"Aku tidak berambisi untuk membela siapapun, tapi wajar adanya jika adik tingkat yang sedang kesusahan harus kita bela untuk dia mendapatkan keadilan seadil-adilnya," ucap Arum dengan lantang.
"Tapi, tidak sepantasnya hal itu kamu lakukan," sahut Andi tidak ingin kalah.
"Lantas seperti apakah keadilan di kampus? Ini wajar adanya jika ada salah satu calon mahasiswa yang sakit harus kita rawat dengan baik, aku pikir seperti itu." Arum tetap membela Bagas apapun yang terjadi, namun dia tidak secara terang-terangan untuk menyebutkan nama itu.
"Sudah tidak perlu berdebat lagi yang terpenting saat ini jika, ada calon mahasiswa yang mengatakan dia sakit, apa dia meminta pertolongan, kita harus segera memberikan tindakan terbaik, jangan sampai masalah ini terulang lagi," ucap Yoga mencoba menengahi perselisihan antara Arum dan Andi.
Suasana di ruang BEM semakin tidak kondusif dengan Arum yang bersikeras agar Yoga dan Andi meminta maaf di depan Bagas. Andi juga Yoga merasa tidak bersalah atas apa yang telah mereka lakukan. Nyatanya hal itu malah membuat Arum tersulut emosi.
"Enggak masalah ini selesai, tapi aku tetap meminta kalian berdua untuk meminta maaf secara langsung kepada Bagas. Dia akan merasa tetap diperhatikan. Jangan, seperti ini, seakan tidak ada lagi harapan untuk bisa berbuat baik tapi masih banyak peluang besar untuk ambil. Peluang itu, meminta maaf lah pada Bagas."
"Baik, kami berdua akan meminta maaf kepada Bagas. Apa yang kamu inginkan akan kami turut kalau itu bisa membuat nama baik kami tetap terjaga," sahut Yoga menahan emosi.
"Terima kasih. Semoga apa yang kamu lakukan bisa berdampak baik kedepannya."
"Arum kamu berani banget sih ngomong kayak gitu, di mata semua orang. Dia itu ketua BEM lo," ucap Dina sahabat Arum yang diam-diam takut jika terjadi sesuatu kepada Arum.
"Santai aja," sahut Arum dengan enteng.
"Untuk sementara rapat terbatas ini saya akhiri. Semoga tidak ada masalah di kemudian hari. Andi kamu ikut aku untuk langsung ke klinik minta maaf kepada Bagas." Ajak Yoga dengan tatapan penuh kebencian.
"Beres," sahut Andi dengan cepat.
Rapat terbatas pun telah di akhiri semuanya keluar dari ruangan itu kecuali Arum dan Dina yang masih tinggal di sana. Pikiran Arum terus terseret kepada Bagas yang masih di klinik. Rasanya apa yang dia lakukan tidak ada apa-apanya. Bagaimanapun juga, walaupun Bagas menolaknya, tapi dia adalah bagian dari keluarga Arum yang harus dilindungi.
Arum menelpon mamanya untuk menggambarkan kondisi Bagas agar segera dijemput. Harapan Arum agar Bagas bisa beristirahat di rumah. Supaya kondisinya cepat pulih. "Halo, Mama?"
"Iya, Sayang, ada apa?"
"Setelah pingsan dan mendapatkan perawatan di klinik, kondisi Bagas udah lebih baik. Kalau bisa jemput Bagas di kampus. Biar Bagas bisa istirahat di rumah. Bagas baik-baik aja, tapi aku pikirin dia lebih baik istirahat di rumah, biar cepat sembuh. Aku takut aja nanti papa Surya marah kalau Bagas sakitnya semakin parah."
"Iya, habis ini Mama jemput ya, habis meeting. Mama langsung ke kampus, sekalian besok lagi kamu harus bisa jaga Bagas, jangan sampai hal seperti ini terulang kembali. Mama itu enggak tega lihatnya, Bagas selalu dianggap sebelah mata dan remeh padahal Mama pikir Bagas itu anak yang baik."
"Iya, Ma, aku tunggu, ya, bye!"
"Iya, sayang, bye!"
