpikir dong tentang kebaikan-kebaikan orang di sekitarku."
"Terus kamu mau apa?"
"Aku mau minta maaf kalau aku ada salah, aku enggak mau pencitraan ini berlanjut."
"Jadi, kamu mau kita mengakhiri hubungan pencitraan ini, kayak gitu?"
"Enggak gitu juga Arum. Bukan maksudnya kita berakhir begitu saja, tapi aku mau hubungan pencitraan ini kita hapus lalu kita akan membuat hubungan yang baru."
"Kamu enggak salah minum obat, 'kan, ngomong kayak gitu?"
Arum bingung dengan apa yang Yoga ucapkan. Tidak seperti Yoga yang selama ini dia kenal. Ada sesuatu yang membuat Yoga mendadak menjadi orang yang baik dan mendadak menjadi sosok yang lebih memahami situasi sekitar.
"Enggak, aku mau kita menjalani semuanya dari awal lagi. Aku mau hubungan yang awalnya hanya pencitraan kita ubah menjadi benar-benar hubungan yang sejalan, biar kita itu enggak seperti bermain drama sepanjang hari, sepanjang waktu."
"Jadi, kamu mau pacaran secara resmi bukan pacaran jadi-jadian?"
"Iya, kamu mau, 'kan, mengulang semuanya dari awal?"
"Bentar Yoga, aku enggak bisa langsung ngasih keputusan seperti itu. Emang awalnya hubungan kita hanya pencitraan karena aku mau untuk meningkatkan reputasi kamu biar baik dan kamu juga bisa bantu aku agar ekstrakurikuler yang sedang kurintis saat itu bisa terkenal dan banyak yang ikut, tapi kenapa akhirnya kayak gini, ya?"
"Ya, karena aku pikir kamu orang baik dan aku enggak mau ada drama-drama lagi seperti saat itu. Aku enggak mau hanya pencitraan dan aku mau kamu menjadi milikku secara utuh tanpa embel-embel pencitraan dan tanpa kita menguntungkan satu sama lain."
"Kalau untuk urusan itu, aku enggak bisa jawab sekarang, ya, Ga. Aku enggak bisa dong langsung tahu-tahu bilang 'iya aku terima' karena pada awalnya perjanjian kita bukan untuk pacaran beneran, tapi hanya untuk pencitraan."
"Aku akan kasih kamu waktu berapapun waktunya. Aku akan tunggu."
Arum merasa bingung dengan sikap Yoga yang tiba-tiba berubah dengan cepat. Sepertinya ada sesuatu yang Yoga sembunyikan. Kenapa dia menginginkan Arum menjadi kekasihnya di waktu yang sangat cepat, pasalnya selama ini hubungan mereka hanya pencitraan, drama-drama receh yang selalu mereka tampilkan untuk memberikan kesan baik sebagai contoh untuk pasangan-pasangan di kampus.
"Iya, terima kasih, kamu udah kasih aku waktu."
"Oh, ya, aku ke sini juga mau jenguk mama kamu, mama kamu dirawat di kamar mana? kamu bisa anterin aku ke sana?"
"Boleh, ayo!"
Yoga mengikuti Arum berjalan menuju ruang rawat Rossa. Ini hal yang cukup baik bagi Arum, lantaran Yoga sudah dapat untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar secara nirmal. Tidak selalu memandang dirinya hebat dan selalu memandang dirinya adidaya, adikuasa di kampus dan di manapun.
"Memang mama kamu sakit apa? aku harus tahu, takut saja nanti malah menyinggung perasaan Tante Rossa kalau aku banyak tanya."
"Mamaku habis jatuh terus keguguran," sahut Arum dengan nada datar.
"Maaf, ya, aku enggak tahu kamu harus kehilangan adikmu sebelum dilahirkan dan aku enggak tanya alasannya kenapa, karena sulit pastinya untuk kamu menceritakan kronologinya."
"Terima kasih, Yoga, kamu dapat memahamiku."
"Karena aku pengen banget jadi pacar terbaik untukmu."
Arum hanya tersenyum tipis. Dia tidak berniat menjawab kalimat terakhir yang Yoga ucapkan.
Sampailah mereka di depan pintu kamar rawat Rossa. Mengetuk pintu dua kali lalu Arum membukakan pintu itu. Terlihat Rossa berusaha tersenyum menyambut Arum juga Yoga yang baru saja tiba.
"Halo, ini siapa Arum?" Sapa Rossa dengan ramah.
"Halo, Tante, perkenalkan saya Yoga, saya pacarnya Arum."
Seketika Arum menatap Yoga dengan tatapan tidak percaya, jika dia memperkenalkan diri sebagai kekasihnya. Wajahnya terlihat meyakinkan. Rossa tersenyum akan hal itu.
"Oh, iya, senang sekali bisa dijenguk pacarnya Arum, tapi Arum kok enggak pernah bilang ke saya kalau dia sudah punya pacar?"
"Awalnya kita ragu tante untuk mengungkapkan semuanya, tapi saya pikir kebaikan memang harus diucapkan, jadi saya bangga bisa pacaran dengan anak tante yang baik, pintar, dan cekatan."
"Terima kasih, ya, kamu jangan terlalu sering muji Arum, nanti dia bisa besar kepala."
"Mama jangan aneh-aneh, deh."
"Siapa yang aneh-aneh, kamu yang enggak mau jujur sama Mama kalau udah punya pacar."
"Enggak gitu, Ma, waktunya itu belum tepat untuk mengungkapkan semuanya."
"Ya, sudah, kalian duduk aja, jangan berdiri terus. Kita bakal ngobrol banyak hal, ya, 'kan, Yoga?"
"Iya, tante."
Yoga dan Arum duduk di samping ranjang Rossa. Mereka sedikit kaku untuk berbicara lantang kepada Rossa. Entah karena Yoga malu atau karena Arum kecewa dengan sikap Yoga yang tiba-tiba mengucapkan jika dirinya adalah kekasihnya.
"Semoga tante cepat sembuh, ya."
"Terima kasih, Yoga. Kamu sudah datang ke sini aja tante senang bnget."
"Maaf, ya, Tante Rossa, saya enggak bawa bunga atau bawa buah juga enggak bawa buah tangan lainnya karena tadi memang mendadak banget dari kampus terus pengen datang ke sini buat nengokin tante."
"Kamu tahu enggak, orang sakit itu kalau dijenguk pasti senang banget dan dia tidak pernah mengharapkan dapat bunga, dapat buah, ataupun yang lainnya, doa itu yang terpenting."
"Pasti tante, aku akan selalu mendoakan tante biar bisa cepat pulih dan pulang dari rumah sakit."
"Aamiin, terima kasih, ya, Ga."
Tanpa disadari mereka, tiba-tiba pintu ruang rawat Rossa terketuk beberapa kali. Rossa yang baru menyadarinya segera menjawab dari dalam. "Iya, silakan masuk!"
Terlihat sosok di balik pintu yang sangat Rossa harapkan dapat segera menemuinya dengan cepat.
"Kamu?" Arum kaget dengan apa yang terlihat di depan matanya.
***