"Ma, aku pengen tidur di sini untuk beberapa hari, ya?"
"Kenapa sih, Gas, kamu itu jangan lari dari kenyataan kalau ayah kamu nikah lagi. Kamu harus menerimanya, jangan kayak gini ini, namanya bukan laki-laki yang bertanggung jawab."
"Terserah mama mau bilang apa, tapi aku memang enggak suka kalau ayah nikah lagi. Apalagi tanpa minta izin dari aku, dipikir aku boneka apa, yang enggak bisa ngasih pendapat."
"Iya sayang, kalau kamu mau tinggal di sini untuk waktu berapa lama pun mama juga akan izinkan. Asal kamu jangan kamu tinggal di sini hanya untuk pelarian karena tidak mau menerima mama baru dari ayah kamu. Bagas harus ingat, keputusan ayah itu enggak bisa diganggu gugat. Ayah juga punya kehidupan dan kamu harus bisa menerimanya itu keputusan itu seorang anak."
"Jadi mama dukung ayah untuk nikah lagi?"
"Bukan mendukung, Bagas, tapi mama itu realistis kalau ayah kamu udah cerai dari mama berarti mama udah enggak ada tanggung jawab untuk mengatur hidup ayah kamu, mau dia nikah lagi atau enggak, itu udah jadi hak ayah kamu."
Marina berusaha untuk meyakinkan putranya jika memang dirinya tidak memiliki hak lagi untuk mengatur kehidupan mantan suaminya. Namun, Bagas di sini seakan tidak terima dengan pernyataan Marina lantaran Bagas masih berharap banyak jika mama dan ayahnya bisa kembali bersatu di kemudian hari. Seakan hanya menjadi sebuah angan kosong, lantaran Surya telah menikah lagi dengan wanita yang bahkan Bagas tidak tahu seperti apa kepribadian wanita itu.
"Yang aku tahu di semua dongeng, di semua cerita, ibu tiri pasti jahat dan aku yakin istrinya ayah juga jahat."
"Jangan ngomong seperti itu, kamu enggak tahu 'kan dan juga belum bertemu. Jadi jangan memvonis orang sebelum kamu mengetahui, latar belakang kehidupannya dan bagaimana dia menjalani hidup. Mungkin saja ibu tiri kamu ini baik beda seperti yang ada di dongeng-dongeng itu."
"Seribu banding satu, Ma, perbandingannya."
"Udah jangan kesel mulu, kita makan yuk, mama udah siapin makanan kesukaan kamu," ajak Marina yang melihat putranya menampilkan wajah tidak sedap dipandang.
"Oke, Ma, jadi Mama udah feeling kalau aku bakal datang ke sini? Kok mama masak makanan kesukaan aku?"
"Iya dong, feelingama itu kuat banget karena kita ada ikatan ibu dan anak, pastinya apapun yang terjadi, mama akan paham, ngerasa apa yang kamu rasakan."
"Tapi, aku enggak bisa ngerasain kesedihan mama, waktu itu."
"Sudahlah, itu 'kan keputusan mama dan ayah kamu. Maaf, ya, kalau memang kami sudah buat kamu kecewa."
"Eggak masalah, yang penting ikatan antara orang tua tidak akan pernah putus, sampai kapanpun."
"Anak mama memang pintar banget, yuk makan!"
Di dapur Marina menyiapkan semua yang baru saja dia masak untuk disajikan di hadapan Bagas. Marina suka jika putranya datang berkunjung ke rumahnya dan mencicipi masakannya. Bahkan, bukan hanya mencicipi menghabiskan hingga piring terakhir karena hal itu sangat jarang Marina temui di rumahnya.
Selama ini Marina tinggal sendiri setelah bercerai dari Surya. Selebihnya dia menghabiskan hari-hari untuk bekerja dan bekerja. Sesekali menghubungi Bagas, juga ribuan kali Bagas selalu menantikan kabar dari mamahnya. Bahkan, Bagas selalu protektif dengan mengirimkan pesan kepada mamahnya, entah menanyakan kabar, kegiatan, makan, atau yang lainnya.
"Enak banget, Ma, sayur sopnya mantap," sambil memasukkan sesendok kuah ke dalam mulutnya, "Kaldunya enak banget, cuma mama yang bisa masak seenak ini."
"Terima kasih sayang, makannya kamu habiskan."
"Pasti dong, Ma, seandainya aja mamah masih tinggal bareng ayah, pasti aku enggak ngerasa kesepian kayak gini."
Marina menyentuh lembut rambut putranya. "Sayang, sekali lagi maafin mama dan ayah, ya, yang sudah bikin kamu jadi kecewa kayak gini. Tapi, namanya hidup harus ada pilihan, maju atau mundur, pergi atau menetap, dan itu yang mama lakukan saat ini. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, begitupun ayahmu, juga ingin yang terbaik keluarga ayahmu nanti. Marina terus memberikan pemahamannya kepada putranya dia tidak ingin putranya menjadi anak yang rindu kasih sayang karena kedua orang tuanya bercerai.
