"Sudah berapa lama aku tertidur di sini?" tanya Bagas seketika setelah dia tersadar dari pingsannya.
"Sudah sadar, ya?"
"Iya, Sus, siapa yang bawa aku ke sini?"
"Ya, ayah kamu, 'lah, Pak Surya, memang siapa lagi?"
"Terus dia ada di mana?"
"Tadi Pak Surya ada di sini nemenin kamu. Sekarang mungkin masih mengurus beberapa administrasi dan menebus obat."
"Suster, aku boleh minta tolong?"
"Mau minta tolong apa?"
"Aku mau pinjem hp-nya suster."
Suster itu mengeluarkan ponselnya dari saku bajunya lalu memberikannya kepada Bagas, tidak curiga sedikitpun.
"Oh, mau pinjem hp, ini?"
Bagas segera menerimanya takut saja bila suster tiba-tiba berlainan pendapat. "Terima kasih, ya, Sus."
Buru-buru Bagas memencet nomor telepon mamanya untuk menghubunginya. Bagas sudah tidak sanggup lagi. Sudah lama harus memendam rindu kepada Marina, sekuat tenaga Bagas mencoba untuk menghubungi mama kandungnya itu.
Panggilan itu cukup berdering sekali, langsung mendapatkan respon dari Marina. "Halo, ini siapa, ya?"
"Mama," sahut Bagas dengan suara gemetar.
"Bagas? apa kabar sayang, kamu lagi ngapain? Ini nomor siapa?"
"Aku lagi ada di rumah sakit, Ma. Ini nomornya suster, aku enggak bisa menghubungi mama selama ini karena takut sama ayah."
"Sakit apa kamu? di rumah sakit mana, biar mama ke sana?"
"Aku di rumah sakit Putra Medika. Biasa perut aku sakit lagi. Mama enggak mungkin bisa ke sini, ayah pasti marah apalagi kita baru saja tertimpa musibah pasti sulit untuk ayah bertemu dengan mama."
"Musibah apa yang menimpa kalian, sampai bisa terpuruk seperti itu?"
"Mama Rossa kehilangan janinnya, dia keguguran."
"Astaga, kok bisa sih, mama enggak bisa mikir. Memang dia tidak bisa menjaga kandungannya dengan baik, apa itu pantas dipanggil sebagai seorang ibu?"
"Dia keguguran karena menyelamatkan aku, Ma. Apakah aku pantas dipanggil sebagai seorang anak?"
Seketika Marina terdiam. Dia tidak melanjutkan kalimat-kalimatnya seakan Marina tetap ingin memojokkan Rossa, tetapi kenyataannya Rossa malah menyelamatkan putranya.
"Sudahlah, sekarang yang terpenting saat ini adalah kesembuhanmu. Kalau memang mama tidak bisa ke sana berarti mama akan selalu berdoa agar kamu bisa sembuh dengan cepat. Mama tidak ingin terjadi sesuatu denganmu, terlebih mama juga masih ingin bisa kembali berbaikan dengan ayahmu. Tetapi, dia selalu memandang buruk mama, padahal mama tidak tahu kesalahan mama itu apa."
"Aku mau ikut mama saja, aku enggak betah sama ayah."
"Tidak bisa Bagas, mama tidak sekaya ayahmu. Kehidupanmu di sini pasti nanti akan lebih berat. Jangan bertindak tanpa berpikir. Mama juga tidak bisa menghidupi kamu dengan layak. Mama tidak bisa memberikan obat-obatan yang mahal, mama tidak bisa memberi makanan yang bergizi, dan fasilitas-fasilitas mewah yang ada di rumah ayahmu."
"Aku tidak butuh itu semua, aku hanya butuh mama."
"Dengerin mama, Bagas tidak boleh menyerah dengan keadaan saat ini. Mungkin kita tidak bisa bertemu, tapi kelak kita akan bersama. Jadi, tunggu waktu itu sampai tiba saatnya kita bisa bersama kembali. Bagas percaya, 'kan, dengan mama?"
"Iya, Bagas percaya pasti kita bisa bersama kembali dan itu harapan terakhirku."
"Ya, sudah, kalau begitu jangan lama-lama teleponnya. Mama akhiri, ya, kamu baik-baik di sana, cepet sehat, jangan macam-macam dan turuti semua permintaan ayahmu, perintahnya juga harus kamu lakukan jangan jadi anak pembangkang," ucap Marina seakan dia ibu terbaik untuk Bagas.
Tanpa menunggu jawaban dari Bagas Marina segera memutus panggilan itu .
