"Bagas kamu enggak apa-apa, 'kan?" Surya mulai khawatir melihat putranya yang wajahnya semakin memucat.
"Sakit, seperti menusuk ulu hatiku, aku nggak kuat, Yah."
Tiba-tiba Bagas terjatuh, dia pingsan. Namun, segera ditangkap oleh ayahnya. Marina yang melihat dari pintu rumahnya segera berlari untuk melihat keadaan sang putra, hatinya remuk redam melihat putranya sendiri terjatuh di depan matanya.
"Aku sudah bilang, jangan kamu beri dia makanan sembarangan, sekarang terjadi lagi."
"Jangan menyalahkan aku, aku memberinya makanan yang sesuai. Aku tidak mungkin meracuni anak kita."
"Minggir!" Surya langsung membopong Bagas untuk masuk ke dalam mobilnya.
Marina hanya dapat memandang dengan tatapan nelangsa. Dia tidak bisa melakukan perbuatan apapun kecuali melihat putranya dibawa pergi oleh mobil Pajero hitam milik Surya. Hatinya nelangsa tidak tega melihat putranya harus kembali sakit seperti itu, namun dia tidak bisa berbuat banyak karena Surya yang memegang kendali atas Bagas.
Kondisi Bagas yang terus menurun akhirnya membuat dirinya harus dilarikan ke rumah sakit besar, pasca meninggalkan rumah Marina. Surya cukup marah dengan perbuatan Bagas kala itu, namun seketika lenyap ketika melihat putranya tidak berdaya karena penyakit lambung yang dia derita. Sepanjang perjalananpun Surya terus mendampingi putranya, bahkan dia berharap Bagas bisa segera siuman sebelum sampai di rumah sakit. Nyatanya, perjalanan lebih kurang tiga jam tidak membuahkan hasil. Bagas pun tetap pingsan walau tadi sudah sempat dibawa ke rumah sakit terdekat, namun Bagas tidak juga sadarkan diri di sana. Dia hanya mendapatkan sebotol infus dan suntikan vitamin untuk memberinya tenaga sampai tiba di rumah sakit Jakarta.
Setibanya di rumah sakit Jakarta, Bagas mendapatkan perawatan dengan baik. Dia langsung ditangani oleh dokter yang selalu memantau kondisi Bagas. Surya duduk di kursi tunggu sambil harap-harap cemas menantikan kabar putranya itu. Tidak sekali dua kali Bagas seperti itu, kalau saja Bagas bisa lebih menjaga makanannya pasti hal itu tidak akan terjadi. Namun, namanya anak, pasti selalu mencoba hal baru untuk membuat orang tuanya bermain adrenalin.
Surya membuka ponselnya melihat folder foto, di sana terlihat istri barunya, Rossa, yang mengenakan baju pengantin sangat cantik didampingi oleh putrinya. Surya lalu berpikir jika Rossa juga harus mendapatkan kabar tentang anak laki-lakinya. Surya segera menghubungi Rossa via chat WhatsApp, tidak butuh waktu lama, Rossa menelepon suaminya itu, Surya segera mengangkatnya.
"Jadi, sekarang kamu udah di rumah sakit, gimana kondisinya Bagas? Aku takut banget terjadi sesuatu yang serius dengannya."
"Iya, aku ada di rumah sakit, tadi sempat aku bawa di rumah sakit terdekat tapi karena mungkin tidak ada dokter yang bisa menangani kondisi Bagas, akhirnya Bagas dilarikan ke rumah sakit Jakarta, sekarang sudah lebih baik."
"Syukurlah, aku bisa langsung lihat Bagas di rumah sakit?" Rossa tidak sabar untuk melihat kondisi putra sambungnya itu.
"Jangan dulu, aku pikir Bagas juga belum siap ketemu denganmu. Jadi, biarkan dia istirahat untuk beberapa saat lalu kalian bisa bertemu di rumah, itu harapan aku sih, lagipula kondisinya juga masih belum stabil, takut saja nanti dia malah kaget." Surya berusaha menenangkan Rossa, dia ingin suasana lebih baik dan tidak ingin menyakiti dua orang yang dia cintai saat ini, Rossa dan Bagas."
"Aku paham, bahkan pernikahan kita pun juga kurang mendapatkan restu darinya. Jadi, sepertinya aku memang bukan ibu yang diharapkan oleh Bagas."
"Jangan ngomong seperti itu, Bagas sayang kok padamu, pada semuanya, tinggal nunggu waktu yang tepat. Bukan tipe Bagas untuk pendendam, pasti dia bisa menerimamu dengan baik."
"Semoga, kalau begitu aku dan Arum langsung ke rumahmu ya, kita persiapkan jikalau dibutuhkan, kita siap langsung ke rumah sakit."
"Terima kasih Rossa, kamu memang istri dan ibu yang baik."
"Semoga, aku bisa diterima Bagas dengan baik pula. Aku tidak ingin menyakiti hati anak itu, namun aku juga tidak bisa memaksanya untuk menyukaiku."
"Ya, sudah, aku mau ke ruang administrasi untuk mengurus keperluan Bagas di rumah sakit."
