Kenapa? Hanya itu tanya yang terjerit dihatinya, kenapa kau tak menginginkanku, tapi masih peduli akan keadaanku? Kenapa kau yang seharusnya menjauhiku, tapi masih menginginkan kehadiranku, kenapa?
"Ngga bisa ya? Ya udah nggapapa kalau ngga bisa." Ekspresi wajah Maya langsung berubah, mengguratkan kekecewaan yang mendalam, meski terasa perih tapi ia tak bisa memaksa.
Kendra yang ada dihadapannya ini bukan Kendra yang biasanya.
Kendra yang selalu menurut ketika Maya memberinya perintah, Kendra yang tak pernah marah meski Maya membuat hatinya kesal, Kendra yang seperti tak pernah mengenal lelah, ketika dengan wajah kusutnya masih mau mengantarkan Maya ketempat tujuannya ,Kendra yang seratus persen selalu ada dan hadir ketika Maya membutuhkannya.
Kendra yang ini adalah Kendra yang pertama kali Maya kenal, Kendra yang dingin!
Sekali ini saja! Kendra berdebat dengan hatinya, tak ada salahnya juga kalau hanya sekali saja. Toh sudah kepalang tanggung ia ada disana.
"Aku tungguin!" Kendra meraih gelas berisi es teh yang tinggal sedikit dan menyedotnya melalui lobang pipet, tenggorokannya seketika terasa kering.
Meski terasa pahit ia akhirnya mengalah juga, sedingin - dinginnya Kendra sisi ke tidak-- tega--annya masih mendominasi pikirannya, mengalahkan perasaan sakit dihatinya.
Maya tersenyum, dan segera menyudahi makannya, hanya beberapa kali suapan saja tadi kalau Kendra perhatikan.
"Ayuk!" Ajak Maya dengan wajah riang, dia sudah bersiap berdiri dari kursinya, meninggalkan piring makanannya yang masih... bahkan hampir tak tersentuh!
"Habiskan dulu, aku ngga buru-buru," Kendra memaksa Maya untuk melanjutkan makannya.
"Sudah kenyang." jawab Maya pendek, Kendra tahu Maya berbohong, bagaimana bisa kenyang, sementara nasi dalam piringnya... utuh, mungkin lauk nya saja tadi yang terlihat sempat dia gigit.
"Habiskan...," Paksa Kendra. Maya menggeleng, matanya menatap Kendra dengan pandangan takut- takut, tapi bibirnya mengerucut
"Ya sudah terserah...!" Memang apa haknya memaksa, Maya bukan siapa - siapanya juga, andaikan terjadi sesuatu terhadap Maya sekalipun itu bukan tanggung jawabnya lagi.
Kendra berjalan mengacuhkan Maya menuju kasir untuk membayar.
Diparkiran dia menunggu agak lama, pikirnya mungkin Maya masih memintakan ijin ke Tika untuk ke Bank.
12:58
Motor berjalan agak pelan, selain lalu lintas yang sedikit padat, jalan raya yang sempit tak bisa membuat Kendra leluasa bermanuver untuk sekedar mendahului kenMayaan didepannya, ia harus benar-benar menunggu kenMayaan dari arah berlawanan kosong.
Di jok belakang kini ada Maya duduk agak berjarak, tak seperti biasanya ketika mereka berboncengan dihari-hari kemaren, ada rasa canggung kini.
Tepat pukul 1:05 motor Kendra memasuki halaman parkir Bank cabang pembantu disebelah selatan lampu merah LP kerobokan diseberang jalan sebuah SPBU.
Tak terlalu lama Kendra menunggu Maya, yang kebetulan kondisi Bank agak sepi, mungkin jam istirahat sudah lewat, atau karena Bank cabang pembantu sehingga nasabah yang datang tak begitu ramai.
"Sudah yuk," Kata Maya setelah keluar dari pintu kaca Bank
"Mampir ke mini market bentar ya?" Kendra hanya mengangguk. Tak ada sepatah kata yang keluar, bahkan senyumnya ia kunci rapat - rapat.
Kembali motor Kendra berjalan pelan untuk kemuTika berhenti di mini market, yang letaknya tak jauh dari tempat kos mereka.
"Kendra mau apa?" Tanya Maya menawarkan.
Kendra hanya menggeleng.
Maya berhenti ditempatnya kemuTika menatap Kendra tajam, lagi - lagi mulutnya cemberut.
"Biasanya!" Sahut Kendra cepat, ia tak mau berdebat. Ingin menyudahi semua ini secepat mungkin.
Luka yang sudah mulai mengering dihatinya kini kembali berMayah!
Maya menghilang kedalam mini market, tak lama kemuTika dia sudah keluar dengan menenteng dua plastik kecil berisi beberapa camilan dan minuan dingin, di serahkannya salah satunya ke Kendra, sebuah plastik berisi dua kaleng kopi rasa alpukat dingin dan dua buah roti coklat.
