"Syukurlah Surya, kamu sudah pulang."
"Gimana kondisinya Bagas?"
"Ya, sudah lebih baik, tenang saja, dia lagi istirahat di kamarnya, jangan diganggu."
"Terima kasih Rossa, kamu sudah merawat Bagas dengan sangat baik. Aku sangat beruntung mendapatkan istri seperti kamu, sabar, penyayang, dan penuh kasih sayang untuk anak-anak."
"Sudahlah, jangan terus memuji, nanti aku bisa besar kepala. Kita jalani yang ada saja saat ini. Jangan pernah menganggap aku lebih baik atau kamu lebih buruk, semuanya sama saja, demi anak-anak kita, harus bisa lebih baik bersama."
Surya memeluk Rossa sebagai tanda terima kasih telah sabar merawat Bagas. Ada kehangatan yang Surya terima dari pelukan itu. Dia menganggap Rossa memang wanita yang kuat dan tangguh, tidak mudah rapuh dengan segala situasi dan kondisi yang ada.
"Terima kasih, ya, kamu tidak perlu berlebihan. Itu kewajibanku untuk menjaga kamu dan anak-anak."
Pelukan itu terlepas dengan lembut lalu mereka saling tatap seperti layaknya anak usia tujuh belas tahun. Cinta mereka memang membara dalam jiwa dan raga untuk saling melengkapi satu sama lain.
"Ya, sudah, kamu mandi dan ganti baju dulu. Kita akan makan bersama, aku tunggu, ya, di meja makan."
"Iya, istriku sayang, aku mandi dan ganti bajunya dulu, ya, karena baunya udah asem banget."
"Itu kamu tahu, gimana, sih?"
Mereka saling bercanda satu sama lain. Biduk rumah tangga yang sangat Surya rindukan, dulu bersama Marina tidak pernah merasakan hangatnya berumah tangga lantaran mereka menikah karena sebuah kecelakaan. Itu sulit untuk Surya terima, ini yang menjadi alasan dari Surya masih menyembunyikan rahasia kenapa dia menceraikan Marina.
***
"Kamu jangan pulang dulu, aku mau ngomong sesuatu."
"Ngomong aja sekarang, ngapain, sih, nunggu nanti?"
"Kenapa, sih, kamu gitu banget tadi di depan anak-anak, bikin malu tahu. Enggak perlu kamu overacting kayak gitu. Aku juga bisa kok menerima kalau memang aku salah, aku juga akan minta maaf dengan Bagas."
"Yoga, aku mohon, kita harus profesional walaupun kita sepasang kekasih karena kita enggak harus menunjukkan kalau kita pacaran kepada semua orang. Aneh saja rasanya kalau ada sebuah perasaan dalam sebuah profesionalitas di BEM."
"Arum, jangan bikin aku merasa muak denganmu. Apa yang kamu lakukan tadi sudah di luar batas."
"Hanya karena masalah sepele, kamu bisa semarah ini denganku. Asal kamu tahu, ya, selama ini aku udah makan hati, aku udah benar-benar ingin hubungan ini berakhir, tapi kamu selalu bilang hubungan ini harus tetap berjalan walaupun kita tidak saling mencintai. Emang kamu pikir aku sanggup menjalani hubungan seberat ini, sulit untuk aku menjalaninya."
"Terus kamu mau apa kita putus?" tantang Yoga yang semakin terbakar emosi.
"Aku enggak akan semudah itu minta putus karena aku tahu kalau kita putus risikonya akan lebih besar. Aku akan didepak dari BEM universitas dideportasi ke lembaga yang lain, padahal aku di sana untuk memperjuangkan hak mahasiswa yang mulai terenggut."
"Itu kamu pintar untuk mengartikannya. Aku punya kartu mati kamu. Jadi, kapan pun bisa kupakai sesuka hatiku."
"Ga, aku juga punya kartu matimu yang bisa kupakai kapanpun aku mau."
"Apa maksudmu?"
"Kamu bisa naik menjadi presma Di BEM universitas itu karena pekerjaan kotor dari semua teman-temanmu 'kan? Aku sudah tahu dari awal sebenarnya kamu menduduki posisi kedua. Tapi, entah mengapa dan apa yang terjadi kamu menjadi nomor satu. Aku pikir ada kecurangan di situ dan benar adanya surat suara itu memang sengaja kamu tukar agar kamu bisa memenangkan pemilihan presma waktu. Semua bukti itu ad di aku.