"Kamu telepon siapa, sih? kayaknya penting banget. Hubungan kamu sama Bagas apa, ya? Kok kamu nyuruh mama kamu buat jemput Bagas?"
"Bagas adik tiriku, mama aku 'kan kemarin nikah dan ternyata papa tiri aku itu punya anak laki-laki, ya. Umur kita cuma selisih tujuh bulan, sih, tapi aku sebagai kakak harus bisa lindungi dia dong."
"Aku salut banget sama kamu, kapan aku bisa jadi kakak yang baik untuk adik-adik?"
"Makanya jangan suka keluyuran, banyakin waktunya di rumah, baru sama adik-adik kamu biar hati itu tentram dan damai."
"Baik akan saya lakukan Arum sang motivator."
"Kamu bisa aja, yuk, kita lanjutin tugas kita."
"Ayo!"
Arum dan Dina kembali melakukan tugasnya untuk mengawasi jalannya ospek, dengan melihat apakah ada yang sakit atau membutuhkan pertolongan. Mereka akan segera membantu calon mahasiswa baru tersebut.
Dari kejauhan Arum melihat, jika Yoga dan Andi masuk ke dalam ruang klinik. Hatinya cukup tenang. Semoga apa yang Yoga dan Andi melakukan yang terbaik untuknya. Dan semoga saja Bagas bisa memaafkannya, lantaran selama ini Bagas selalu keras kepala, jika diingatkan akan hal-hal yang baik.
"Gimana kondisi kamu?" tanya Yoga dengan sok cool.
"Sudah baikan, udah enggak apa-apa, maaf ya, udah bikin repot, udah bikin gempar satu kampus."
"Ya, kita yang minta maaf juga, karena menerantarkan kamu yang sedang sakit," ucap Yoga sedikit menyesal.
"Aku juga minta maaf kalau tadi enggak dengerin apa yang kamu ucapkan, tapi 'kan tadi aku udah ngasih kamu obat. Aku pikir semua akan baik-baik aja, tapi kamu malah pingsan, malah bikin masalah baru buat kamu."
"Iya, aku enggak tahu kalau ternyata tubuh aku enggak bisa menerima obat itu kalau sudah telat."
"Jangan pernah diulangin lagi," tambah Yoga dengan wajah gusarnya. "Aku harap semuanya sudah beres, semuanya sudah clear, tidak ada lagi masalah di antara kita. Jangan pernah melapor kepada rektor atau dosen ataupun penanggung jawab kegiatan ospek ini karena itu pasti akan mencoreng nama baik BEM."
Terang-terangan Yoga mengatakan hal itu. Dia tidak ingin namanya menjadi buruk di mata para petinggi kampus. Bagas memahami hal itu, mulai bisa menerima. Nyatanya, Yoga meminta maaf hanya untuk pencitraan agar dia tidak ternilai salah di mata Bagas dan Arum.
"Iya, aku juga enggak akan lapor kepada mereka. Ngapain juga lapor hanya masalah sepele, seperti ini, kenapa harus membawa-bawa petinggi kampus. Tenang aja, aku enggak akan seember itu kok, Kak Yoga."
"Oke, kalau gitu kami ke luar dulu, kalau ada apa-apa langsung bilang."
"Iya, terima kasih."
Yoga dan Andi keluar dari ruang klinik itu dengan wajah yang dongkol. Mereka seakan tidak bisa tulus untuk meminta maaf kepada Bagas. Namun, di balik itu semua Arum sudah memahami, jika memang karakter Yoga adalah cowok yang keras kepala, jadi akan sulit untuk meminta maaf atas kesalahannya sendiri.
"Kalau enggak gara-gara Arum, aku enggak akan melakukan hal ini. Tapi, aku harus memahaminya juga di depan forum. Dia berani kayak gitu, kayaknya dia sudah kelewat di luar batas, deh."
"Aku pikir juga gitu, dia sok berani banget emang siapa, sih, Bagas? kayaknya dilindungin banget, udah kayak adik dan kakak, aja, deh."
"Ya, emang Bagas itu adiknya Arum," sahut Yoga tanpa sadar.
"Apa?" Andi tidak percaya begitu saja.
***