"Pulangnya kira-kira jam berapa Jal?" Maya antisipasi, kalau dirasa sampai larut tentu dia akan menolaknya.
"Paling sampai jam 4, sekalian nunggu sunset kalau langitnya bagus, sampai rumah palingan jam 7." Ijal mencoba meyakinkan, karena dilihatnya Maya tampak bimbang.
Lama Maya berpikir, dirumah juga dia akan diam, memikirkan Kendra yang mungkin akan membuat hatinya semakin gelisah.
"Ngga maksa sih, cuma daripada diam dikamar, sejam dua jam paling sudah bosan," gigih Ijal membujuk Maya, dia seperti tahu keadaan hati Maya yang sedang gundah dan penekanan kata bosan seolah membandingkan rasa yang akan dia alami jika berada dalam kamar seharian dalam perasaan resah, dengan rasa terkesan nantinya yang akan di dapat jika dia ikut bersamanya.
"Boleh deh, dirumah aku juga ngga ngapa-ngapain" setelah lama menimbang, akhirnya Maya setuju, kata bosan seolah menakutinya saat ini.
Ijal menyungging senyum penuh kemenangan.
Pukul 10:30
Maya akhirnya dibonceng Ijal dengan motor sportnya keluar dari gerbang kosan, meninggalkan kepulan asap yang terhirup sesak oleh sesosok cowok yang mematung di pertengahan tangga. Menatap dengan tatapan penuh kecemburuan.
"Napa bro?" Tanya Niko heran. Ketika Kendra tiba- tiba saja mematung.
"Ngga ada, yuk ah", sahut Kendra mencoba menyembunyikan perih hatinya.
***
Selama perjalanan tak banyak yang dibicarakan oleh Maya, selain Ijal memacu motornya dengan kencang, perasaan ngeri membuat Maya lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdo'a, agar dia masih di beri keselamatan, hingga pulang nanti.
Ijal seperti sedang show off, dia tak tahu kalau selama ini Kendra memperlakukan Maya seperti seorang putri. Jangankan berjalan kencang, bermanuver yang cukup berbahaya saja tak pernah dilakukan oleh Kendra.
Beda dengan Ijal yang memang kesehariannya bermain-main dengan adrenalin, hal seperti ini mungkin dipikirnya lumrah dan keren, apalagi yang dibawanya motor sport dengan cc besar, tentu kelihatan aneh kalau knalpotnya tak digeber sampai meraung, belum lagi efek seorang cewek yang duduk di jok penumpang, seperti ingin di pameri skil berkendaranya, dan itu membuatnya semakin bersemangat.
Motornya sudah seperti dalam lintasan balap, semua kendaraan, mobil maupun motor yang ada didepannya dia salip dengan segera, seperti tak memberi ruang kendaraan didepannya menutupi laju motornya dan menjadikan motornya no satu di lintasan balap jalan raya.
25 menit jarak Kerobokan - Bukit, Ijal tempuh, Maya sudah seperti tak punya hati, jarak yang harusnya di tempuh setidaknya 45 menit sampai 1 jam, bisa di gambarkan seberapa cepat Ijal membawa Maya dengan penuh resiko.
Ucapan kapok tak putus terucap di hati Maya, tapi dia tak bisa protes, Ijal bukan Kendra, yang bisa sewaktu - waktu ia cubit perutnya seandainya laju motor yang mereka kendarai berjalan sedikit kencang.
****
Harus menuruni tangga agar bisa sampai ke pantainya, memang indah pemandangannya apalagi kalau dilihat dari atas bukit.
Siang itu matahari bersinar dengan sempurna, teriknya sampai menyengat kulit. Setelah memarkir motornya, Ijal pamit ke Maya untuk mengganti baju yang ia kenakan dengan baju kerjanya, dia meninggalkan Maya begitu saja diparkiran.
"Keliling - keliling saja dulu, nanti kalau sudah capek temui aku di sana!" Ijal menunjuk sebuah bangunan berwarna orange berbentuk panggung, dengan beberapa papan surfing dan alat bantu renang di sekitar bangunanya. Maya hanya mengangguk.
Tak seperti ketika bersama Kendra perasaan Maya saat ini biasa saja melihat pemandangan yang seharusnya indah, biasanya dia akan mengambil ponselnya, mengabadikan moment yang indah itu, untuk kemudian dia bagikan kelaman sosmednya.
Mengkin benar, warna yang sebenernya dalam hidupnya adalah Kendra. Dan warna itu kini tak bersamanya, hingga pemandangan seindah ini harus dia lihat dalam prespektif monochrome.