"Padahal aku masih kangen mama," ucap Bagas dengan lirih.
"Gimana, sudah telepon? apa mamamu akan segera ke sini?"
"Ini hp-nya, terima kasih, ya, sudah diizinkan telepon."
"Sama-sama Bagas, kamu juga harus jaga kesehatan."
"Iya."
"Ini infusnya sudah saya ganti, terus jangan lupa obatnya diminum, ya, satu jam lagi. Kalau ada apa-apa kamu langsung pencet tombol yang ada di dinding itu, nanti saya akan sudah ke sini atau perawat yang lain bisa membantu kalau gitu saya keluar dulu."
"Terima kasih, ya, suster."
"Ini kewajiban saya, permisi."
Bagas terlihat sedih merenungi nasibnya yang cukup buruk. Dia tidak bisa berucap lagi. Sulit untuk dia bisa menerima kondisi dan keadaan ini, tetapi semuanya memang harus berjalan sesuai dengan porsinya. Kesedihan dan kebahagiaan memiliki garis waktu yang sama, hidup dalam dimensi yang serupa.
Pintu kamar rawat Bagas terbuka dengan kasar. Seorang gadis masuk dengan wajah memerah, seakan ingin melontarkan segala amarah yang ada di dalam jiwanya.
"Enak banget, ya, setelah kamu udah bikin mamakuu celaka dan aku kehilangan calon adikku, kamu bisa santai-santai di rumah sakit ini?"
"Maksudmu apa? Emang kamu enggak bisa permisi, apakah kalau masuk kamar orang kamu selalu seperti ini?"
"Apa permisi? orang yang sudah membuat adikku pergi untuk selamanya tidak pantas mendapatkannya."
"Kamu tidak pantas menyebutku seperti itu karena kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Kenapa aku harus mencari tahu semuanya? semua sudah jelas. Kamu itu dendam dari dulu dengan mamaku dan juga aku, enggak pernah bisa menerima kami, jadi segala tuduhan pasti akan menjadi milikmu."
"Aku tidak terima karena aku memang tidak berbuat apa-apa. Kalau tahu akhirnya seperti ini, lebih baik saat itu aku yang tertabrak semuanya akan tetap baik-baik saja."
"Gampang banget yang ngomong gitu, setelah kamu nyelakain mamaku?"
"Terus mau kamu apa? sekarang kamu juga tahu, 'kan? sekarang aku juga lagi sakit."
"Aku pikir sakitmu juga cuma alasan biar Papa Surya itu tidak emosi denganmu lagi. Tidak ada satu orangpun orang tua yang rela anaknya pergi sebelum dilahirkan."
"Cukup Arum! Kalau kamu tidak tahu apa-apa jangan pernah berkomentar karena opini darimu malah menjerumuskanku ke dalam duka."
Arum tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia terlalu marah dan kecewa melihat Bagas yang masih baik-baik saja, sedangkan Rossa harus berjuang agar tetap bisa menjalani hari-hari tanpa janin di dalam rahimnya.
"Emang salah aku apa, sih? salah mamaku apa sampai kamu sebenci itu dengan kami?"
"Enggak ada yang salah."
"Lantas?"
"Aku benci keadaan ini. Aku tidak ingin ayahku menikah lagi dengan wanita yang tidak aku kenal dan ternyata tanpa restu ku, ayah tetap menikah lagi. Itu membuat aku kecewa, marah, benci, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya."
"Terus kamu enggak bisa mengungkapkan ke ayahmu lalu mengungkapkannya kepada kami? Apakah itu yang disebut dengan gentlemen?"
"Terserah, kamu mau menganggapku seperti apa, bebas, yang terpenting saat ini aku ingin istirahat. Kamu bisa, 'kan keluar dari sini?"
"Tanpa kamu usir, aku akan segera keluar dari sini. Tidak ada alasanku untuk betah dan bertahan di tempat ini. Semoga kamu akan mendapatkan rasa sakit yang lebih dalam dari kehilangan yaitu tidak bisa memiliki orang yang kamu cintai."
Arum segera pergi meninggalkan ruang rawat Bagas dengan rasa dongkol di hatinya. Walau, setelah mengucapkan kata-kata sumpah serapah itu, sedikit kebenciannya mulai memudar, namun tidak benar-benar hilang.
"Dan semoga semua yang kamu ucapkan akan kembali kepadamu agar kamu juga bisa merasakan sakitnya sebuah hati yang tidak bisa memiliki hati yang lain," ucap Bagas membalas ucapan Arum tanpa sepengetahuannya.
***