Chereads / My Love is Different / Chapter 8 - Adik Tiri Menyebalkan

Chapter 8 - Adik Tiri Menyebalkan

Malam harinya jamuan makan malam telah tersedia. Rossa banyak memasak makanan yang dia ketahui, terlebih Surya meminta di masakan menu khas jawa dan Rossa pun bisa melakukannya dengan baik, dibantu Bibi Surti. Rossa dengan lihai meramu dan meracik berbagai makanan untuk disajikan di meja makan malam itu.

Arum pun ikut andil dalam membantu mamanya menyelesaikan tugas memasak malam itu. Arum dengan teliti menata piring dan sendok, juga gelas agar terlihat cantik untuk dilihat. Arum senang bisa memiliki keluarga kembali lantaran selama ini kehidupannya cukup sepi, hanya dirinya dan mamahnya.

"Udah siap, nih, Ma. Aku senang banget kita bisa nyiapin makan malam kayak gini lagi, waktu terus berjalan, aku udah rindu banget masa-masa kayak gini."

"Mama juga rindu banget bisa masak, bisa makan bareng keluarga lagi. Oh, iya, tolong dong kamu panggil Bagas."

"Mama bisa nyuruh aku apa aja, tapi jangan nyuruh aku buat berhubungan dengan si Bagas. Aku enggak mau panggil dia, hati aku tuh masih dongkol banget waktu dia ngusir aku dari kamar, masih ada rasa sakit hati di hatiku, Ma."

"Arum, jangan seperti itu, dia kan adik kamu, harus bisa jadi kakak yang baik. Jangan egois, Bagas kan memang mungkin dia masih belum bisa menerima kondisi pernikahan ayahnya, terlebih dia kan juga baru sakit, jadi kamu harus bisa memahaminya." Rossa berusaha mencoba membujuk sang putri agar mau memanggil Bagas yang berada di kamar.

"Iya, Ma, aku enggak ngebantah mama kok, ya, udah, aku ke kamar Bagas dulu." Arum segera berjalan ke arah kamar Bagas, hingga sampai di depan pintu kamar, dia mengetok tiga kali."

Tok, tok, tok!

Tidak ada jawaban, Arum pun akan mengetuknya kembali, namun tiba-tiba pintu terbuka. Betapa kagetnya Arum melihat Bagas yang waktu itu terlihat sangat tampan bagaikan aktor Korea, tetapi Arum tidak mau menunjukkan kekagumannya. Dia tetap bersikap dingin kepada adik tirinya itu."

"Kenapa?" Tanya Bagas tidak lantas memaki kakak tirinya.

"Aku disuruh mama manggil kamu, kita harus makan malam sebagai keluarga, harus terlihat bahagia dengan makan malam bersama," ucap Arum berusaha selembut mungkin agar Bagas mau mengikuti perintahnya."

"Aku lagi enggak lapar, lagipula aku lagi ada kerjaan."

"Kerjaan apa, coba, malam-malam gini?"

"Tuh!" Bagas menunjuk ke arah laptop yang ada di meja belajarnya, terlihat dia sedang mengutak-atik video.

"Oh, kamu mau buat video gitu, mau diupload di YouTube?"

"Lah, itu kamu tahu, kenapa harus tanya?" sahut Bagas dengan ketus.

"Aku tuh enggak tanya, cuma memastikan aja. Bagas aku mohon, ya, jangan bikin aku darah tinggi ketika tinggal di rumah ini. Aku ke sini hanya mau ngajak kamu makan malam, kalau kamu enggak mau makan malam bareng keluarga, ya, udah enggak apa-apa, enggak usah emosi, oke!"

"Aku juga enggak lagi emosi, emang pembawaan aku kayak gini. Jadi jangan salah paham dan salah arti yang dikira aku selalu emosi." Bagas menyampaikan alibinya dengan wajah yang sedikit dipaksakan untuk tersenyum.

Percekcokan antara kakak dan adik tiri memang tidak bisa dihindari begitu saja. Terlebih Bagas masih sangat membenci Rossa dan Arum yang masuk ke dalam keluarganya tanpa seizin dirinya. Dia pun juga tetap menyalahkan Surya karena tidak bisa menjadi ayah yang memberikan panutan untuk dirinya. Jadi, menurut Bagas tidak ada salahnya melawan Rossa dan Arum karena memang mereka tidak pernah diharapkan kehadirannya oleh Bagas.

