"Bagas, tolong berhenti!"
Bagas terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan dari mama sambungnya itu.
"Bagas, tolong, kamu bisa 'kan berhenti sebentar. Mama mau ngomong sesuatu. Mama mau menjelaskan semuanya biar tidak ada kesalahpahaman di antara kita."
"Untuk apa di jelaskan? semuanya juga sudah jelas. Aku lebih baik pergi dari rumah, tinggal bersama mama kandungku karena hidup seperti ini rasanya seperti di neraka."
"Ya, kalau gitu mama minta maaf kalau mama ada salah, kamu harus mengerti posisi mama saat ini seperti apa, tapi kalau memang kamu tidak memahaminya, ya, biarkan mama yang memahami posisi kamu tapi kamu jangan protes untuk semua hal yang akan mama larang dan yang akan mama inginkan."
"Aku enggak paham dengan apa yang kamu ucapkan, terlalu sulit untuk aku pahami," ucap Bagas lalu kembali berjalan untuk meninggalkan ibu tirinya itu.
Rossa tidak ingin menyerah dia tetap berjalan untuk mengikuti ke mana langkah Bagas pergi . Dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang dimiliki. Pasti sulit untuk Bagas bisa memahami apa yang dia inginkan, pasalnya tidak semua anak mau menerima ibu tiri yang seakan-akan memberikan kesan menakutkan dikali pertama perjumpaan.
Bagas tergesa lari dan tanpa melihat sekitar dia langsung menyebrang menuju jalan yang lain, namun dari arah berlawanan ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Tidak sempat mengerem, hingga akhirnya Rossa yang mengetahui situasi itu segera mendorong Bagas hingga tersungkur dan dia pun juga terjatuh. Nyawa Bagas selamat berkat Rossa.
Rossa segera bangkit lalu melihat bagaimana kondisi putranya. Dia tidak menghiraukan apa yang terjadi pada dirinya. Semua terjadi dengan sangat cepat, seperti hanya beberapa detik saja dan mobil itu pun pergi tanpa mau bertanggung jawab.
"Kamu enggak apa-apa, 'kan?"
Bagas bingung, mulutnya terkunci. Dia tidak paham harus memulai dari mana. Dia juga kaget mengapa Rosaa begitu menyayanginya bahkan rela mengorbankan nyawa untuk anak tiri yang tidak pernah menganggapnya ada. Wajah Rossa memucat, seakan takut melihat kondisi Bagas yang sepertinya tidak baik-baik saja, tanpa dia sadari daraah segar terus mengalir menembus dari balik rok yang dia kenakan.
"Seharusnya jangan tanya kondisiku, lihat kondisi mu sendiri," ucap Bagas sambil menunjuk ke arah rok yang Rossa kenakan.
Betapa kagetnya Rossa Ketika mengetahui hal itu. Tidak dapat berucap, air matanya mengucur dengan deras lalu dia terus memegangi perutnya. Seperti ada sesuatu yang Rossa takutkan. Melihat kondisi itu Bagas segera membantu Rossa untuk bangkit dari tempatnya terjatuh. Namun, sepertinya Rossa tidak dapat berjalan jauh dengan kondisinya saat itu.
Surya yang ternyata melihat setiap adegan yang terjadi dengan anak dan juga istrinya dibuat takut. Dia segera datang untuk menolong Rossa, melihat bagaimana kondisi istri yang sangat dia cintai. Nyatanya semuanya sepertinya akan sia-sia. Rossa hanya bisa menangis lalu Surya segera membopong istrinya untuk mendapatkan pertolongan pertama agar kondisinya lebih baik, tanpa menghiraukan Bagas yang sepertinya juga terluka.
"Rossa kamu harus bertahan, kita akan segera mendapatkan pertolongan."
"Aku pikir ini semua akan sia-sia, tapi kita harus berjuang sampai akhir. Perutku sakit sekali," ungkap Rossa sambil terus memegangi perutnya yang terasa sangat nyeri.
"Kenapa kamu harus melakukan hal itu? seharusnya kamu biarkan saja hal itu terjadi. Jangan mengorbankan dirimu sendiri dan jangan pernah mengorbankan calon anak kita."
"Dia juga anakmu yang membutuhkan pertolongan. Sebagai seorang ibu, aku tidak bisa tinggal diam, lebih baik nyawaku menjadi taruhannya daripada harus melihat Bagas terluka."
"Kamu jangan banyak bicara, kita harus segera ke rumah sakit!"
