"Apa? jadi benar kalau Bagas itu yang menyebabkan mama kecelakaan?"
Surya tidak dapat menjawab pertanyaan dari Putri sambungnya. Dia masih bingung ingin menjelaskan seperti apa lantaran jika benar itu kesalahan adalah milik Bagas pasti Arum akan marah kepada adik tirinya itu.
"Sebenarnya papa tidak tahu permasalahan ini, bagaimana mama kamu bisa tertabrak pun papa juga kurang paham, yang papa ketahui ketika papa datang ke sana mamamu sudah terjatuh dan kondisinya cukup mengkhawatirkan."
"Tapi Bagas ada di sana, 'kan?" Arum terus mengejar papa sambungnya itu untuk memberikan penjelasan yang lebih detail.
"Iya, Bagas ada di sana."
"Dan aku pikir semua ini gara-gara Bagas. Aku harus minta pertanggung jawaban dari dia karena bagaimanapun juga karena kecerobohannya membuat mama celaka seperti ini."
"Arum, tolong pahami kondisi dan situasi ini. Kamu jangan kegabah, tunggu sampai mama kamu siuman dan semuanya akan lebih jelas lagi."
"Jelas bagaimana, sih? harus menunggu sampai kapan? Papa tahu sendiri jika mama harus kehilangan janinnya karena Bagas dan aku tidak terima."
"Maafkan jika memang ini kesalahan ada di tangan Bagas, tapi seharusnya kamu juga bisa mendengarkan dari sisi mamamu. Kamu tunggu sebentar lagi sampai dia siuman."
"Setelah rangkaian kejadian yang menyebabkan Mama celaka, kurang baik apa, sih, mama selama ini sudah melindungi Bagas, menyayangi Bagas, tapi apa yang Bagas berikan? dia malah mengambil hal yang sangat berharga dalam hidup mama. Apakah dia bisa dikatakan sebagai seorang anak yang baik?"
Arum terbawa emosi. Dia tidak peduli dengan perasaan Surya lagi, lantaran mamanya sedang berpacu antara hidup dan mati. Kebenciannya kepada Bagas semakin meningkat. Dia ingin segera bertemu adik sambungnya itu lalu memaki mungkin memukul. Tapi, itu semua tidak akan setara dengan rasa kehilangan yang dialami oleh mamanya ini. Sangat sulit untuk Arum jalani, tapi memang beginilah hidup, selalu getir dan tidak sesuai dengan ekspektasi.
***
"Mas Bagas tidak apa-apa, atau saya panggilkan Tuan Surya, biar Mas Bagas dibawa ke rumah sakit," ucap Bibi Surti sambil membantu Bagas masuk ke kamarnya.
"Aku enggak apa-apa, kok, cuma lecet aja."
"Tapi, Mas, ada luka di tangan Mas Bagas yang cukup serius dan harus mendapatkan pertolongan dari medis. Saya tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, yang ada nanti malah bisa menyebabkan infeksi."
"Sudahlah, aku bisa kok mengobatinya sendiri. Nanti bawakan kotak obatnya ke kamar biar aku obati sendiri. Oh, iya, Bi, nanti kalau papa cari, bilang aja aku lagi tidur di kamar."
"Iya, Mas Bagas, kalau Mas Bagas butuh sesuatu langsung saja bilang ke saya, sebisa mungkin akan saya ambilkan."
"Terima kasih, eh, Bi Surti, kalau wanita mengalami pendarahan apakah mungkin dia sedang mengandung?"
"Iya, Mas, kalau terjadi pendarahan berarti ada janin di dalam rahimnya. Emangnya siapa Mas yang pendarahan?"
Seketika Bagas tidak bisa menjawab pertanyaan dari Surti. Dia takut salah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa saat Bagas memutuskan untuk diam dan tidak ingin lagi melanjutkan kalimat-kalimatnya itu, daripada Bibi Surti semakin penasaran dengan apa yang Bagas tanyakan.
"Bukan apa-apa, aku istirahat dulu."
"Iya, Mas, saya akan ambilkan kotak obatnya nanti akan saya antar dan juga air hangat, mungkin Mas Bagas membutuhkan ketenangan."
"Terima kasih, Bi, atas pengertiannya."
"Sama-sama, demi kesehatan Mas Bagas dan kondisi Mas Bagas saat ini, saya akan melakukan apapun."