"Aku hanya berambisi untuk menjadi pemenang. Jadi, segala cara harus aku lakukan."
"Ya, sudah, kalau gitu kita impas. Aku di BEM untuk membela mahasiswa-mahasiswa yang keadilannya direnggut, dan kamu memimpin anak buahmu yang kurang memiliki etika-etika itu."
Nyatanya ini alasan mengapa mereka berpacaran. Sedikit unik dan aneh, jika di depan anak-anak terlihat harmonis tetapi di belakang mereka banyak percekcokan yang terjadi. Visi misi mereka pun berbeda, Arum yang memiliki visi misi untuk membantu mahasiswa yang kehilangan keadilan di kampus berbanding terbalik dengan Yoga yang ingin menjadi presma BEM karena ambisinya. Sangat jelas hubungan mereka memang tidak sehat, namun tetap mereka perjuangkan untuk citra masing-masing.
"Hei, kalian lagi ngapain? Tanya seorang mahasiswa dengan rambut cepak coklat yang saat itu tidak sengaja lewat di depan mereka.
Yoga dan Arum segera memasang wajah ramah, seakan tidak terjadi masalah yang berarti. Senyum yang mereka tampilkan hanya kepalsuan. Namun, sejauh ini kepalsuan itu yang telah membuat mereka tetap bertahan dalam kerasnya dunia kampus.
"Kayak kamu enggak pernah aja, bro, Arum 'kan pacarku, terserah dong aku mau ngapain sama dia, ya, 'kan sayang?"
"Iya, aku lagi curhat gitu sama Yoga, ada banyak masalah ketika ospek ini. Tapi, dia gentlemen banget," ucap Arum sambil tersenyum ke arah Yoga.
"Aku salut sama kalian, kalau di forum kalian tidak seperti sepasang kekasih, tapi kalau di luar forum kalian benar-benar romantis. Hebat, kapan, ya, aku bisa punya pacar kayak gitu?"
"Ujiannya berat, bro, kalau mau punya pacar sesama anggota BEM bisa sakit hati, makan hati, kalau benar-benar tidak diniati dan dilandasi profesionalitas." Yoga mencoba memberikan arahan.
"Oke, bro, kalau gitu aku ke perpustakaan dulu."
"Oke, siap."
"Aku enggak pernah ngomong gitu. Kamu bisa ngomong seperti itu di depan dia? seakan-akan udah paling bener, yang paling tepat memberikan arahannya, tapi nyatanya kita sama-sama menyembunyikan keburukan itu."
"Sudahlah, lupakan!" ucap Yoga sambil pergi meninggalkan Arum yang masih dongkol dengan perlakuan kekasihnya itu.
"Arum?" panggil Dina dari arah laboratorium.
"Iya, kenapa?"
"Nanti kamu langsung pulang apa ikut rapat di BEM dulu? soalnya mau ada arahan buat ospek besok dan jangan sampai hal serupa terjadi lagi pasti akan membuat nama BEM semakin buruk."
"Aku pulang aja, aku pengen cepet-cepet tahu gimana kondisinya Bagas. Gimana pun dia 'kan adik tiriku."
"Emang semua anak udah tahu kalau Bagas itu adik tiri kamu?"
"Belum, sih, tapi nanti juga mereka tahu dengan sendirinya."
"Iya, takutnya kalau kamu beritahu sekarang malah dikira kamu tadi itu overacting membela Bagas karena ada ikatan saudara kalau seperti ini biar dirasa semuanya netral benar 'kan?"
"Aku pikir juga seperti itu, untuk sementara diam saja, sampai waktu yang tepat untuk tahu semuanya, jika Bagas itu adalah adik tiriku."
"Ya, sudah, kalau gitu aku juga enggak ikut rapat deh, mau cepat-cepat pulang. Aku capek banget, kalaupun rapat mungkin hasilnya, ya, itu-itu aja."
"Itu kamu paham, kenapa sih harus diperjelas lagi?"
"Jangan sampai karena hal ini hubungan kamu dan Yoga menjadi renggang, ya."
"Mungkin saja."
***