"Jangan pernah kamu marah kepada Bagas. Ini bukan salahnya, dia tidak pernah menginginkan aku untuk menolongnya, tapi aku sendiri yang datang kepadanya. Tolong jangan pernah kamu sekali pun membentak dia."
"Iya, aku tidak akan pernah melakukannya," sahut Surya hanya ingin menenangkan istrinya yang masih kacau dan terus memikirkan Bagas tanpa menghiraukan kondisinya yang semakin lemah.
***
"Apa yang terjadi pada mama?" Tanya Arum dengan ketakutan.
"Tadi Mama kamu mengalami kecelakaan."
"Sekarang kondisi mama gimana?"
"Arum, kamu harus bisa menerima segala kenyataan yang akan terjadi dan semoga mama kamu baik-baik saja." Surya berusaha menenangkan putri sambungnya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka.
"Maksud Papa apa, ya? atau mungkin mama ...," kalimat itu terputus dengan paksa lantaran Arum tidak ingin membuat situasi menjadi lebih rumit.
"Saat ini yang terpenting adalah berdoa, bagaimana biar mamamu bisa melalui masa kritisnya dan semuanya akan baik-baik saja, lagipula mungkin ini teguran untuk kita harus bisa menjaga mama Rossa lebih baik lagi."
"Iya, Pa, aku pikir selama ini banyak waktu yang terbuang sia-sia dan aku enggak pernah memikirkan kondisinya mama, rasanya sakit jika mengetahui hal ini."
"Yang sabar, ya, Arum, ini semua ujian."
"Apa kondisi mama separah itu hingga membuat mama harus mendapatkan penanganan operasi?"
"Maaf, Papa tidak bisa menjelaskan. Kita tunggu bagaimana penjelasan dari dokter."
Pintu ruang tindakan operasi terbuka. Seorang dokter perempuan dan juga tiga perawat ke luar dari sana. Wajahnya tidak begitu membahagiakan. Arum sekilas dapat mengetahui mungkin kabar buruk yang akan segera dia terima sehingga sekuat tenaga dia berusaha bisa memahami kondisi menyakitkan ini.
"Keluarga Ibu Rossa?" tanya dokter itu dengan nada yang tegas.
"Iya, saya suaminya. Ada apa, ya, Dok?"
"Mohon maaf, Pak, sebelumnya, memang kondisi Ibu Rossa cukup kritis dan kita harus memberikan tindakan yang terbaik untuk beliau."
"Maksudnya kritis dan tindakan terbaik itu apa, Dok?"
"Begini, Ibu Rossa sedang mengandung dan maaf kami tidak bisa menyelamatkan janin yang ada di dalam rahim ibu Rossa. Karena kecelakaan tersebut membuat pendarahaan yang sangat banyak, sehingga kami harus berusaha menyelamatkan antara janin atau Ibu Rossa. Tetapi, kalau kita menyelamatkan janin, Ibu Rossa juga tidak akan selamat karena janinnya juga bermasalah, tetapi kalau kita menyelamatkan Ibu Rossa, beliau mungkin bisa memiliki anak kembali."
Surya tidak dapat berucap mulutnya kaku, pikirannya melayang entah ke mana. Dia tidak pernah menyangka akan kehilangan anak yang dikandung oleh Rossa secepat itu. Rasanya ingin marah, ingin memukul, ingin melakukan hal di luar nalar, namun apa boleh buat, dia harus menjaga emosinya demi menjaga Rossa agar bisa menerima kondisi yang saat ini terjadi kepadanya.
"Tapi, maaf sebelumnya, sekalipun Ibu Rossa bisa kembali mengandung pasti akan sulit untuk mempertahankannya kembali karena usianya yang tidak lagi muda dan juga kondisi rahimnya yang semakin melemah," papar dokter dengan nada sendu seakan ikut berempati karena kondisi Rossa yang memburuk.
"Terima kasih dokter, yang terpenting istri saya bisa selamat untuk kemudian kita akan membicarakannya lagi." Surya berusaha tegar untuk dirinya dan Rossa, sekalipun rasa kecewanya begitu dalam kepada Bagas.
"Baik kalau begitu, saya permisi, jika kondisi Ibu Rossa sudah memungkinkan akan segera dipindahkan ke ruang rawat, terima kasih."
"Jadi mama hamil? Kenapa tidak ada yang cerita?"
"Iya, Arum, seharusnya malam ini menjadi kabar terbaik untuk kita, bukan duka," sahut Surya tanpa semangat.
"Pa, apa ini semua karena Bagas?" tanya Arum memiliki firasat yang tidak baik dengan adik tirinya itu.
***