Ada yang berbeda kini, ponsel yang tergeletak diatas meja dekat ranjang tidurnya sudah tak secerewet biasanya, kalau pun berbunyi itu bukan dering yang Kendra harapkan. Atau mungkin karena nomor yang selama ini membuat ponselnya sering berdering sudah ia silent? Nomor telpon milik Maya.
Kalau notifikasi pesan masuk, banyak ia liat di notifikasi pesan, tapi tak pernah mengeluarkan dering, itu sebabnya Kendra malas untuk membukanya, selain mungkin dari grup yang ia ikuti, ada beberapa nomor yang sengaja memang ia silent, karena dia anggap tak penting, dan salah satunya adalah nomor Maya, alasannya bukan karena di anggap tak penting, tapi mungkin lebih ke efek rasa sakit yng akan di timbulkan kalau nama itu masih bersuara dalam ponselnya.
Maya benar-benar coba Kendra hilangkan dari hidupnya, benar, sosoknya masih menjelma jauh dibawah sana dalam sebuah bilik kamar berukuran 4x5 di ujung gedung kosan, tapi bayangnya, bayangan yang setiap hari selalu menyemangati dirinya entah pagi siang ataupun malam menjelang pelupuk menutup mata itu kini dia coba untuk hilangkan dari pikirannya.
Kendra seolah kehilangan penyemangat hidupnya, tapi hanya itu jalan satu – satunya yang bisa ia tempuh, tetap mendekati dan akrab dengannya makin membuat luka hatinya tak akan pernah sembuh. Menjauhi Maya mungkin itu jalan terbaik yang bisa Kendra lakukan untuk saat ini, terasa pahit! Memang untuk awalnya, tapi sakitnya akan hilang bersama dengan berjalannya waktu, ibarat menelan pil, memang akan terasa pahit saat pertama kali ditelah tapi efek sembuh sesudahnya tentu itu yang lebih penting.
Teori bangsat!
Dalam prakteknya Kendra makin terpuruk saja dengan patah hatinya, bahkan dia harus bolos kerja, karena moodnya hancur.
Ini hari ketiga dia tak masuk kerja, semalam mbak Dina meneleponnya, menanyakan sakit apa yang Kendra derita.
"Efek dari melarutkan kemaren mbak." Jawab Kendra jujur, mbak Dian sudah Kendra anggap layaknya kakak baginya, hingga dia tak bisa berbohong soal kondisi dirinya saat ini.
"Terus?"
"Di tolak," ujar Kendra pahit, "karma mungkin ya mbak?' lanjut Kendra
"Karma?" Kendra yakin mbak Dina hanya menggodanya.
"Mungkin ini juga yang di rasakan cewek – cewek yang pernah Kendra abaikan," entah kenapa tiba- tiba saja Kendra teringat akan para cewek – cewek yang pernah singgah dalam hidupnya, Gisha, Ditha dan mungkin beberapa cewek yang sempat mendekatinya tapi tak begitu dia perhatikan, yang akhirnya pergi dengan perlahan.
Hanya terdengar suara tawa lirih dari seberang.
"Kebetulan saja mungkin Ken, kebetulan saja kamu sedang membuka hati, dan tak mendapat respon, seandainya kamu tak membuka hatimu, mungkin semua ini tak terjadi."
Membuka hati? Mungkin juga. Selama ini Kendra tak pernah merespon cewek – cewek yang mendekatinya, karena memang hatinya tak dia buka, dan entah kenapa dengan Maya, hatinya seperti otomatis membuka diri, sampai semuanya mengira Kendra cowok tak normal.
Ini hari ketiga dia membolos kerja
Dengan malas Kendra berjalan kekamar mandi, setelah mencuci mukanya dan berkumur, ia mengganti kaos yang sudah dua hari melekat ditubuhnya, ada aroma tak sedap saat Kendra mencium gumpalan kaos yang ada ditangannya itu, ia lemparkan begitu saja dalam keranjang cucian, yang terlihat juga sudah menumpuk, cucian dua hari yang lalu yang rencananya akan dia laundry pada hari minggu nya, urung ia kerjakan, karena keburu diajak keluar oleh Niko dan Beni. Dan hari seninnya, rasa malas dan resah sudah menggelayuti pikirannya.