"Ya, udah, terserah kalau enggak mau makan malam juga enggak apa-apa, yang marah nanti juga mungkin papa Surya. Aku mau turun lagi."

"Ya, udah, pergi aja! Siapa juga yang melarang kamu pergi."

Arum berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Hatinya masih kacau membenci adik tirinya yang tidak bisa memposisikan diri sebagai keluarga. Rasanya kata keluarga sangat jauh dari kesan sempurna untuk mereka. Baru beberapa hari menjalani kehidupan bersama keluarga lain, membuat Arum harus memposisikan diri menerima kelebihan dan kekurangan anggota keluarga yang lain itu.

Sesampainya di ruang makan, Rossa melihat putrinya terlihat lesu, tidak bersemangat seperti beberapa waktu yang lalu. Berusaha mencoba mendekati putrinya dan memberikan arahan untuk tetap tegar juga sabar dalam menghadapi segala ujian dalam keluarga baru mereka.

"Semuanya itu memang tidak bisa dipaksakan sesuai dengan kehendak kita, jadi Arum harus bisa untuk bangkit tegar dan tetap berjalan. Jangan menyerah dengan keadaan, kita tidak tahu bagaimana hati Bagas yang sebenarnya. Mungkin saja dia masih kecewa atau dia belum bisa menerima kita seutuhnya, padahal Bagas itu anaknya baik loh."

"Mama tahu dari mana kalau Bagas anak yang baik?"

Arum tidak bisa mempercayai begitu saja ucapan mamanya yang menyatakan jika Bagas anak yang baik. Selama ini Bagas selalu membuat masalah ketika ada dirinya. "Apakah itu bisa disebut anak yang baik? Apakah kriteria anak yang baik selalu membikin orang lain disekitarnya merasa tidak nyaman dan merasa marah? Bagas selalu seperti itu."

"Mama tahu dari papa Surya. Dia bilang kalau Bagas itu anaknya baik, dia itu penyayang terus anaknya itu suka alam gitu, suka binatang, suka lihat pemandangan, tapi setelah perceraian antara papa Surya dan mamahnya, sedikit demi sedikit hidup Bagas berubah. Kehidupan Bagas menjadi tidak karuan, menjadi anak yang pemarah dan seakan tidak menerima kondisi itu."

"Kok Mama bisa, ya, sesabar itu menceritakan tentang kronologinya Bagas. Aku aja masih emosi banget."

"Arum, kita itu enggak boleh ada dendam. Kita harus saling menerima kelebihan dan kekurangan anggota keluarga yang baru. Jangan seperti itu, ya, jangan suka berburuk sangka. Mama tahu pasti Arum bisa, ya."

Rossa tetap mendukung sang putri untuk tidak membenci adik tirinya. Sekuat tenaga Rossa meyakinkan Arum, jika Bagas itu anak yang baik dan tidak sepantasnya dibenci. Lambat namun pasti, sedikit demi sedikit, Arum baru mulai mempercayai pembicaraan mamanya yang menyatakan jika Bagas adalah orang yang baik. Namun, malam itu dia masih sedikit kecewa dengan perlakuan Bagas, jadi wajahnya pun tidak seceria hari-hari yang lalu.

"Wah, makan malamnya sudah siap, ya?"

"Iya, sudah siap kok, Pa," sahut Rossa dengan nada bahagia.

"Di mana Bagas, memangnya dia tidak ikut makan malam di sini?"

"Tadi udah aku panggil, Pa, tapi katanya lagi ngedit video, enggak bisa ditinggal," jawab Arum dengan tersenyum manis kepada papa tirinya itu.

"Ya, sudah, tidak apa-apa, kalau dia memang lagi ngedit video tidak perlu dipaksa."

"Memangnya Bagas enggak harus ikut makan malam dengan kita, apa?" tanya Arum yang merasa janggal papa tirinya tidak marah kepada Bagas yang tidak ikut acara makan malam.

"Dia memang tidak terlalu menyukai makanan seperti ini, lagipula makanannya agak berbeda, harus lebih lunak karena kondisi perutnya yang sedikit bermasalah."

"Memangnya Bagas sakit apa, ya, Pa?" tanya Rossa berhati-hati, takut saja menyinggung perasaan suami barunya itu.

Surya hanya tersenyum lalu menyendok nasi yang ada di piringnya dengan lahap. Dia tidak ingin bercerita untuk saat ini. "Nanti kamu juga tahu sendiri."

***