Tok! Tok! Tok!
"Iya." Marina membuka pintu dan dia kaget lantaran mantan suaminya ada di depan pintu dengan memasang wajah yang begitu mengerikan.
"Bagas di mana?" Tanya Surya tanpa basa-basi.
"Dia ada di dalam. Dia baru saja selesai makan, sekarang mungkin masih mandi. Kamu bisa masuk dan menunggunya, sebentar lagi." Usul Marina berusaha setenang mungkin untuk meyakinkan mantan suaminya karena dia tahu benar jika Surya marah semuanya bisa berantakan.
"Aku tidak akan masuk rumahmu, aku akan tunggu di sini. Kenapa juga kamu menyuruh Bagas untuk datang ke sini?"
"Aku tidak pernah menyuruh Bagas datang ke sini. Dia ke sini atas kemauannya sendiri dan asal kamu tahu, dia datang ke sini untuk mengeluh kalau selama ini kamu tidak pernah menganggapnya ada. Bahkan ketika kamu menikah, kamu tidak meminta izin darinya. Bagas mau mendapatkan seorang ibu tapi dia tidak tahu dari mana asal-usulnya dan bagaimana latar belakang dari ibu tersebut."
"Yang pasti dia lebih baik dari kamu. Aku bisa mencari ibu yang baik untuk anakku, jadi kamu tidak perlu meragukan lagi kebaikan dari istriku saat ini. Dan asal kamu tahu, kenapa aku tidak pernah meminta izin jika ingin menikah lagi, karena Bagas tidak mau mendapatkan ibu baru. Dia selalu menganggap kamu ibu yang maha sempurna tapi nyatanya kamu penuh salah dan dosa."
"Sudahlah Surya, itu masa lalu kita, semua memiliki masa lalu. Kamu juga memiliki masa lalu yang kelam, begitupun aku. Kenapa harus diungkit lagi? Biarkan Bagas mengetahui kita dari sisi yang baik, jangan pernah membuat Bagas kecewa dengan apa yang pernah kita lakukan dulu."
"Gampang banget, ya, kamu ngomong kayak gitu setelah kesalahan yang pernah kamu lakukan."
"Kesalahan? itu bukan kesalahan Surya, kita melakukannya atas dasar ingin menyelamatkan keluarga masing-masing dan ternyata, kita tidak bisa bertahan lama. Jika hubungan dibangun tidak atas kepercayaan dan juga cinta, jika dibangun atas nama keraguan, semua menjadi ragu-ragu dan akhirnya kehancuran yang kita dapat."
Marina tidak ingin disalahkan dalam kasus ini lantaran dia sudah berusaha semampunya untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Nyatanya Surya tetap menganggapnya salah, pernikahan mereka yang karena sebuah perjodohan tidak dapat bertahan lama. Di lima tahun pernikahan, Surya sudah menginginkan untuk bercerai dari Marina setelah tiga tahun kelahiran Bagas, namun Marina berusaha untuk mencegahnya hingga bertahan sepuluh tahun pertama. Pernikahan mereka bisa bertahan walau hubungan itu naik turun, pasang surut, lebih banyak kesedihan yang Marina pendam daripada kebahagiaan yang ditampilkan.
Rumah tangga itu memang sudah mulai hancur sejak awal pernikahan. Namun, tetap bertahan dan bertahan atas nama Bagas hingga akhirnya kedua orang tua mereka meninggal. Tidak ada alasan untuk mempertahankan rumah tangga yang sudah mulai tidak sehat. Surya memutuskan untuk menceraikan Marina, begitupun Marina siap untuk pergi dari rumah itu tanpa membawa Bagas anak semata wayangnya. Marina berpikir jika Bagas hidup dengannya, kehidupannya akan lebih buruk, hingga dia merelakan untuk Bagas tinggal bersama mantan suaminya.
"Ayah?" Bagas ke luar dari kamar mandi dan melihat ke arah luar pintu. Dia cukup kaget melihat ayahnya yang sudah berada di depan pintu sedang mengobrol dengan mamanya, lalu dia datang menghampiri mereka.
"Sudah selesai, Gas, mandinya?"
"Iya, Ma, Ayah ke sini buat jemput aku?"
"Alasan apalagi yang tepat untuk aku datang ke rumah ini? kalau tidak menjemputmu, kamu itu, ya, ayah sudah menyiapkan semuanya, pernikahan ayah, namun kamu tidak datang, itu membuat malu ayah."
"Ayah sadar enggak, ayah menikah tanpa restu dariku. Kenapa aku harus datang ke pernikahan Ayah? Lagipula di rumah mama lebih nyaman, aku bisa melakukan semua yang aku suka. Jika di rumah ayah, aku tidak boleh, ini, tidak boleh, itu, aku harus seperti, ini, harus seperti, itu. Semua sesuai dikte dari ayah. Aku tidak bisa ya seperti dulu, aku adalah lelaki delapan belas tahun yang harus bisa berkembang dan bangkit. Aku bukan lagi anak kecil, usia lima tahun yang bisa ayah suruh apapun keinginan ayah."
