Akhir bulan Nopember.
Sabtu 21:00
Atmosfirnya sangat mendukung saat ini, hujan turun begitu lebatnya sejak sore tadi, dan derasnya seperti tercurah begitu saja tanpa terfilter, angin yang berhembus juga sangat kencang, menggoyangkan beberapa pohon peneduh dekat parkiran kantor, menerbangan daun - daunnya.
Andai ini dikamar, meringkuk dalam dekapan selimut yang hangat diatas kasurnya yang empuk tentu sangatlah nyaman.
Tapi tidak!
Kendra baru keluar dari dalam kantor saat hujan turun dengan derasnya tadi.
Dan kini, diparkiran motor Kendra berdiam seorang diri, suasana sudah sangat sepi, orang-orang garment yang tadi sempat bekerja lembur, sudah pulang dari jam lima sore tadi, karena hari libur biasanya lembur hanya sampai jam empat saja.
Ia mulai merasakan dingin, efek dari hembusan angin yang membawa butiran - butiran lembut air hujan, yang beberapa darinya telah membuat jaketnya terasa lembab, dan jika dibiarkan terus menerus jaketnya akan menjadi basah.
Ia ragu, antara harus menerobos hujan, atau menunggunya reda? Yang jika dilihat dari begitu derasnya, perkiraan redanya akan butuh waktu yang lama, dua tiga jam, mungkin bisa lebih.
Sialnya lagi, jas hujannya tertinggal di kosan, karena kemaren dia lupa mengangkatnya dari rak jemuran disamping kamarnya.
Semalam ia menjemurnya setelah dipakai karena basah oleh hujan tadi malam.
Kendra mencoba bertahan untuk beberapa saat, berharap hujan ini akan segera reda, atau minimal berkurang kadarnya menjadi hanya gerimis saja.
Tapi semakin di tunggu, semakin pula hujan seolah meledeknya, kini giliran kilatan petir dan gelegar guntur yang menyertainya, membuat Kendra semakin ciut.
Belum lagi capeknya badan yang ia rasakan, seolah terakumulasi sekarang, ingin rasanya ia segera pulang dan merebahkan diri ke kasur empuknya.
Bahkan beberapa kali tadi Kendra sempat bersin - bersin, semakin membuatnya khawatir saja jika terus berdiam diri disana, pasti besok dia akan terserang flu.
Dan sialnya disaat-saat seperti ini dia malah teringat kejadiannya bersama Maya. Memorinya seperti memutar ulang kejadian - kejadian yang telah lalu.
Kenapa cewek satu itu selalu menghantuinya, kesibukan - kerjanya selama ini tak sedikitpun membuatnya bisa lepas dari bayangan Maya. Dalam keramaian dan sibuknya mungkin Kendra bisa mengalihkan perhatiannya, tapi ketika sendiri seperti sekarang ini, kenangan bersama Maya seolah terputar kembali.
***
17:45
Kendra baru memasuki halaman kos, motornya segera mengarah keparkiran.
"Kendra tadi Maya pesen pulang kerja minta dijemput!" Seru Tika, dia berdiri didepan pintu kamarnya, sesegera mungkin keluar ketika mendengar suara motor Kendra datang.
"Memang jam berapa dia pulang?" Tanya Kendra, dia sudah hampir melangkah ke anak tangga. Kok tumben Maya tak menelponnya, atau mengirim pesan ke dia.
"Mungkin sekitar jam sembilan, dia sudah telpon kamu, tapi ponselmu ngga aktif." Tukas Tika.
Kendra segera mengecek ponsel disaku celananya. Astaga ponselnya mati! Dia lupa mengechargenya tadi.
"Pantesan hpku mati Tik, ya udah thank's ya," jawab Kendra sambil melambaikan tangannya, kemudian melanjutkan langkahnya menaikin anak tangga yang tadi sempat terhenti.
Selesai mandi dan merapikan diri, Kendra mencoba menghidupkan ponselnya setelah menancapkan kabel chargenya pada colokan listrik, empat pesan dan lima kali misscall, tiga dari nomor ponsel Maya dan dua dari nomor kantor.
"Jemput aku jam sembilan! " Bunyi pesan dari Maya, pesan terkirim pukul 16;45
"Besok jadi bro, lu ketempat gua dulu jam 7, " sebuah pesan dari Fajar, memastikan bahwa rencana untuk menghadiri acara grand opening kantor Fajar yang baru di daerah Tuban sekitar banMaya Ngurah Rai sana jadi.
2 pesan lainnya dari nomor tak dikenal, dan sepertinya hanya sebuah spam.
"Oke" Kendra membalas pesan Maya dan Fajar.
"Kok nomornya ngga aktif?" Pesan dari Maya sesaat setelah pesan darinya terkirim dan langsung terbaca.