****
Tak banyak kegiatan yang dilakukan Maya, panas yang menyengat membuatnya enggan untuk berjalan - jalan menyusuri pantai, yang kalau dilihat dari ujung ke ujungnya lumayan jauh.
Maya memilih untuk duduk dikursi dibawah payung besar didekat tempat kerja Ijal, yang saat itu dilihatnya mengenakan celana pendek warna merah dan bertelanjang dada, berdiri awas menatap setiap pengunjung yang sedang berenang dari menara pantau Balawista.
Ketika dirasa tak ada kejadian yang penting, dia turun untuk menemui Maya, ada beberapa lifeguard yang bertugas saat ini, dan kebanyakan mereka berkulit hitam dan bercelana pendek dengan kacamata hitam untuk pelindung silau, beberapa dari mereka terlihat mencuri – curi pandang ke arah Maya.
Bahkan Ijal terlihat tertawa lirih dengan gestur bangga ketika terlibat perbincangan dengan beberapa teman kerjanya yang mana arah pandangan mata selalu mengarah ke Maya, terkesan seperti menyombongkan diri, dimana dengan warna kulit hitam legamnya, dia masih bisa menggaet cewek lokal kwalitas super.
****
"Gimana baguskan?" Tanya Ijal, dia berdiri didekat tiang penyangga payung, dimana maya berada.
"Bagus, tapi panas!" Keluh Maya, terlihat tangannya tak henti mengipas sekitar lehernya, kulit putih Maya mulai terlihat kemerahan,
Ijal malah tertawa.
"Yah namanya juga pantai pasti panas, kalau di gunung baru dingin." Gayanya dibuat se-keren mungkin, tangan bersedekap, dengan perut roti sobek yang ia tahan sedemikian rupa agar garis-garisnya nampak nyata.
Ya iyalah, bebek juga tahu jawaban itu. Maya hanya tersenyum, jawaban yang terdengar konyol menurutnya.
"Oh iya kamu lapar?" Tanya Ijal, menoleh sebentar ke arah Maya, kemudian membuang kembali, pandangan matanya yang tertutup kacamata hitam jauh ketengah laut, lagaknya seperti akting aktor dalam film serial Baywatch, menjijikkan gabi Maya, tapi terlihat keren menurut Ijal.
"Belum sih." Jawab Maya datar, seperti tak terpengaruh dengan akting lebay Ijal barusan, selain itu juga memang dia tak begitu lapar, kalau haus, iya.
"Bentar!" Ijal pergi menuju sebuah warung tak jauh dari tempat mereka, hilang didalamnya, kemudian keluar dengan beberapa roti dan kelapa muda utuh yang telah di buka ujung atasnya, dengan pipet didalamnya.
"Nih!" Dia menyerahkan roti dan kelapa.muda ke Maya, Maya menerimanya tanpa ragu, karena memang dia kehausan, untuk jalan ke warung dia merasa segan.
Keputusannya turut serta Ijal kerja, ternyata ide yang buruk, entah hatinya yang sedang tak nyaman, atau karena sosok yang biasa menemaninya kini tak ada disana bersamanya, membuat semua yang ada di sekitarnyaa serasa tak bermakna.
"Aku tinggal dulu ya? Kalau perlu apa-apa bilang saja." Lagi - lagi Maya hanya mengangguk, Ijal sebetulnya baik orangnya, hanya sikapnya saja yang seolah dibuat-buat ketika di hadapan Maya. Seperti mencari perhatian, tak senatural Kendra, meski sama sama mencari perhatian, tapi sikap Kendra tak terlalu menyolok.
Kenapa Maya selalu membanding - bandingkanya dengan Kendra? Bukankah setiap cowok punya kelebihan dan kekurangan masing - masing? Atau karena Maya sudah terlebih dahulu mengenal Kendra dari pada Ijal, sehingga semua apa yang Kendra lakukan seperti tak ada yang menyamainya.
Lalu bagaimana dengan cowoknya? Maya mendesah pelan.
Kenapa? Hanya itu kata yang terlintas di benaknya. Kenapa harus dengan Kendra semua cowok harus dia bandingkan.
Maya berdiri dari kursi panjang, dia harus berpindah tempat, karena tempatnya bernaung telah berubah menjadi panas. Yang tadinya teduh tak tersentuh sinar matahari, kini perlahan jilatan matahari mulai menyentuh tempat duduknya, karena posisi matahari sudah mulai berubah agak condong ke barat.