Bagas meluapkan segala kekesalan hatinya yang selama ini dia pendam. Pasalnya dia tidak ada kesempatan untuk berbicara sepatah, dua patah kata pun, sehingga ini adalah kesempatan terbaik untuk mengungkapkannya. Walaupun, sulit tapi dia tetap yakin mampu mengatasi permasalahan ini.
"Kamu itu, ya, ayah berusaha untuk jaga kamu, kok bisa sih kamu ngomong kayak gitu, sekarang kita pulang, ayah tidak mau memarahimu di depan mamamu itu, pasti dia akan membelamu dan akan memarahiku."
"Aku pulangnya besok saja, aku masih ingin di rumah mama."
"Tidak bisa Bagas, kamu jangan egois, nanti mama dirimu dan juga kakak tirimu akan datang ke rumah. Jadi, harap kamu bisa untuk tiba di rumah lebih cepat dari mereka. Cukup kamu tidak menghargai mereka di resepsi pernikahan ayah. Jangan untuk kedua kalinya," dengan tegas Surya mengatakan hal itu, pastinya membuat Bagas sedikit tersakiti dengan ucapan ayahnya.
"Surya cukup! Jangan tekan anak aku, aku masih memiliki hak penuh atas Bagas karena dia anak yang aku kandung dan lahirkan. Jadi aku akan membelanya, kalau memang Bagas masih ingin di sini, biarkan di sini untuk beberapa waktu kedepan, pasti dia akan pulang ke rumahmu. Tidak mungkin aku melarangnya pulang ke rumahmu karena di sana lebih mewah dari di sini."
"Aku enggak butuh mewah, Ma, aku cuma butuh kenyamanan dan ayah tidak memberikan kenyamanan itu," ucap Bagas menekuk wajahnya.
Melihat putranya yang sedih dan mantan suaminya yang bersikeras untuk membawa Bagas pulang ke rumahnya. Marina memutuskan untuk menasihati Bagas guna menurut kepada keputusan ayahnya. Dia hanya ingin yang terbaik untuk putranya, selebihnya kesedihan itu hanya mampu dia tanggung sendirian.
"Bagas mama mohon, ya, kalau kamu mau tinggal di sini beberapa waktu boleh, tapi 'kan kamu tidak membawa banyak pakaian. Mama juga tidak memiliki pakaian untuk anak laki-laki seusia kamu, enggak mungkin kamu pakai baju mama dan pakai rok. Jadi, mama pikir hari ini kamu pulang bersama ayahmu, ya, besok kamu bisa datang lagi ke sini." Penuh kelembutan, Marina berusaha meyakinkan putranya untuk pulang ke rumah ayahnya.
Surya hanya berdiam diri. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia hanya melihat bagaimana kedahsyatan mantan istrinya meyakinkan putranya untuk kembali pulang ke rumah ayahnya.
Bagas melihat ekspresi dari Marina yang terlihat begitu berupaya untuk meyakinkan dirinya guna pulang ke rumah Surya, dia tidak tega melihat tatapan mamanya yang begitu tulus menyayanginya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengiyakan kembali ke rumah Surya. Namun, dengan satu syarat, untuk beberapa waktu ke depan ketika dia rindu mamanya, dia akan datang dan menginap di sana.
"Iya, aku mau ikut ayah pulang, tapi liburan bulan depan aku mau tinggal bersama mama, ya, minimal tiga hari. Kalau ayah setuju, hari ini juga aku mau ikut ayah pulang ke rumah."
Surya mengangguk, dia tidak berpikir panjang. Apa yang akan terjadi esok hari tidaklah penting, yang penting sekarang putranya bisa pulang. Mungkin saja bulan depan ada acara keluarga yang tidak memungkinkan Bagas untuk tinggal bersama Marina, sesuai dengan permintaannya.
"Ya, sudah, kalau gitu kamu sudah makan, sudah mandi, hati-hati, ya, pulang sama ayah," ucap Marina lirih.
"Iya, Ma, kalau aku udah sampai rumah aku telepon mama."
"Mama tunggu kamu, kalau kamu ada apa-apa kamu juga langsung telepon ayah. Jangan segan-segan juga untuk meminta tolong pada mama, walaupun jarak rumah kita cukup jauh, perjalanan tiga sampai empat jam, tapi mama pikir kalau namanya rindu dan kangen tidak bisa dipisahkan oleh jarak dan waktu."
"Mama puitis banget kayak anak SMA yang di mabuk cinta."
"Iya, cinta mama sama kamu."
"Sudah, sudah, ayo Bagas kamu pulang!"
Surya segera menggandeng putranya tanpa mengucap salam perpisahan kepada mantan istrinya. Bagas cukup sedih berpisah dengan mamanya, bahkan Bagas tidak menyukai perlakuan ayahnya yang begitu kasar kepada dirinya dan juga mantan istrinya. Hanya ini yang dapat Bagas lakukan untuk melihat mamanya tersenyum dan ayahnya tidak lagi marah. Marina melambaikan tangan juga tersenyum kepada putranya melepaskan kepergian lelaki yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.
"Yah, sebentar."
"Kenapa, Gas?" Surya mulai curiga ketika Bagas terus menyentuh perutnya.
"Sakit banget, Yah." Keluh Bagas sambil terus memegangi perutnya.
***