Kendra hanya berdiam mengamati, masih duduk di jok motornya, masih mengenakan helmnya, sedikit pun dia tak ingin mengusik ritual healing yang Maya lakukan dan membiarkan Maya menenangkan hatinya sendirian.
Setelah turun dari motornya tadi, tanpa mengucap sepatah kata, dia serahkan helmnya ke Kendra begitu saja, kemudian berjalan menuruni tangga. Dan duduk diantara tumpukan karung berisi pasir.
Pantai Padma, sebelum di percantik.
Di pantai ini dulu Kendra pertama kali belajar bermain surfing, bersama Inal teman yang dikenalkan Fajar kepadanya, seorang designer grafis juga asal dari Padang, tapi keluarganya telah pindah lama ke Bekasi, kantornya di sekitar jalan Padma ini kalau ngga salah, ya meski tak jago-jago amat, Kendra juga pernah merasakan sensasi mengendarai papan surfing yang terdorong oleh ombak yang baru terbentuk untuk pertama kalinya meski dalam posisi tidur, pernah merasakan wipe out juga karena diving nya kurang dalam ketika ombak besar datang, akhirnya ia ketarik dan dihempas ujung ombak yang menggulung, seperti di kocok rasanya didalam air, dan beberapa air masuk kedalam paru-parunya, beruntung papan surfing selalu dipeluknya yang akhirnya membuat dia bisa terbawa keatas permukaan, sesak napas dan berusaha tak panik bukan perkara mudah yang bisa dikerjakan bersamaan, apalagi kondisi ditengah laut lepas dan dia belum berpengalaman, terseret arus balik juga pernah sampai kelelahan paddling saat akan keluar kepantai.
Ya meski sekarang juga tak jago-jago amat, tapi Kendra sudah bisa berdiri dan mengatur laju papannya kesamping mengikuti gulungan ombak yang akan terbentuk, bukan lagi lurus mengikuti ombak yang sudah pecah dengan buih putihnya.
Tapi memang sensasi mengendarai ombak tak bisa digambarkan dengan kata-kata, sayangnya sekarang Kendra sudah jarang bermain surfing, selain papan surfing dia tak punya, Inal, partner mainnya juga sudah balik ke Bekasi. Kalaupun ada papan surfing, itu juga milik rider dari luar yang kadang datang ke kantor saat akan ada kompetisi atau hanya sesi photo, itupun menunggu ijin boleh tidaknya papannya di pinjam Kendra, baru dia bisa pergi kepantai untuk sekedar berendam dan cari kesenangan diatas papan, tapi itu juga jarang.
Ada juga temannya yang punya rental papan surfing, cuma dia segan dan tak enak kalau terus-terusan pinjam gratis, sementara kalau di kasih uang sewa temannya selalu menolak, dan selalu mengembalikan uang pemberian Kendra.
"Ken...!" Maya memanggil, suaranya hampir tak terdengar oleh debur ombak dan suara musik.
Kendra yang menyandarkan kepalanya di speedo motor hanya mendongak melihat ke arah Maya, Maya masih duduk menghadap laut, tangannya menepuk kesebelah tempatnya duduk, seperti mengisyaratkan agar Kendra menemaninya duduk disana.
Kendra melepas helmnya, kemudian berjalan menuruni tangga menuju kearah Maya dan duduk berjarak disebelahnya. Entah perasaannya atau memang Maya menggeser letak duduknya, jarak mereka sekarang berdekatan bahkan bahu mereka saling bersentuhan. Tiba - tiba saja Maya menyandarkan kepalanya kebahu Kendra, tentu saja itu membuat Kendra sedikit kaget, perasaannya seketika tak menentu, apa ini! Pikirnya.
"Kenapa May?" Tanya Kendra, tanpa bisa berbuat apa - apa, bisa saja tangannya memeluk bahu Maya seperti yang ia lakukan terhadap Ditha, atau seperti adegan sinetron, saling menyandarkan kepala, tangan memeluk bahu, menatap pantai sambil bercerita tentang banyak hal, menghayalkan masa depan mungkin, berandai pesta pernikahan mereka di beri tema apa, atau berapa banyak anak yang akan mereka punya, jika kelak mereka menikah
Stop!
Jelas tak bisa! Ini situasinya berbeda. Maya bukan siapa - siapanya. Dan lagi ini bukan kisah sinetron! Atau cerita karangan dalam sebuah novel, yang jauh dari nalar dan masuk di akal.
"Hanya ingin ditemani." Jawab Maya pelan.
Kendra menghela nafas panjang, dadanya ikut terasa sesak, sebegitu hebatkah sedihmu Nay hingga kau langgar batas etika keanggunanmu? batin Kendra.
Lama mereka berdiam disana, tak ada bahasa yang terucap dari bibir, hanya kalbu yang saling melempar tanya, tanpa ada jawabannya.