Rambut gondrongnya hanya ia sisir dengan jari kebelakang, setelah sebelumnya ia basahi dengan air di wastafel tadi.
Malas untuk mengikat rambutnya, Kendra membiarkannya terurai, meski tak kusut, tetap saja terlihat acak-acakan.
Mukanya kusut karena tak mandi, rambutnya kusut karena tak ia sisir dan ikat dengan rapi, sampai kaos yang ia kenakan juga kusut, karena bukan ia ambil dari lemari, ia sambar begitu saja kaos yang tergantung di belakang pintu, entah kaos sudah berapa hari itu tergantung disitu, samar tercium bau apek dari kaos yang ia kenakan, dengan cuek dia semprot tipis parfum yang ia punya di sela ketiak dan leher, untuk lebih menyamarkan bau tak sedap yang memancar.
Kendra benar – benar terlihat berantakan saat ini! Bahkan saat sebelum bertemu dengan Maya dan mengalami patah hati seperti sekarang, penampilannya tak pernah se-berantakan ini.
Dengan memicingkan mata, silau oleh sinar matahari siang, Kendra berjalan kearah parkiran, perutnya sudah berontak minta diisi.
Kalau saja kemaren dan tadi pagi dia tak makan mie instan, mungkin siang ini mie instan akan menjadi menu kemalasannya lagi.
Rasa segan untuk bertemu makhluk bernama Maya lah alasannya mengurung diri dalam kamar, selama dua hari penuh, beruntung dia selalu menyimpan mie instan di dapur kamarnya, hingga dia tak sampai kelaparan.
Perasaan was – was menyelimutinya, diliriknya kekiri kearah kamar paling ujung, ternyata sudah sepi, pun kedua kamar disebelahnya, aman. Tentu saja ini hari kerja, tak akan ada orang di kosan, kecuali dirinya yang sedang bolos kerja.
Jam sudah menunjuk setengah satu siang.
Setelah mengenakan helm Kendra tancap gas ke luar pagar. Meyusuri jalan perumahan yang juga agak sedikit lengang, hanya beberapa kali dia berpapasan dengan motor, mungkin penghuni perumahan paling ujung.
Diujung jalan dibawah gapura "Puri Umalas" motornya berhenti, dia bingung mau makan dimana, warung Jawa arah pantai PetiTenget langganannya ? atau nasi Padang arah pantai Padma - Kuta?
Akhirnya dengan pertimbangan lebih dekat, dan perut yang sudah tak bisa diajak negosiasi lagi, akhirnya Kendra memilih warung Jawa langgananya.
Dia menggerutu sendiri, tahu gitu tak usah pakai helm pikirnya, karena jaraknya juga dekat.
Motor ia pacu pelan dijalanan aspal yang sudah panas terbakar hari.
Cuaca siang itu teriknya menyengat kulit, ditambah lagi lalu lintas yang sangat padat, asap kendaraan dan debu jalanan yang berterbangan semakin membuat sumpek pernapasan.
Setelah membelok dua kali tikungan, Kendra akhirnya sampai di tujuan.
Sebuah warung dengan pohon buah kersen dihalaman parkirnya.
Yang diawal berdirinya dulu sangat sederhana, hanya berisikan 1 kursi panjang di depan meja kotak kaca tempat memajang makanan.
Kini telah berubah, meski bangunannya tetap berdinding anyaman bambu, tapi luas bangunannya bertambah, dulu hanya ada satu kursi panjang, kini sudah ada berderet kursi panjang mengelilingi luas ruangan dalam. Begitu juga di tengah - tengah ruangan, ada dua buah meja panjang dengan masing - masing enam kursi panjang di kanan kirinya. Sedangkan di samping bangunan terdapat beranda dengan empat meja persegi dibawahnya, yang masing-masing terdapat empat kursi plastik, dan semuanya sudah terisi.
Didepan kaca display makanan, mata Kendra awas melihat lauk yang terpajang.