Chereads / My Love is Different / Chapter 20 - Berdamai dengan Diri Sendiri

Chapter 20 - Berdamai dengan Diri Sendiri

"Ma, gimana kondisinya Bagas?"

"Bagas, istirahat di kamar tapi tadi dia sudah makan. Kondisinya sudah lebih baik."

"Terus kata papa Surya, Bagas itu sakit apa, sih?"

"Maag angkut, jadi dia tuh enggak boleh telat makan dan enggak boleh kecapekan karena ada masalah juga di levernya masih harus diobservasi lebih lanjut."

"Astaga, masih muda tapi penyakitnya udah ngeri banget, ya, Ma?"

"Mulutnya, dijaga, kalau ngomong itu, ya, anak perempuan kok kayak gitu, sih, bicaranya?"

"Maaf, Ma, tapi emang benar, maksud aku usia produktif kayak gini seharusnya itu sehat enggak kayak gitu."

"Ceritanya panjang dan Mama enggak mungkin cerita untuk sekarang. Sudah, kamu mandi, ganti baju, terus kamu makan. Mama sama Papa mau ada urusan keluar sebentar, jadi kamu tolong jaga rumah juga."

"Tapi, eggak jagain Bagas, 'kan?"

"Iya, itu 'kan sudah include rumah dan Bagas karena di dalam rumah ada Bagas karena ini juga rumah Bagas."

"Iya, Ma, enggak perlu diperjelas aku cuma bercanda, kok."

"Sudah buruan mandi!"

"Iya, Mama, sayang."

Arum berlari menuju kamarnya lalu dia mengunci pintu. Mengambil pakaian dari almari lalu masuk ke kamar mandi, namun di sana dia tidak langsung mandi. Berpikir, kenapa Bagas yang sakit separah itu, padahal dia masih sangat muda dan dipikir dosanya juga masih belum terlalu banyak. Kenapa bisa mendapatkan penyakit yang luar biasa menyedihkan?

"Jadi, intinya aku nggak boleh marah-marah dong sama Bagas. Aku harus jaga perasaan dia. Dia lagi sakit dan itu bukan penyakit main-main. Aku pikir selama ini dia memang beralasan aja sakitnya itu, tapi ternyata ada masalah juga di levernya. Udah kayak orang sepuh aja, aku pikir selama ini dia itu cuek dan sok jahat karena dia ingin terlihat kuat biar enggak terlihat lemah gitu, deh, kayaknya," ucap Arum pada pantulan gambar dirinya di cermin.

"Tapi, sebentar kalau aku bersikap langsung balik ke dia, ya, dia 'kan selalu marah-marah sama aku malah berkesan aneh. Berarti aku harus tahu kelemahan dia di mana dan aku akan mengambil hal itu sebagai kunci untuk bisa berbaikan dengan Bagas. Walaupun berat tapi aku harus menjalaninya. Aku mau mama bahagia papa Surya juga bisa bahagia melihat anaknya akur satu sama lain. Mimpiku sangat mulia!" Seru Arum masih pada pantulan gambar dirinya di cermin.

Di lain tempat, di kamar, Bagas sedang melihat foto masa kecilnya bersama Marina. Dia masih terbawa suasana ingin rasanya kembali ke masa itu. Di mana masih ada Marina yang selalu menemaninya untuk bermain, namun seiring berjalannya waktu semua berubah. Apalagi setelah ayahnya bercerai, intensitas bertemu mamanya pun sangat kecil dan itu yang terus-menerus Bagas sesali.

Tidak ingin terlarut dalam kenangan masa lalu, Bagas menutup album kenangan foto itu. Dia keluar dari kamar untuk menghirup udara segar agar tubuhnya semakin bugar. Bagas menuju ke ruang makan, melihat ada banyak menu pilihan makanan di meja, namun tidak ada satupun yang membuatnya ingin duduk dan makan di sana.

"Udah baikan?" tanya Arum yang baru selesai mandi keluar dari kamarnya.

"Kamu bisa lihat enggak, emang aku masih tiduran terus?"

"Ya, aku tuh tanya, harusnya dijawab, bukan balik tanya, anak pintar!"

"Jangan, sok jadi kakak yang baik, deh!"