Bibi Surti keluar dari kamar Bagas lalu mengambil apa yang Bagas perlukan untuk segera diberikan kepadanya. Bi Surti ingin sekali memberi kabar Tuan Surya akan kondisi Mas Bagas yang tidak baik-baik saja. Namun, dia tidak memiliki hak itu lantaran Bagas tidak ingin menghubungi ayahnya.
"Aku merasa bersalah dalam situasi ini. Aku tidak pernah merasa jika semua kesalahan memang tertuju padaku. Tidak seharusnya aku berbuat kesalahan itu, dan tidak seharusnya wanita itu menolongku. Seandainya waktu bisa diputar, aku tidak mau ditolong olehnya, yang pasti tidak akan ada rasa bersalah seperti saat ini." Bagas berucap pada dirinya sendiri, ada rasa menyesal yang sangat dalam.
Bagas merasakan nyeri kembali di perutnya lalu dia mencengkram perutnya dengan hebat. Dia tidak ingin menyusahkan orang lain lagi. Bagas memutuskan untuk tetap terdiam di kamar sambil menahan rasa sakit itu tanpa diketahui oleh siapapun. Dia membuka laci di samping tempat tidurnya, mencari obat yang sering dia minum untuk nyeri di perutnya.
"Sialan, obat itu tidak ada!"
Bagas melihat di laci itu tidak ada botol obatnya. Dia baru ingat, mungkin saja botol obat itu terjatuh ketika Rossa mendorongnya. Bagas kembali masuk ke dalam selimut untuk mencengkram rasa sakit yang ada di dalam perutnya.
Memejamkan mata adalah jalan terbaik yang Bagas pilih untuk meredakan rasa sakitnya. Berharap ketika membuka mata semuanya akan baik-baik saja. Ternyata kecelakaan itu hanyalah mimpi belaka, dan itu harapan Bagas.
***
Tergesa-gesa Arum menuju ruang tindakan. Tepat di depan ruang operasi terlihat Surya sedang mondar-mandir menunggu kabar akan kondisi istrinya.
Arum datang dengan wajah memerah. Dia menahan emosi ketika mengetahui mamanya dalam kondisi yang kritis lantaran kecelakaan itu.
"Gimana kondisi mama?"
"Kamu tunggu, ya, sabar."
"Sampai kapan harus sabar? ini pasti gara-gara Bagas, semuanya menjadi berantakan. Aku membencinya lebih dari apapun."
"Kamu tidak seharusnya mengucapkan itu kepada adikmu, sekalipun Bagas salah tapi seharusnya kamu bisa lebih bijak lagi."
"Aku tahu papa itu adalah ayah kandung dari Bagas, tapi dia sudah berbuat salah. Aku tidak menyukai hal itu."
"Arum, maafkan Bagas jika dia memang benar-benar membuat salah, tolong pahami situasi ini. Kamu jangan memperburuk situasi ini."
Suasana rumah sakit menjadi lebih tegang. Semuanya terlihat tegang antara Arum dan juga Surya saling memiliki pendapat yang menguatkan.
Surya membuka mata, nyatanya semua itu hanya ketakutan yang terlampaui dalam. Hanya ketakutannya yang mulai menguasai dirinya. Tidak ada Arum, hanya dia sendiri menunggu istrinya.
Di dalam kamar operasi, Rossa terus berjuang antara hidup dan mati. Menyelamatkan hidupnya juga janinnya, namun semuanya tidak bisa berjalan seimbang lantaran harus ada yang dikorbankan antara ibu atau bayinya.
Dalam kondisi tidak sadar, Rossa melihat putranya tersenyum kepada dirinya. Wajah Bagas begitu tampan, seakan bersinar membuat dia ingin memeluk putranya. Namun, itu semua hanya bayang semu dari efek obat bius yang telah membuat dirinya terlelap untuk sementara.
"Bagas itu kamu?"
Bagas hanya tersenyum tanpa berucap.
"Terima kasih, kamu anak mama yang lahir dari hati mama. Mama tidak akan pernah membedakan antara kamu dan juga saudara yang lain. Maaf, jika selama ini keberadaan mama membuatmu tidak nyaman."
"Maaf juga, Ma, kalau aku tidak bisa menjadi anak tiri yang baik untuk mama. Karena aku belum bisa menerima mama seutuhnya."
"Mama paham."
"Tapi aku janji, kelak aku akan menjadikan mama kedua untukku, yang juga aku sayang seperti aku menyayangi mama kandungku."
Rossa tersenyum puas lalu berlari memeluk putranya, seketika dia membuka mata terlihat terang lampu yang menyambutnya dalam kenyataan.
***