Kendra hanya menggelengkan kepalanya seraya menerima pemberian Maya dan menggantungnya di dek depan dibawah speedometer motor.
Motor kembali berjalan, menuju kantor Maya, tak ada kata yang terucap selama mereka berangkat tadi ataupun saat balik kini, suasana serba canggung, kikuk.
Yang Kendra rasakan hanya dia seolah-olah tukang ojek yang sedang mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan, toh dia sudah dapat imbalan untuk itu, dua kaleng kopi alpukat kesukaannya dan dua buah roti coklat.
Sesungguhnya rasa yang selama ini pernah ada dalam hatinya, kini hanya tersisa setitik saja, mungkin tinggal menunggu waktu, rasa itu akan benar-benar hilang dari hatinya.
Kendra benar-benar berusaha menghapusnya.
Hanya ucapan terima kasih dan tatap hampa Maya mengiringi kepergian Kendra di depan gerbang kantornya.
Maya benar-benar merasakan perubahan yang drastis pada Kendra ke dirinya, tak ada lambaian tangan - senyuman, Kendra berlalu begitu saja tanpa menatap Maya.
Mungkin itu pertemuan terakhir mereka. Karena setelahnya Kendra mati-matian berusaha melupakan Maya dengan tenggelam dalam rutinitas kerjanya yang semakin berat.
Tapi sia-sia....
****
November adalah bulan yang amat begitu padat di perusahaan Kendra, dimana push produksi untuk mengejar penjualan diakhir tahun membuat Kendra super sibuk, waktunya ia habiskan ditempat produksi dan diluar kantor, entah itu untuk prepare beberapa event, launching produk ataupun cek produksi di tempat rekanan kerja perusahaan, yang tempatnya tersebar di Denpasar, bahkan sampai ke Canggu, capek sudah tak ia rasa, capek dijalan, capek mondar -mandir, capek mikirin Maya yang kadang kalau sedang blank, wajah cewek bertampang kalem itu selalu muncul di pikirannya.
"Siapa Maya Dhit? Pacar kamu?" Bahkan mbak Dina sampai tahu nama itu, padahal dia tak pernah menyebut nama itu ke mbak Dina.
"Bukan siapa- siapa mbak, mbak Dina tahu darimana nama itu?" Tanya Kendra penasaran
"Kemarin kamu kayaknya ketiduran dimejamu, kamu sebut nama itu? Siapa dia?" Astaga, bahkan dalam tidur pun Maya tak melepaskannya, Kendra tersenyum kecut.
"Adik Kendra di rumah mbak, sudah seminggu kemarin sakit, dia kangen Kendra katanya?" Ucap Kendra berbohong, bahkan di keluarganya pun dia tak memiliki seorang adik karena dia anak bungsu.
"Kenapa tak dijenguk pulang Dhit kasihan adiknya?" Tanya mbak Dina menampakkan wajah prihatin.
"Semalam sih sudah Video call, udah agak mendingan, lagian mana bisa Kendra tinggalin kerjaan kaya gini mbak." Jawab Kendra, kebohongan untuk menutupi kebohongan yang lain.
"Yang sabar ya Dhit, kayaknya Kendra sayang banget sama adiknya, sampai kesebut dalam mimpi gitu."
"Sayang mbak, saayaang banget, hanya Tikaya yang tak tahu." Tatapan mata Kendra lurus tapi kosong.
"Lha itu adiknya sakit karena kangen, tentu dia juga sayang sama Kendra." Oalah mbak Dina andai engkau tahu yang aku maksud, batin Kendra. Kendra tersenyum dan kali ini rasanya pahit.
Kesibukan yang super sibuk bahkan kalau sedang bentrok jadwal, Kendra sampai bingung, mana yang harus di kerjakan duluan, keluar ngecek produksi yang diluar kantor? yang di garment? atau harus lari kepantai lalu nyemplung kesungai? Saking bingungnya Kendra malah kepikiran berendam disungai berair jernih didekat rumahnya dikampung, mencelupkan kepalanya kedalam air selama mungkin, yang kini panas terbakar, karena banyaknya beban pikiran yang ia pikul.
Belum lagi penyusunan katalog produk untuk ia kirim ke head office dan beberapa branch company di Eropa, menuntutnya untuk sering lembur hingga larut malam. Apalagi dia kerja sendiri.
Rasa lelah seperti tak dirasakannya. Harapannya hanya satu, jangan sampai jatuh sakit! Itu saja. Vitamin C seperti minuman wajib yang harus ia konsumsi untuk menjaga staminanya agar tak ngedrop.
Tapi sekuat-kuatnya ditahan, tubuh juga punya batas limitnya.
Dan puncaknya.