"Ponselnya mati" jawab Kendra
"Jemput sekarang."
Kendra melihat jam wekernya, baru jam
20:15
"Oke!"
"Bawa helm." Kendra hanya melirik notif pesan dari Maya, tanpa membukanya. Ini artinya Maya mengajaknya jalan, karena kalau langsung pulang Kendra jarang membawa helm.
Kendra segera beranjak dari tempatnya, menyambar jaket digantungan dan keluar kamar lalu mengunci pintunya dari luar.
Angin dari lantai atas segera menyambutnya berdesir menyentuh tengkuknya dan terasa dingin, sudah masuk musim dingin rupanya.
Kamar Bagas terkunci, sepertinya anak itu telah pergi untuk menjemput Vita. Tapi waktu pulang tadi Kendra juga tak mendapati makhluk itu ada, kamarnya sedari tadi terkunci, atau mungkin dari kantornya dia langsung menjemput Vita?
Bergegas dia turun, menaiki motornya kemudian memacunya menuju kantor Maya pelan.
"Aku di depan." Pesan terkirim, dan segera terbaca, tak ada jawaban setelahnya.
Kendra duduk di jok motor menunggu Maya keluar sambil merekatkan lebih erat jaket yang ia kenakan, entah malam ini hawanya begitu dingin menusuk, bulan Juni - Agustus biasanya Australia masuk ke musim winter, imbasnya Bali bagian selatan juga bakalan kecripratan hawa dinginnya, bahkan air laut pun kalau musim seperti sekarang bisa sedingin es rasanya.
Tak menunggu lama, cewek yang di nantinya keluar dari pintu kaca kantor, berjalan menyeberangi pelataran kantor dengan pot besar ditengahnya, menyapa ramah pak satpam, meski tak ada kontak mata dengannya. Dia hanya tersenyum menundukkan wajah.
Kendra menyerahkan helm, melihat sekilas sekitar mata Maya sembab, bekas menangis.
"Kamu habis menangis?" Tanya Kendra penuh selidik, melihat cewek yang tengah didekatinya itu menangis Kendra merasa khawatir, apa gerangan yang membuat cewek didapannya itu sampai menangis.
"Enggak lah!" Maya menutupinya dengan mencoba membuang muka, tak mau wajahnya diteliti lebih dalam oleh Kendra.
"Masalah dikantor?" Kendra masih berusaha menyelidik.
"Jalan!" Acuh, Maya seperti tak menanggapi pertanyaan Kendra.
Kendra mengalah, dia tak mau memaksa Maya untuk mengaku, dan batasannya juga belum sampai sejauh itu, mungkin memang penglihatannya saja yang salah tadi, tapi kenapa Maya berubah ketus kepadanya?
Kendra menjalan kan motornya tanpa protes, hanya pikirannya saja yang penuh tanya.
"Kemana?" Tanya Kendra karena memang tak tahu harus dibawa kemana laju motornya ini pergi.
"Terserah!" Jawab Maya ketus, sekesal - kesalnya Maya, dia tak pernah sekalipun berkata ketus apalagi membentak kepada Kendra.
Kendra menghentikan motornya di bahu jalan.
"Jangan kau tumpahkan amarahmu ke aku Nay, aku tak tahu menahu akan masalah yang menimpamu." Ucap Kendra menenangkan, matanya lurus menatap jalan didepannya. Tak berusaha menoleh kebelakang.
Kendra merasakan motornya berguncang pelan. Maya menangis!
"Maaf, terserah Kendra mau kemana, aku hanya mau tenang." Ada sesenggukan yang coba Maya tahan.
Kendra menghela napas panjang, ingin rasanya dia memeluk erat wanita yang duduk dibalakangnya itu sekedar untuk meredakan sedihnya. Tapi tentu saja tak bisa, batasnya belum memberikan wewenang hingga kesana.
Kendra menjalankan motornya pelan, otaknya berfikir kemana dia harus membawa wanita yang sedang bersedih ini pergi. Tak mungkin membawanya dalam keramaian taman atau mall meski itu bisa menghiburnya.
Dinginnya angin yang menembus jaketnya tak dirasakannya, hatinya terlalu resah untuk merasakan dingin.
Akhirnya diparkiran pantai Padma Kendra menghentikan laju motornya, dibawah pohon ketapang, dengan cahaya lampu penerangan yang terhalang oleh lebatnya dedaunan, di antara susunan karung berisi pasir penahan abrasi, dengan hamparan pasir pantai dibawah kakinya, Maya duduk menghadap laut, sepatu kerjanya ia lepas dan ia geletakkan begitu saja disampingnya, kakinya ia benamkan dipasir pantai.
Suara dentuman musik sayup terdengar dari salah satu cafe yang ada didekat situ. Banyak mobil dan motor yang terparkir disana, hanya manusia-manusianya entah pada kemana.