Bagas tersenyum tipis ke arah mamanya, "Seandainya mama tahu aku enggak mau mama sama ayah dulu cerai. Kenapa juga sih harus cerai kalau ada kesalahan bisa dimaafkan, kalau ada perselisihan bisa diselesaikan. Tapi, kenapa harus cerai? Akhirnya yang jadi korban aku, jadi aku ke mama, aku ke ayah, rasanya bikin pusing," ucap Bagas dalam hatinya tanpa sepengetahuan Marina.
Jamuan makan terlihat sangat akrab. Marina menatap putranya tanpa henti, sesekali dia menyuapi putranya dengan hidangan yang dia masak. Kadang, merindukan hal-hal yang demikian lantaran selama ini Marina sudah cukup lama tidak bisa menjumpai putranya karena alasan sekolah dan dia alasan bekerja. Selebihnya, mungkin memang Surya tidak memberikan izin untuk Bagas pergi terlalu jauh darinya.
Hak asuh anak memang seharusnya jatuh ke tangan Marina, namun mengingat kehidupan Marina yang cukup sederhana dan kehidupan Surya yang sangat mewah dan berkecukupan. Pastinya dengan cepat hak asuh anak bisa berpindah tangan ke Surya, mengingat kondisi Bagas memang berbeda dengan anak pada umumnya, membutuhkan banyak biaya untuk kehidupannya dan kemungkinan Marina bisa mencukupinya, walau harus bekerja keras lima kali lipat dibanding Surya. Sehingga Marina memutuskan untuk mengikhlaskan hak asuh anak jatuh kepada Surya.
Di rumah, Surya marah bukan kepalang lantaran putranya tidak datang ke acara resepsi pernikahannya. Surya malu di hadapan istri barunya, lantaran putranya tidak datang, namun anak dari istri barunya malah mengikuti serangkaian acara dari awal hingga akhir, rasanya ini tidak sesuai dengan ekspektasinya, membuatnya emosi di depan Bik Surti.
"Kenapa Bagas kok enggak disuruh datang, sih, ke acara resepsi saya? Tadi sudah menyiapkan mobil dan pakaian. Kenapa enggak datang?"
"Mas Bagasnya yang enggak mau, Pak, saya sudah menyuruh datang berulangkali, Mas Bagas marah uring-uringan, saya juga takut, Pak," ucap Bik Surti dengan nada sedikit ketakutan.
"Terus kamu biarkan dia begitu aja, sekarang Bagas ada di mana, biar saya kasih pelajaran dia."
"Jangan, Pak, kasihan Mas Bagas."
"Kamu itu bukan siapa-siapanya Bagas, saya yang lebih tahu Bagas, anak itu lama-kelamaan bisa ngelunjak, makin nakal dan enggak karuan. Apa ada di kamar?"
"Maaf, Pak, Mas Bagas tidak ada di kamar."
"Kalau begitu di mana dia? Kamu jangan pernah menyembunyikan Bagas dari saya."
"Tidak, Pak, saya tidak pernah menyembunyikan Mas Bagas dari siapapun."
"Lalu di mana Bagas? Jangan mengulur waktu saya. Saya ini sibuk, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Maaf, Pak, Mas Bagas pergi ke rumahnya, ibu Marina."
"Apa, ke rumah Marina? Kok bisa? Kamu enggak ngelarang dia pergi, saya tuh benci dengan Marina. Kenapa kamu malah mengizinkan Bagas pergi ke sana?"
"Mas Bagas yang ingin pergi ke sana, Pak, saya tidak bisa melarang. Saya juga tidak ada wewenang untuk menghentikan Mas Bagas pergi ke rumah mama kandungnya."
"Dasar anak nakal, belum apa-apa saja sudah bikin saya emosi."
"Pak, jangan marah pada Mas Bagas karena dia mungkin merasa kesepian di sini sendiri dan waktu itu Mas Bagas juga bilang bapak menikah tanpa seizinnya. Jadi, Mas Bagas ingin membuktikan kalau dia sudah dewasa dan mampu menjaga dirinya sendiri lalu dia pergi ke rumahnya ibu Marina."
Sekilas Surya melihat ke arah meja di sudut ruang keluarga. Dia buru-buru ke sana untuk mengambil kotak kecil transparan dengan tujuh sekat di dalamnya. Wajahnya merah padam, emosinya semakin naik, Surti menjadi pelampiasannya.
"Apa dia juga tidak membawa ini?" Tanya Surya sambil mengangkat kotak transparan berdiameter lima belas senti meter dengan tujuh sekat di dalamnya."
"Pasti tertinggal, Pak."
"Astaga, aku harus segera ke rumah Marina."
***