"Kalau ada apa-apa langsung hubungin aku, ya."
"Pasti."
Klik.
Panggilan itu tertutup, Surya segera menuju ruang administrasi untuk menyelesaikan berkas admin yang harus dilengkapi guna untuk keperluan Bagas. Setelah semua sudah selesai, Surya menuju ruang rawat Bagas. Ruangan tiga kali tiga, dengan semua dinding berwarna putih memberikan kesan betapa Bagas sangat membutuhkannya untuk saat ini.
Surya perlahan datang untuk menyentuh tangan kanan Bagas yang terpasang infus. Tubuh putranya cukup kurus, sepertinya Bagas memang kurang mendapatkan perhatiannya selama ini. Bahkan, pipinya saja terlihat sangat tirus. Surya pengingat ketika dia masih berusia delapan belas tahun, tubuhnya kekar dan gagah, tidak seperti Bagas yang sering sakit-sakitan karena ada masalah di dalam lambungnya. Terlebih setelah perceraian kedua orang tuanya kondisi Bagas tidak begitu stabil.
"Kenapa aku di sini, ya?" kali pertama Bagas membuka mata, dia menanyakan hal itu.
"Tadi kamu pingsan, terus ayah bawa kamu ke rumah sakit terdekat, tapi sayang kamu malah dirujuk ke sini, ya memang ini kan rumah sakit tempat kamu dirawat selama ini."
"Kenapa mama enggak ikut? Ayah pasti tinggalin mama di sana. Ayah nggak tahu ya, perasaan mama pasti hancur banget lihat aku tadi pingsan. Aku enggak mau pingsan, tapi tubuhku tidak bisa berkoordinasi dengan baik. Aku sebal!"
"Sudah Bagas, kamu istirahat dulu, jangan mikir yang macem-macem, jangan bikin ayah marah."
"Ayah juga sudah marah tadi, tapi sekarang enggak tega aja karena liat aku sakit, coba aku enggak sakit, pastinya ayah sudah memarahiku sepanjang jalan. Terkadang aku berpikir, apa aku benar anak kandung ayah atau jangan-jangan," Bagas menghentikan kalimatnya seakan memberikan jeda untuk Surya membuka suara.
"Kamu jangan bicara sembarangan, kalau mama kamu dengar hatinya bisa tersakiti."
"Karena perlakuan ayah itu aneh banget kepada aku. Aku enggak boleh ini, aku enggak beli itu, aku harus begini, aku harus begitu, semuanya harus ayah yang atur. Aku juga punya kehidupan sendiri, enggak seharusnya ayah melakukan itu padaku."
"Seandainya kamu tahu yang sebenarnya terjadi."
"Enggak mau cerita, gimana aku bisa tahu?"
Bagas terus menantang ayahnya. Dia tidak takut, dia terlanjur kecewa dengan segala sikap yang ayahnya lakukan. Perdebatan mereka cukup sengit, bahkan Bagas berpendapat dia hanya boneka untuk ayahnya.
"Lalu ayah harus bagaimana, biar kamu bisa menerima ayah kembali?"
"Aku tetap menerima ayah sebagai ayahku, tapi aku tidak bisa menerima wanita itu sebagai pengganti mama. Tidak ada wanita yang lebih baik dari mama, Marina, jadi jangan harap aku bisa menerimanya saat ini, dan untuk selamanya."
Surya tidak menganggap ucapan putranya. Dia berbalik badan lalu pergi meninggalkan putranya tanpa ingin menjawab ataupun menyanggah ucapan Bagas. Surya sangat paham bagaimana perasaan hancurnya Bagas ketika mendengar ayahnya menikah, namun tanpa meminta izin darinya. Terlebih ketika mendengarkan curhatan dari mantan istrinya, semakin jelas jika Bagas selama ini banyak menyimpan kesedihan, namun dia tidak pernah membaginya untuk siapapun.
Surya menutup pintu kamar rawat Bagas dengan hati-hati. Di luar kamar rawat, matanya berkaca-kaca, mengingat putra semata wayangnya yang sekarang lebih pemberani tidak seperti kala itu, yang selalu menurut setiap ucapannya. Sekarang Bagas setelah dewasa, dia telah mengerti bagaimana kejamnya dunia, telah mengerti apa itu cinta dan kasih sayang orang terdekat. Surya sedikit menyesal dengan tindakannya selama ini, terlalu mengekang putranya itu, sebenarnya niat Surya cukup baik, dia tidak ingin Bagas kenapa-napa. Dia ingin agar selalu bahagia sepanjang hidupnya, namun Surya nyatanya telah salah untuk menyampaikan rasa cintanya kepada sang putra.
"Ini belum saatnya ayah cerita yang sebenarnya tentang kamu, ayah, dan Marina. Seandainya saja waktu itu aku bisa menolak, pasti ini semua tidak akan terjadi. Aku tidak akan menyakiti anak tidak berdosa itu, rasanya kembali ke masa lalu adalah jawaban atas masalah-masalah yang terus menghantuiku. Aku tidak bisa lari, tidak bisa juga bersembunyi, harus menghadapinya semampuku."
***