"Emang aku kakak yang baik?"

"Enggak ada baik-baiknya!"

"Yang nolong kamu waktu pingsan itu siapa? Ya, aku, terus aku teriak, orang-orang bantuin bawa kamu ke klinik. Kalau aku enggak datang, ya, cuma di liatin aja, dipikir kamu tuh cuma pura-pura pingsan."

"Halusinasi?"

"Kok halusinasi?"

"Tahu deh, gelap," ucap Bagas sambil berlalu meninggalkan kakak tirinya itu.

Tidak ingin kalah, Arum pun mengikuti tiap langkah Bagas karena tujuannya ingin mendapatkan hati Bagas, agar mereka bisa berdamai di rumah itu. "Aku pengen ngomong sesuatu, nih, hal serius."

"Ya, ngomong aja, tinggal ngomong juga."

"Harus duduk dulu dong, menyangkut masa depan kita."

"Udah kayak orang mau nikah aja, menyangkut masa depan."

"Bagas, aku mohon, ya, kamu itu bisa ngasih waktu dua persen untuk serius, nanti sembilan puluh delapan persennya kamu bisa bercanda."

"Cepetan ngomongnya!"

"Gini, ya, di kampus itu banyak banget anak yang pastinya akan menjalin adik tingkat selama masa ospek. Jadi aku harap kamu tuh harus kuat di sana. Terus kamu tuh jangan merasa yang paling kecil dan bisa diintimidasi. Kamu sok kuat aja, terus sok hebat, itu biar kamu disegani di sana. Tips dan trik dari aku yang pernah aku terapin di tahun lalu, waktu aku masuk kayak gitu, enggak ada yang berani untuk ngebully aku."

"Tiga hari kedepan ospek, aku aja udah dapat surat dokter dan udah dikirim ke kampus sama ayah, otomatis enggak bisa ikut ospek."

"Syukurlah, itu malah yang lebih bagus daripada kamu dibully dan daripada kamu sakit lagi, itu malah bikin aku makin hawatir, Gas!"

"Kenapa, sih, khawatir? aku juga enggak apa-apa."

"Eggak tahu aja, kalau sebenarnya aku tuh enggak tega kalau lihat orang teraniaya, orang tersakiti, jadi aku sering merasa khawatir yang berlebihan. Paham enggak, sih, maksud aku? jangan besar kepala dulu, ya, jadi orang!"

"Terserah! aku enggak peduli!"

"Bagas, please, kita bisa 'kan berdamai? kita itu adik dan kakak lo, kok bisa sih, berantem terus kayak gini?"

Arum terus meyakinkan Bagas jika dirinya itu adalah orang baik yang tidak mungkin menyakiti adik tirinya beserta mamahnya pun juga sangat menyayangi Bagas. Walaupun hanya anak sambung yang sering tidak menghargai istri baru dari ayahnya, Rossa tidak ada kata menyerah. Dan untuk Arum terus memperjuangkan haknya untuk mendapatkan pengakuan dari Bagas sebagai kakak tirinya.

"Ingat, di mana-mana ibu tiri, kakak tiri, adik tiri, paman tiri, yang berbau tiri, itu pasti jahat. Aku takut aja, mungkin habis ini kamu mau ngasih racun di minuman yang mau aku minum, serem banget, 'kan?"

"Fix, ini anak kebanyakan nonton sinetron, pikirannya udah macem-macem. Enggak mungkinlah, aku melakukan hal kayak gitu."

"Aku masih bilang 'mungkin' dan belum pasti terjadi."

"Berarti enggak akan terjadi, aku tuh sebenarnya dari awal pengen banget lebih dekat dengan kamu, Gas, gimana pun juga kamu itu adik aku tercatat di kartu keluarga."

"Dan kamu adalah kakak tiri aku yang tidak pernah aku akui karena usia kita cuma selisih tujuh bulan, jangan berkata-kata yang macam-macam denganku dan jangan cerewet lagi suara kamu bikin telingaku sakit."

"Whatever, aku akan selalu cerewet demi kebaikan kamu, Bagas, karena kamu belum pernah merasakan kehilangan yang sesungguhnya."

"Apa yang kamu maksud, kehilangan apa?"

***