Bahu Kendra sampai terasa kaku dan pegal, karena tak berani ia gerakkan.
Mereka hanya berdiam, dengan pikirannya masing-masing. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya debur ombak suara satu - satunya yang terdengar.
Dan wangi parfum Maya alasan kesekian yang membuat Kendra betah bertahan berlama disana, selebihnya, dia tak bisa melakukan apa-apa, setiap gerakan ia lakukan seminim mungkin, agar kenyamanan Maya tak terganggu. Bahkan gatal gigitan nyamuk pun ia abaikan.Jujur situasi saat ini sangat dia dambakan, hingga dia takut kalau dia melakukan gerakan sekecil apapun, Maya akan berhenti menyandarkan kepalanya di bahunya, dan momen yang baginya sangat indah itu akan berakhir.
"Pulang yuk!" Maya tegakkan kepalanya dari dari bahu Kendra, menyeka wajahnya tanpa berani menoleh ke arah Kendra. Sudah jam
21:59
"Kamu ngga makan?" Tanya Kendra, Maya menggeleng, ia sibuk membereskan sepatunya, membersihkan pasir-pasir yang menempel dikakinya, kemudian mengenakan sepatunya, acuh dengan beberapa butir pasir yang ikut terbawa masuk kedalam sepatu yang dia kenakan.
"Aku bungkusin saja ya, perutmu harus diisi." Bujuknya, Kendra paham, mungkin Maya malu dengan wajah sembabnya dia harus menghadapi banyak tatapan mata.
Tak menjawab, tapi Kendra tahu Maya tak menolak.
Dalam perjalanan pulang Kendra singgah di warung Padang dekat supermarket Bintang daerah Seminyak, memesankan nasi untuk dibungkus, Maya hanya diam sambil melihat Kendra masuk kedalam warung, dengan kaca helm yang masih tertutup, dia berdiri di sisi motor, tak berani masuk kedalam warung.
Tak berapa lama kemudian Kendra menyerahkan kantong plastik berisi bungkusan nasi ke Maya.
"Cuma satu?" Tanya Maya heran, Kendra hanya mengumbar senyum.
"Aku sudah makan tadi, dibawain Bagas." Kata Kendra berbohong.
"Kamu bohong kan?" Kata Maya, karena tahu Bagas tadi masih berada dikantor ketika ia pulang.
Kendra menatap lekat wajah Maya yang masih terlihat bekas tangisan disana, senyumnya kembali terkembang.
"Gimana aku bisa enak makan, kalau kamu sedang bersedih?" Jawab Kendra, kemuTika duduk di jok depan motornya. Laparnya masih bisa ia obati dengan stok mie instan di lemari dapurnya, yang terpenting sekareang Maya tak bersedih lagi hatinya!
Maya masih berdiri disini motor menatap Kendra dengan perasaan tak menentu, kenapa harus Kendra yang memperlakukannya seperti ini, membuatnya seolah sangat istimewa, meski Maya tahu Kendra ada rasa juga kepadanya, tapi perlakuannya sangat berbanding terbalik dengan cowoknya yang seolah acuh akan keadaannya. Kendra bukan siapa- siapanya dan tak tahu apakah dia akan mengungkapkan perasaannya kelak, tapi cowoknya, yang sudah jelas - jelas mempunyai ikatan status dengannya, malah mengabaikannya.
Tangisnya bukan karena sebab, berdebatan tentang status mereka lewat telepon tadi berujung pada pertengkaran dia dan cowoknya. Yang inti dari pertengkaran itu adalah cowoknya meminta hubungan mereka dihentikan sementara waktu, dan akan mempertimbangkannya untuk dilanjutkan kembali ketika Maya sudah kembali ke Jakarta, tentu saja Maya menolak, karena siapa yang bisa menjamin ketika Maya kembali ke Jakarta, salah satu dari mereka masih sendiri, atau masih menyimpan rasa yang sama, kalau Maya sudah pasti yakin, bahwa dia akan bertahan dengan komitmennya, tapi itu sebelum dia bertemu dan berhubungan dekat dengan Kendra, tapi sekarang? bahkan Mayapun ragu apakah cintanya seratus persen untuk kekasihnya.
Selain itu siapa yang jamin kalau cowoknya juga melakukan hal yang sama seperti dirinya, memegang teguh komitmen? Harusnya mereka tetap memegang komitmen bersama meski sang cowok tak mensupport kepindahan Maya ke Bali, tapi setidaknya hubungan mereka harus tetap di pertahankan, dan perasaan yang mendalam terhadap Kendra bisa dia tahan.
Tapi tentu saja keteguhan Maya goyah, akibat kebodohannya menerima tantangan Bagas, apalagi dengan pertengkaran yang terjadi antara dia dan cowoknya tadi siang, makin membuat dia terpuruk dalam kebimbangan.